
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS 42:30).
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
agi seorang hamba Allah yang masih memiliki tingkat kepekaan rasa yang tinggi dan kedalaman hati yang jernih, pasti akan tersayat hatinya bila melihat hamparan bumi tanah yang tandus. Di balik bumi tanah yang tandus itu ia melihat jiwa-jiwa manusia bergelimpangan dalam kehinaan dan ketercelaan. Mereka laksana tunggul-tunggul pohon yang kosong atau lapuk, meski raga mereka dihiasi dengan berbagai cara rekayasa agar tampak paling baik dan lebih unggul. Namun, hal itu tetap saja tidak akan mengubah pandangannya. Mereka terpandang tetap hidup dalam kehinaan dan ketercelaan, karena demikian itulah ketetapan yang telah disandangkan kepada mereka. Sang hamba Allah tersayat hatinya, karena haqiqinya fithrah bumi khususnya tanah, adalah subur. Menjadi tidak suburnya bumi dan tanah, jelas disebabkan manusia. Tanpa disadari, bumi tanah menjadi korban kebiadaban perilaku manusia.
Jika dijumpai hamparan bumi tanah yang tandus, tidak bisa ditumbuhi tanaman maupun tidak bisa dimanfaatkan kandungan tanahnya, maka itulah pertanda bahwa di situ sedang menghuni masyarakat atau bangsa yang hina lagi tercela. Tidak ada artinya bumi tanah dihamparkan dalam keadaan subur, karena dengan keadaan hina dan sifat tercela itu, mereka senantiasa hanya melakukan kerusakan terhadap bumi tanah. Dari pada bumi tanah yang subur terus-menerus hanya dirusak oleh mereka, bagi mereka lebih pantas hamparan bumi tanah yang tandus. Mengapa?
Hina dan tercelanya keadaan suatu masyarakat atau bangsa bukan diukur menurut pandangan manusia, tetapi diukur menurut pandangan Allah. Namun demikian, tak selamanya bumi tanah yang tidak bisa ditumbuhi tanaman adalah pertanda bahwa masyarakatnya atau bangsanya dalam keadaan hina lagi tercela. Bila kandungan bumi tanahnya sangat subur meliputi berbagai hasil tambang, maka masyarakat atau bangsa itu tidak dapat dikelompokkan ke dalam masyarakat atau bangsa yang hidup terhina lagi tercela. Yang menjadi ukuran adalah tandusnya tanaman dan tandusnya kandungan bumi tanah. Tanah air kita ini mempunyai berbagai ragam keadaan bumi tanah. Ada masyarakat dengan daerah bumi yang tanahnya tidak dapat ditumbuhi tanaman tetapi sangat kaya kandungan tanahnya; ada pula masyarakat dengan daerah yang subur tanamannya, tetapi tandus kandungan bumi tanahnya. Khususnya untuk masyarakat daerah Pulau Jawa, keadaan hamparan bumi tanahnya lebih banyak berkeadaan subur dengan tanaman tetapi sedikit akan kandungan tanahnya. Sebaliknya untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa, subur kandungan tanahnya dari pada tanamannya. Demikian itulah telah Allah lengkapi negeri ini menjadi negeri yang penuh diliputi ni’mat dari-Nya. Tanpa ada tetesan ni’mat Allah, mustahil suatu masyarakat atau bangsa dapat menempati hamparan bumi tanah yang subur. Sedangkan ni’mat Allah hanya dikaruniakan kepada yang beriman dan bertaqwa, sebagaimana firman-Nya:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS 7:96).
Dengan kesuburan hamparan bumi tanah baik tanamannya maupun kandungannya, Allah menganugerahkan suatu negeri untuk membawa masyarakat-bangsanya menuju kehidupan makmur bersahaja, dan untuk menempati jenjang peradaban yang tinggi. Bila kenyataannya, masyarakat atau bangsa ini tidak berhasil meraih tingkat kemakmuran hidup dan tingkat peradaban yang tinggi, itulah pertanda bahwa kehidupan masyarakatnya sudah mulai banyak mengarah pada kehinaan dan ketercelaan. Di balik kalimat “menyuburkan kembali hati dan tanah yang tandus” pada judul di atas, tersirat pengertian bahwa selama ini hati manusia ―khususnya hati ummat Islamnya― maupun tanah sebagai tempat berpijak masyarakat negeri ini, sedang dilanda badai ketandusan.
Bukti ketandusan hati tampak pada sikap diri ummat Islam yang tidak berhasil membuahkan kecerdikan dan tidak pula dapat membuahkan kemuliaan akhlaq sebagai salah satu mahkota dalam kehidupan. Bukti ketandusan tanah tampak pula pada banyak bermunculannya berbagai ragam penyakit tanaman; banyak pula tanah yang tidak tergarap dengan baik, padahal tanah itu mempunyai tingkat kesuburan sangat tinggi, baik untuk tanamannya maupun untuk kandungan hasil tambangnya. Dengan demikian, meskipun tanah itu berstatus subur tetapi bila tidak berhasil tergarap dengan baik, haqiqinya sama saja dengan tandus. Tandusnya tanah yang sebenarnya berstatus subur, sangat erat kaitannya dengan ketandusan hati manusia dalam arti masyarakat atau bangsa yang menempatinya.
