PENGANTAR
Kata “merdesa” bisa jadi masih sangat asing untuk sebagian besar masyarakat pengguna Bahasa Indonesia. “Merdesa” (dibaca mer•de•sa /merdésa) di dalam kamus dimaknai sebagai adjektifa yang berarti layak; patut; sopan (beradab). Contoh penggunaannya: perkataan yang tidak merdesa; kelakuan dan perbuatan yang merdesa; dalam peribahasa dikatakan merdesa (di) perut kenyang, yang berarti “adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya”. “Merdesa” juga berarti layak, patut, santun sopan, tertib. Di Indonesia, kata merdesa tampaknya mulai populer di kalangan pemerhati dan aktifis budaya dan politik. Ada corat-coret grafiti di Jakarta dan Yogyakarta yang mempersandingkan ”merdesa” (dimaknai sebagai ”hidup layak”) dengan keadaan sebaliknya, yaitu ”sengsara. Begitulah bertumbuh-kembangnya makna di masyarakat. Maka dari itu, kami mengajak Anda untuk menyoroti dan mengembangkan maknanya dari sudut pandang Al Qur'an. Admin
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Merdesa: Merdekakan Desa!
ahasa-kata quraa, yang di dalam Al Qur’an dipakai delapan belas kali pada enam belas ayat (termasuk yang dikutip di atas), selain berkonotasi negeri-negeri (jamak) juga dapat berarti desa-desa, kampung-kampung, atau kota-kota. Singkatnya adalah tempat-tempat menetap, bermukim, atau berhuninya sekelompok manusia.
Bagaimana manusia menyikapi tempat-tempat berhuni? Bagi yang melihat esensi tujuan hidup dan mengimani akhirat dalam sikap perbuatan sehari-hari, dunia bukanlah tempat menumpuk kemuliaan kekuasaan-harta-kenikmatan badaniyah secara berlebihan —apalagi menjadikan kemegah-mewahan sebagai tujuan akhir hidupnya. Pribadinya yang telah mulai dewasa yang demikian itu, tak akan mudah terjerumus untuk bermegah-mewah dan lalai tujuan hidup yang sesungguhnya. Bumi seisinya atau lingkungan tempat ia hidup-berkegiatan (dunia) pasti didudukannya sekedar sebagai tempat mempersiapkan bekal yang diolah-lanjut dari modal yang dianugerahkan Allah, agar tiba di tujuan akhir hidupnya, tiba di akhirat dengan selamat. Tentu yang dimaksudkan dengan bekal adalah amal kebajikan yang diridhai Allah.
Meski demikian, bagi hamba yang telah menyadari betapa mustahilnya berbuat baik tanpa uluran tali pertolongan Allah, ia tak akan pernah merasa bahwa surga telah menjadi haknya. Manusia lain bisa saja melihatnya secara kasat mata giat beramal shaleh tak kenal lelah. Dengan penuh harap dan kesungguhan si hamba Allah sekedar memohon untuk dijauhkan dari siksa neraka. Begitulah Allah mendidik manusia bersikap santun sekaligus cerdik. Jika terjauh dari neraka, bukankah ke surga pulalah akhir kesudahan langkahnya? Terasa pula, begitu halus Allah memelihara hamba-Nya untuk senantiasa berendah hati. Rintihan harapan-doa si hamba naik penuh rasa malu menyadari kehinaan diri. Terasa dalam posisinya yang sangat hina di hadapan Allah, tak pantaslah sebenarnya ia mengharap surga. Dari relung jiwanya yang dalam, rajutan-temali kalimat doa yang dituntunkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, naik merayap menghiba Rabb-nya: ”...rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fiil aakhirati hasanah, wa qinnaa ’adzaban naar” (..."Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka” QS 2:201). Dan atas dasar keyakinan ketergantungan-mutlaknya pada Allah itulah, ia menegakkan ketaqwaan sebagaimana yang dimaksud firman Allah pembuka tulisan ini. Apakah pengertian bertaqwa? Di setiap kesempatan ibadah Sholat Jumat, khatib menyeru dirinya dan manusia lain untuk bertaqwa, menjauhi larangan Allah dan mematuhi perintahnya. Maksudnya adalah untuk mensyukuri apa apa-yang sudah digelar oleh Allah untuk kehidupan manusia. Sayangnya, banyak yang mengartikan ”mensyukuri” dengan ”memuaskan keinginan dan logika nafsunya sendiri”. Padahal maksud mensyukuri dalam rangka menegakkan ketaqwaan adalah mendaya-manfaatkan, menjaga, memelihara kelestarian, dan menumbuh-kembangkan potensi manusia dan alam yang diciptakan Allah secara santun dan adil. Artinya, jauh dari maksud mengurangi hak hidup siapa dan apa pun, adil-harmonis-selaras dalam hidup berkemajemukan, serta dilaksanakan di atas azas saling memberi kasih-sayang. Yang berbeda bahkan yang mendudukan diri berseberangan-dialektis tidak lagi harus dibenci, tetapi terpandang sebagai unsur kesepasangan belaka. Namun jangan salah mengartikan. Perbuatan, sikap, dan sifat merusak syaithaniyah adalah tetap merupakan musuh utama kehidupan manusia yang mesti dihadapi dengan tegas dan lugas. Para rasul Allah-lah yang dapat bersikap demikian.
