PENGANTARKata “merdesa” bisa jadi masih sangat asing untuk sebagian besar masyarakat pengguna Bahasa Indonesia. “Merdesa” (dibaca mer•de•sa /merdésa) di dalam kamus dimaknai sebagai adjektifa yang berarti layak; patut; sopan (beradab). Contoh penggunaannya: perkataan yang tidak merdesa; kelakuan dan perbuatan yang merdesa; dalam peribahasa dikatakan merdesa (di) perut kenyang, yang berarti “adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya”. “Merdesa” juga berarti layak, patut, santun sopan, tertib. Di Indonesia, kata merdesa tampaknya mulai populer di kalangan pemerhati dan aktifis budaya dan politik. Ada corat-coret grafiti di Jakarta dan Yogyakarta yang mempersandingkan ”merdesa” (dimaknai sebagai ”hidup layak”) dengan keadaan sebaliknya, yaitu ”sengsara. Begitulah bertumbuh-kembangnya makna di masyarakat. Maka dari itu, kami mengajak Anda untuk menyoroti dan mengembangkan maknanya dari sudut pandang Al Qur'an. Admin
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Merdesa: Merdekakan Desa!



Di setiap kesempatan ibadah Sholat Jumat, khatib menyeru dirinya dan manusia lain untuk bertaqwa, menjauhi larangan Allah dan mematuhi perintahnya. Maksudnya adalah untuk mensyukuri apa apa-yang sudah digelar oleh Allah untuk kehidupan manusia. Sayangnya, banyak yang mengartikan ”mensyukuri” dengan ”memuaskan keinginan dan logika nafsunya sendiri”. Padahal maksud mensyukuri dalam rangka menegakkan ketaqwaan adalah mendaya-manfaatkan, menjaga, memelihara kelestarian, dan menumbuh-kembangkan potensi manusia dan alam yang diciptakan Allah secara santun dan adil. Artinya, jauh dari maksud mengurangi hak hidup siapa dan apa pun, adil-harmonis-selaras dalam hidup berkemajemukan, serta dilaksanakan di atas azas saling memberi kasih-sayang. Yang berbeda bahkan yang mendudukan diri berseberangan-dialektis tidak lagi harus dibenci, tetapi terpandang sebagai unsur kesepasangan belaka. Namun jangan salah mengartikan. Perbuatan, sikap, dan sifat merusak syaithaniyah adalah tetap merupakan musuh utama kehidupan manusia yang mesti dihadapi dengan tegas dan lugas. Para rasul Allah-lah yang dapat bersikap demikian.

Keimanan dan ketaqwaaan yang demikian itu merupakan satu kesatuan dinamika dengan bumi yang tak lain adalah perwujudan kasih-sayang Allah selaku Ar-Rahiim. Artinya, yang belum menapak-tilasi ketauladanan iman dan taqwanya para rasul, hakikatnya masih belum dapat bersesuaian dengan kehidupan bumi, termasuk bumi pertiwi negeri ini. Maka, sebetulnya mudah saja bagi mereka yang mengikuti tauladan para rasul untuk memimpin negeri ini. Semata-mata bukan karena mereka berkemampuan, tetapi rahmat pertolongan dan petunjuk Allah-lah yang menjadikan mereka dapat mengatasi masalah dengan tuntas setelah mereka membuktikan kesungguhan dirinya untuk mendekat dan mengabdi Allah. Dalam firman, hal tersebut dijamin Allah dengan kalimat: ”...Dan bertakwalah kepada Allah (maka) Allah mengajarmu (tentang segala sesuatu, termasuk bagaimana menyelesaikan masalah negeri ini); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS 2:282, mohon periksa bagian akhirnya). Alam Nusantara yang asalnya mempunyai kesuburan hamparan bumi tanah baik tanamannya maupun kandungannya, sebenarnya telah Allah modali untuk membawa masyarakat dan bangsa ini menuju kehidupan makmur bersahaja dan untuk menempati jenjang peradaban yang tinggi. Namun bila kenyataannya masyarakat atau bangsa kita tidak berhasil meraih tingkat kemakmuran hidup dan tingkat peradaban yang tinggi, itulah pertanda bahwa kehidupan masyarakat Indonesia sudah mulai condong kuat pada kehinaan dan ketercelaan (lihat tulisan Ki Moenadi MS di web ini yang berjudul: Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus).