Semakin tandus keaadaan hati manusia, semakin tandus pula bumi tanah yang dijadikan hamparan kehidupannya. Begitu pula sebaliknya semakin subur hati manusia yang menempati suatu hamparan bumi tanah, semakin subur pula bumi tanah itu. Dalam pandangan haqiqi, jika ada bumi tanah yang sebenarnya berstatus subur namun pada akhirnya mengalami ketandusan, maka itulah pertanda bahwa masyarakat maupun bangsanya, hidup dalam ketercelaan dan kehinaan. Mengapa?
Bumi tanah tandus itu hanya sebagai tempat kehidupan bagi orang yang hina lagi tercela. Tetapi tak selamanya bumi tanah mengikuti manusia penghuninya. Sebab ada hamparan bumi tanah yang Allah tetapkan sebagai hamparan bumi tanah yang tandus dan ada pula hamparan bumi tanah yang pada awalnya berstatus subur kemudian menjadi tandus. Begitu pula sebaliknya ada pula bumi tanah yang semula berstatus tandus kemudian menjadi hamparan bumi yang subur. Dari ketiga keadaan hamparan bumi tanah, hanya satu yang tidak dapat berubah keadaannya hingga berakhirnya kehidupan di muka bumi ini yaitu hamparan bumi tanah yang berkeadaan mendapat ketetapan Allah menjadi hamparan bumi yang tandus.
Belahan bumi tanah tandus yang mendapat ketetapan Allah adalah hamparan bumi yang didiami atau ditempati oleh kaum atau bangsa Yhd. Sebagian dari mereka menyebar di belahan Benua Eropa dan sebagian lagi menyebar di belahan Benua Amerika. Bagaimana pun upaya kaum atau bangsa Yhd menjadikan bumi tanahnya yang tandus menjadi subur, pasti tidak akan pernah dapat terlaksana karena hal itu telah menjadi ketetapan Allah. Akibat perbuatan mereka yang senantiasa ingkar terhadap ni’mat yang dikaruniakan-Nya, Allah menjadikan kaum atau bangsa Yhd terhina lagi tercela di tengah-tengah kehidupan ini. Akhirnya tersisa pertanyaan yang sangat meangganggu: Bukankah suatu hal yang sangat mustahil bila suatu kaum atau bangsa yang tidak dapat mengubah keadaan hamparan bumi tanahnya dari tandus menjadi subur, dijadikan guru pembimbing atau pembina oleh masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur? 
Masuk 'aqalkah bila bangsa yang mestinya mengenal tanah-airnya sendiri yang subur-makmur, ternyata mewajibkan dirinya mengemis dan belajar pada bangsa yang hanya mempunyai bumi-tanah tandus? Silakan mengikuti lanjutan kajian ini pada tulisan berjudul: ”Bumi Tanah Subur, Makmurlah Rakyat dan Luhurlah Peradabannya”.
Selasa, 18 Mei 2010
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu alaikum Wr wb Pak,
BalasHapusMohon penjelasan sederhana bagaimana lingkungan/suasana hati itu bertautan erat dengan lingkungan tanah, supaya orang yang berlogika tinggi seperti saya bisa mencerna dengan baik dan juga menjelaskan kepada sesama.
Terima kasih banyak atas budi baik bapak.
Wassalamu alaikum Wr wb
aisyunanto@yahoo.com
Wa'alauikum salaam wr.wb.,
BalasHapusTerimakasih pertanyaan bapak. Contohnya, ketika seseorang menggunjing (membicarakan hal yang tak disukai) atau memfitnah (menyiarkan kejelekan yang tak pernah diperbuat) orang tertentu. Maka, ketika si penggunjing atau pemfitnah bertemu muka dengan yang pernah digunjingnya atau difitnahnya, pasti timbul perasaan tak enak di dalam hati si penggunjing atau si pemfitnah. Itulah ketenagaan kotor yang kembali kepada diri manusia yang melontarkannya (dengan menggunjing atau memfitnah), karena apa yang diperbuat manusia pasti akan kembali kepada dirinya
(لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ , QS 2:286).
Demikian pula bila manusia berdzikir. Hatinya menjadi tenang dan tersambung pada Allah (QS 13:28). Banyak ayat yang menjelaskan bahwa alam bertasbih (menjaga kesucian yang ditetapkan Allah baginya). Tanah yang fithrahnya diciptakan Allah tak akan pernah punya dosa pun menikmati (dalam arti satu medan ketenagaan/energi dengan) dzikir manusia. Bahkan manusia yang hatinya penuh menjadi saluran rahmat kasih sayang Allah, dapat menyuburkan kembali tanah (yang tak ditetapkan Allah sebagai tanah tandus), sebagaimana dibuktikan oleh Siti Hajar a.s., istri Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Islamil a.s. pada kisah munculnya sumber air zam-zam.
Kepada kita manusia akhir zaman, ada dua pilihan: hendak menjadi abdi Allah dengan menjadi penyalur rahmat-Nya, atau menjadi penantang Allah dengan ikut merusak ciptaan-Nya. Allah membebaskan manusia hendak beriman atau tidak.
Demikian, semoga bermanfaat dan akhirnya, mohon maaf keterbatasan kami menjelaskan. Salam, Taufik Thoyib -Admin