Para rasul adalah tauladan ketaqwaan bagi seluruh manusia, merekalah yang memberi contoh bagaimana menggelar langkah mengatasi segala permasalahan yang dihadapi masyarakat zamannya —termasuk permasalahan lingkungan-alam kehidupan. Karena demikian pelik dan rumit urusan itu, dapat dipastikan mustahil manusia dapat mencapainya, jika yang diandalkannya adalah kemampuannya logika-nafsu dirinya. Bagi yang mulai menyadari hal itu, ia merasa tergantung mutlak dan senantiasa mengemis-harap penuh yaqin pada pertolongan Allah selaku Ash-Shomad, sekaligus menangis-ratap penuh cemas terhadap kekuasaan-Nya selaku Al-Malik. Taqwa mesti diawali oleh upaya untuk mendekat pada Allah dengan penuh kerela-ridhaan diri atas segala ketetapan, rencana, dan kehendak-Nya. Demikianlah selintas pengertian bertaqwa.Keimanan dan ketaqwaaan yang demikian itu merupakan satu kesatuan dinamika dengan bumi yang tak lain adalah perwujudan kasih-sayang Allah selaku Ar-Rahiim. Artinya, yang belum menapak-tilasi ketauladanan iman dan taqwanya para rasul, hakikatnya masih belum dapat bersesuaian dengan kehidupan bumi, termasuk bumi pertiwi negeri ini. Maka, sebetulnya mudah saja bagi mereka yang mengikuti tauladan para rasul untuk memimpin negeri ini. Semata-mata bukan karena mereka berkemampuan, tetapi rahmat pertolongan dan petunjuk Allah-lah yang menjadikan mereka dapat mengatasi masalah dengan tuntas setelah mereka membuktikan kesungguhan dirinya untuk mendekat dan mengabdi Allah. Dalam firman, hal tersebut dijamin Allah dengan kalimat: ”...Dan bertakwalah kepada Allah (maka) Allah mengajarmu (tentang segala sesuatu, termasuk bagaimana menyelesaikan masalah negeri ini); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS 2:282, mohon periksa bagian akhirnya). Alam Nusantara yang asalnya mempunyai kesuburan hamparan bumi tanah baik tanamannya maupun kandungannya, sebenarnya telah Allah modali untuk membawa masyarakat dan bangsa ini menuju kehidupan makmur bersahaja dan untuk menempati jenjang peradaban yang tinggi. Namun bila kenyataannya masyarakat atau bangsa kita tidak berhasil meraih tingkat kemakmuran hidup dan tingkat peradaban yang tinggi, itulah pertanda bahwa kehidupan masyarakat Indonesia sudah mulai condong kuat pada kehinaan dan ketercelaan (lihat tulisan Ki Moenadi MS di web ini yang berjudul: Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus).
Pewujudan sikap syukur atas potensi-modal yang telah Allah anugerahkan demikian itulah peri kehidupan yang layak, patut, santun, atau yang merdesa bagi bangsa dan tanah air negeri ini. Ringkas kata, merdesa adalah sikap santun terhadap masyarakat manusia dan alam yang dibentuk oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sikap demikian hanya dapat dilangkah-laksanakan oleh orang-orang beriman sejati yang bertujuan bersih tanpa pamrih kecuali mensyukuri ke-maha-pemurah-an rahmat dari Allahurahman terhadap bangsa dan negeri ini. Dengan sikap itu, kesengsaraan akan terusir dari kehidupan rakyat Indonesia. Benarlah jika diringkas, bahwa pilihan bagi kita hanya dua: merdesa atau sengsara? Dengan kata lain, rela-ridhakah bangsa ini beriman dan bertaqwa kepada Allah? Atau telah mantap memilih hidup di atas lajur kekufuran menuju hidup lebur-hancur?Lebur terhadap apakah yang membuat manusia hancur? Terhadap paham yang merusak manusia dan alam. Saksikanlah, kota-kota kita yang makin hancur. Di dunia termasuk di Indonesia, keberingasan kehidupan perkotaan yang akan dihuni dua per tiga penduduk dunia pada dua dekade mendatang, telah mulai dipahami banyak pihak. Mereka yang berilmu empirik pun mulai menyadari untuk membangun berkehidupan bersama nan damai, agar manusia tak saling menghancurkan. Saat ini pun, manusia kota tak lagi hidup layak, alam lingkungan pun makin hancur tak lagi dapat memberikan keamanan, apalagi kenyamanan. Kota terancam bencana setiap saat; tak hanya bencana alam, namun juga bencana sosial. Sebagian besar hanya mampu bertahan hidup dari remah-sampah kemegah-mewahan yang lain. Sebagian kecil terus memuaskan nafsu kenikmatan duniawi,
bergelimang pulas di atas kasur kesengsaraan mereka yang sengaja atau tidak ditindasnya. Adalah sangat baik bila mereka mulai menyadari kehancuran kehidupan manusia dan alam. Tetapi sadar pulakah mereka bahwa paham ”persaingan bebas” sangat menjerumuskan bahkan membunuh kesejatian sifat kemanusiaan?Kesejatian manusia adalah sifat merdesa nan santun, penuh peduli kepada kelangsungan hidup sesamanya dan alam tempat huniannya. Slogan paham persaingan bebas yang menjadi pola pikir dan mentalitas sebagian besar manusia pada zaman ini haqiqatnya adalah panji-panji kehidupan liar-syaithaniyah yang membenar-bebaskan manusia untuk saling menghancurkan. Mereka yang terpedaya slogan ini adalah mereka yang bertujuan hidup individualistik bermegah-mewah, meski harus menjadi penindas hak hidup pihak lain yang lebih lemah.