Lebur terhadap apakah yang membuat manusia hancur? Terhadap paham yang merusak manusia dan alam. Saksikanlah, kota-kota kita yang makin hancur. Di dunia termasuk di Indonesia, keberingasan kehidupan perkotaan yang akan dihuni dua per tiga penduduk dunia pada dua dekade mendatang, telah mulai dipahami banyak pihak. Mereka yang berilmu empirik pun mulai menyadari untuk membangun berkehidupan bersama nan damai, agar manusia tak saling menghancurkan. Saat ini pun, manusia kota tak lagi hidup layak, alam lingkungan pun makin hancur tak lagi dapat memberikan keamanan, apalagi kenyamanan. Kota terancam bencana setiap saat; tak hanya bencana alam, namun juga bencana sosial. Sebagian besar hanya mampu bertahan hidup dari remah-sampah kemegah-mewahan yang lain. Sebagian kecil terus memuaskan nafsu kenikmatan duniawi,

Kesejatian manusia adalah sifat merdesa nan santun, penuh peduli kepada kelangsungan hidup sesamanya dan alam tempat huniannya. Slogan paham persaingan bebas yang menjadi pola pikir dan mentalitas sebagian besar manusia pada zaman ini haqiqatnya adalah panji-panji kehidupan liar-syaithaniyah yang membenar-bebaskan manusia untuk saling menghancurkan. Mereka yang terpedaya slogan ini adalah mereka yang bertujuan hidup individualistik bermegah-mewah, meski harus menjadi penindas hak hidup pihak lain yang lebih lemah.
Desa-desa Nusantara, sebagaimana keadaan fitrah bumi yang asalnya berkeadaan makmur-bersahaja, jelas akan menjadi korban utama dari keberingasan hidup bebas-liar-syaithaniyah itu. Fithrah desa —bahkan fithrah bumi— bukanlah untuk mewadahi kehidupan semacam itu. Secara curang, desa pasti terkalahkan oleh materialisme industri bermisi meraih hasil berlipat dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dengan cara semudah-mudahnya. Saksikanlah daerah perdesaan. Dari tasbih-kesujudan puncak gunung menerima rahmat Ar-Rahmaan Allah Yang Maha Pemurah, mengalirlah air kehidupan diiringi tahmid-kesyukuran sekalian unsur alamnya. Nun jauh di bawahnya, kandungan dzat hidup itu akan mewujud sebagai kemakmuran bersahaja. Kemakmuran itu tak berlebihan, semua dalam kodrat-takaran, keteraturan, dan mengada dalam satu kesatuan rajutan kehidupan yang bertakbir meng-Agung-Esa-kan Allah.
Maka tak dapat tidak, kehancuran desa-desa di tanah air Ibu Pertiwi yang telah sangat renta dalam kedukaan berkepanjangan sejak bangsa ini menganut pola pikir dan mentalitas persaingan bebas, hanya dapat ditangkal oleh para putera negeri yang berhasil menegakkan keimanan dan ketaqwaaan pada Allah. Mereka adalah penapak tilas para rasul yang tegar, sama sekali bukan orang-orang beringas yang hanya tahu memberontak kekuasaan dengan kekasaran, kekerasan dan menimbulkan perpecahan dan kerakusan kekuasaan yang baru!
Mereka bukan yang dimaksudkan oleh peribahasa yang menyatakan bahwa "adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya". Perbuatan dan sikap santun mereka telah meresap menjadi sifat santun; santun yang bukan pulasan kepalsuan dan bukan pula hasil sulapan pelatihan atau sertifikasi. Mereka yang berhasil membangun sikap-sifat merdesa berlandaskan keimanan dan ketaqwaaan pada Allah itulah yang dapat memerdekakan desa dari cengkeraman kuku hitam paham kebebasan-liar-syaithaniyah materialisme-industri. Mereka akan menangkal-bentengi desa dari kehancuran fithrahnya untuk kemudian, secara bertahap dan senantiasa dalam kebersamaan, mengatur-kelola potensi-potensi manusia dan alamnya atas dasar hukum-ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Mereka yang merdesa adalah yang telah bangun jiwa-badannya (baca artikel di web ini, Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya!), sadar hati-budinya (baca: Sadarlah Hatinya, Sadarlah Budinya!), para pandu yang memajukan negerinya (baca: Majulah Negerinya, Majulah Pandunya!). Mereka memimpin kaumnya untuk meraih kembali fithrah desa untuk hidup makmur-bersahaja. Merdesa adalah memerdekakan desa! Galih W. Pangarsa
Assalamu'alaikum...di tulisan yang akan ditulis nanti,ada penjelasan tentang peribahasa diatas juga ga pak?, "adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya”, berkecukupan dan kaya yang bagaimana..?
BalasHapusterimakasih...Wassalam
Wa'alaikum salam wr wb., Baiklah mas Bibin, akan jadi perhatian kami... Jzkmlah kr kts. Galagah Nuswantara
BalasHapus