

Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui sebanyak apapun (segala) dari apa yang kamu kerjakan (QS. 41:22).
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi (QS. 41:23) .
Peringatan Bencana
Gagal Dimengerti Hati Buta
eringatan dan pelajaran Allah pasti gagal dipahami bila tak dibaca dengan jujur dan penuh perhatian. Karena itu pula, peringatan demi peringatan dan pelajaran demi pelajaran yang Allah langsungkan pada manusia lewat berbagai macam peristiwa, seringkali sulit mengakar-tumbuh di hati manusia.
Buktinya, bisa diamati pada perasaan-hati tiap diri. Gejala yang mudah diamati diri: tanda tanya berkepanjangan, keraguan, kegundahan, keluh-kesah, kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, geram-jengkel, kesal, marah, dendam, kecurangan, kekejaman, maksiat, syahwat yang kesemuanya, tak jarang berpuncak pada keputus-asaan. Sebenarnya, peristiwa-peristiwa itu adalah peringatan Allah. Bila belum dipahami, maka peringatan dan pelajaran akan disampaikan Allah lewat berbagai macam kelelahan, penderitaan jasad dan sakit yang dialaminya. Jika dengan peringatan-siksa itu manusia masih juga belum paham, maka Allah langsungkan berbagai musibah-bencana di lingkungan hidupnya.
Sangat disayangkan, kebanyakan manusia termasuk orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman, gagal memahami peringatan dan pelajaran dari Allah dengan tepat. Padahal dalam firman Surat Ali ‘Imraan Ayat 191, orang-orang beriman dituntun untuk senantiasa berdzikir dan merenungi ayat-ayat-Nya. Tuntunan itu adalah untuk berbuat atas dasar kesadaran dari perkataan “tidaklah yang Engkau Allah ciptakan (langsungkan) ini sia-sia (tak bernilai peringatan dan pelajaran sama sekali).”Manusia sesungguhnya senantiasa berada dalam pendidikan Allah selaku Rabb, dan tak ada seorang manusia pun yang tidak gembira dengan petunjuk serba pasti untuk kelangsungan hidupnya. Namun, ada konsekensi dari pendidikan Allah tersebut. Apakah itu?
Manusia dididik Rabb untuk tidak meremehkan tanda-tanda yang digelar-Nya.
Dibimbing pula untuk memohon ampun terhadap kesalahan sikap laku-perbuatan yang pasti akan terjadi akibat manusia gagal memahami peringatan dan memetik pelajaran. Manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya: “…maka jauhkanlah kami dari neraka”.
Rasa-rasakanlah. Barang siapa yang jujur kepada Allah, ia pasti akan sangat bersyukur karena Allah menunjukkan bagaimana memperlindungkan kebodohan dan kesombongannya pada naungan ampunan dan pendidikan-Nya.
Artinya, Allah sendiri yang akan membimbingnya. Maukah manusia jujur kepada yang Maha Mengetahui? Bagi yang masih enggan untuk bersikap jujur, Allah pun mengingatkan: “…bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui sebanyak apapun (segala) dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Rabbmu…,” (QS 41:22-23). Ketahuilah, berprasangka kepada Al Haqq adalah kemaksiatan tingkat tinggi. Renungkanlah.
Jujurlah: diri manusia tak mempunyai kemampuan dan daya kekuatan apapun.
Mengapa peringatan demi peringatan berupa berbagai bencana gagal dipahami bangsa ini? Sebab, setiap peringatan dan pelajaran datang tak disambut dengan kejujuran. Kejujuran yang pertamakali diperlukan ialah pengakuan bahwa diri manusia tak mempunyai kemampuan dan daya kekuatan apapun. Semua yang dipandang sebagai kemampuan dan daya kekuatan, tak lain berkat segala karunia kepemurahan kasih-sayang Allah pada dirinya. Bila telah disadari, maka ia akan jujur atas segala keterbatasannya di hadapan Allah Yang Maha Agung. Di hadapan-Nya, manusia adalah makhluq ciptaan dengan segala kebodohannya, ketidak-tahuannya, ketidak-pastian penilaiannya, kerendahan derajatnya, kehinaannya dan ketidak-berhakannya atas segala pahala. Apa yang menghambat manusia untuk jujur atas keberadaan dirinya?
Kedengkian-logika-nafsu menghambat kejujuran kepada Allah. Bahkan tak jarang, peringatan-peringatan dari Allah disambut dengan berbagai anggapan yang bersifat menipu diri. Himbauan peringatan “jadikanlah kesalahan dari suatu peristiwa-kejadian sebagai petikan-pelajaran yang tidak akan terulang kembali pada kemudian hari” ternyata berbuah kesalahan yang sama. Itu pertanda bahwa peringatan demi peringatan belum berhasil dicerna ‘aqal apalagi untuk sampai menyentuh di persaan-hati. Sebaliknya yang mengakar dan tersikapi justru sikap beranggap-sangka menipu-daya, beranalisa serta segala bentuk kedengkian-logika-nafsu. Keduanya, merupakan cermin keburukan ketercelaan dan kejahatan akhlaq. Bahkan lebih jauh lagi, kedengkian-logika-nafsu telah tumbuh menjadi berhala-berhala yang selalu dipatuh-taati masing-masing diri manusia di setiap harinya.
Tampilnya sikap nyata berprasangka dan menipu-daya adalah kenyataan bahwa ketidak-jujuran masih dijadikan sebagai alat perisai diri. Atau, diri masih suka bersembunyi di balik kedustaan. Sikap itu semakin nyata terlihat ketika nafsu sedang ditelanjang-permalukan dengan mengalami peristiwa pahit dan menyengsarakan. Di saat itulah nafsu berupaya mencari pembelaan diri. Contohnya, ketika nafsu diminta agar jujur mengakui kesalahan diri di hadapan Allah. Dengan terpaksa nafsu menga-kui akan kesalahannya, tetapi tidak seutuhnya atau apa adanya. Mengapa? Karena nafsu takut dipermalukan. Padahal, acap kali ia hanya dipermalukan oleh bisikan-bisikan syaithaan pada hatinya, karena syaithaan sangat gigih menghalangi manusia untuk mendekat Allah. Nafsu yang gigih mempertahankan harga-dirinya pasti akan masuk dalam pelukan bujuk rayu syaithaan.
Lalu, logika-nafsunya membuat pembelaan dengan cara menyamarkan kesalahan diri. Tujuannya, agar tidak terpandang bahwa dirilah yang seutuhnya bersalah. Dalam hal ini, kenyataan apa yang tak disadari diri?
Empat tulisan "Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta", "Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka", "Kesombongan: Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah", dan "Rongrongan Iblis terhadap Manusia" yang diterbitkan 30 Rabi'ul Akhir 1431H (15/04/2010) di weblog kita ini merupakan satu rangkaian rangkuman pengajian dari Ki Moenadi MS 1421H (2000), berjudul: "Ketika Unsur Jasadiyah Membuka Persaksian Tersingkap Kejahatan Anggap-sangka yang Menghancur-binasakan Unsur Ruhaniyah". Kami menyediakan tautan untuk mengunduh versi PDF-nya di kolom sebelah kanan. Admin.
Kamis, 15 April 2010
Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Lebih bagus dan indah dengan huruf asli dari Al Qur'an
BalasHapusItu klise oom..
HapusJzkumullah krks. Kami bermaksud menyajikan begitu,.. Glagah
BalasHapus