Desa-desa Nusantara, sebagaimana keadaan fitrah bumi yang asalnya berkeadaan makmur-bersahaja, jelas akan menjadi korban utama dari keberingasan hidup bebas-liar-syaithaniyah itu. Fithrah desa —bahkan fithrah bumi— bukanlah untuk mewadahi kehidupan semacam itu. Secara curang, desa pasti terkalahkan oleh materialisme industri bermisi meraih hasil berlipat dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dengan cara semudah-mudahnya. Saksikanlah daerah perdesaan. Dari tasbih-kesujudan puncak gunung menerima rahmat Ar-Rahmaan Allah Yang Maha Pemurah, mengalirlah air kehidupan diiringi tahmid-kesyukuran sekalian unsur alamnya. Nun jauh di bawahnya, kandungan dzat hidup itu akan mewujud sebagai kemakmuran bersahaja. Kemakmuran itu tak berlebihan, semua dalam kodrat-takaran, keteraturan, dan mengada dalam satu kesatuan rajutan kehidupan yang bertakbir meng-Agung-Esa-kan Allah.
Maka tak dapat tidak, kehancuran desa-desa di tanah air Ibu Pertiwi yang telah sangat renta dalam kedukaan berkepanjangan sejak bangsa ini menganut pola pikir dan mentalitas persaingan bebas, hanya dapat ditangkal oleh para putera negeri yang berhasil menegakkan keimanan dan ketaqwaaan pada Allah. Mereka adalah penapak tilas para rasul yang tegar, sama sekali bukan orang-orang beringas yang hanya tahu memberontak kekuasaan dengan kekasaran, kekerasan dan menimbulkan perpecahan dan kerakusan kekuasaan yang baru!
Mereka bukan yang dimaksudkan oleh peribahasa yang menyatakan bahwa "adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya". Perbuatan dan sikap santun mereka telah meresap menjadi sifat santun; santun yang bukan pulasan kepalsuan dan bukan pula hasil sulapan pelatihan atau sertifikasi. Mereka yang berhasil membangun sikap-sifat merdesa berlandaskan keimanan dan ketaqwaaan pada Allah itulah yang dapat memerdekakan desa dari cengkeraman kuku hitam paham kebebasan-liar-syaithaniyah materialisme-industri. Mereka akan menangkal-bentengi desa dari kehancuran fithrahnya untuk kemudian, secara bertahap dan senantiasa dalam kebersamaan, mengatur-kelola potensi-potensi manusia dan alamnya atas dasar hukum-ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Mereka yang merdesa adalah yang telah bangun jiwa-badannya (baca artikel di web ini, Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya!), sadar hati-budinya (baca: Sadarlah Hatinya, Sadarlah Budinya!), para pandu yang memajukan negerinya (baca: Majulah Negerinya, Majulah Pandunya!). Mereka memimpin kaumnya untuk meraih kembali fithrah desa untuk hidup makmur-bersahaja. Merdesa adalah memerdekakan desa! Galih W. Pangarsa
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum...di tulisan yang akan ditulis nanti,ada penjelasan tentang peribahasa diatas juga ga pak?, "adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya”, berkecukupan dan kaya yang bagaimana..?
BalasHapusterimakasih...Wassalam
Wa'alaikum salam wr wb., Baiklah mas Bibin, akan jadi perhatian kami... Jzkmlah kr kts. Galagah Nuswantara
BalasHapus