Iblis mewujud pada manusia penantang Allah yang membakar Al Qur'an. Pancingan, agar terjadi kekerasan-reaktif dari ummat muslim dunia. Justru hal itulah yang mereka tunggu, yang akan membenarkan mereka mencap Islam sebagai agama kekerasan. Mengapa mereka memusuhi Islam dan muslim? Apa hubungannya dengan simbol mata tunggal yang mereka gunakan? Mengutuk dan melaknat mereka, semestinya disertai upaya keras untuk memerdekakan diri dari millah mereka. Apa yang utama dari millah mereka?
Sabtu, 18 September 2010
Penebar Jaring Dengki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusDengan hormat,
Berkaitan dengan Firman Allah SWT QS. Thaha[20]:102 yang tersebut di atas, mohon dapat dijelaskan tentang simbol 20 dengan 10(2)? yang secara verbal bisa terbaca dengan 'duapuluh' juga? Hal ini sangat menarik kami bila dikaitkan simbul mata satu di atas.
Mohon maaf. Terimakasih sebesar2nya atas perhatian Pengampu.
Billahitaufiq wal hidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Wa'alaikum salam wr.wb.,
BalasHapusDilihat spt itu pun, insya Allah bisa. 102, juga bisa dibaca: "satu titik-nya ada dua". Dengan kata lain ada dua titik, alias mata kepala yang selalu terpancang melihat dunia dengan segala dialektika perubahan fenomenanya: pedih-lezat, sedih-senang, sakit-sehat, dan seterusnya. Dialektika semacam itulah yang yang menjadi dasar seluruh pandangan (filsafat) Barat/Yhd, sejak dari Plato sampai dengan Derrida. Tegasnya, mata satu (mata duniawi/mateialistik) hanya sibuk melihat fenomena dari satu ekstrim ke ekstrim sifat-keadaannya yang lain. Berbeda sangat prinsip, pandangan orang beriman/tahuid berbentuk "segitiga": di puncaknya adalah Allah s.w.t. selaku Yang Maha Tinggi (Al A'laa), yang di bawahnya adalah makhluq ciptaan yang selalu berkeadaan berpasangan (QS 36:36 yang terjemahnya sbb" "Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"). Semoga bermanfat. Salam, Taufik Thoyib.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusJazakumullah kami sampaikan atas penjelasan Bapak Taufik Thoyib. Pada kesempatan ini mohon kiranya dapat juga kami mengutaran hasil belajar terhadap penjelasan Bapak diatas. Bahwa perihal dua titik, bisa dibaca tetap dua titik. Tapi ada juga budaya dengan menyebut satu titik - dua. Penyebutan dengan dua titik, saya rasakan bermodalkan SHIDDIQ atau KEJUJURAN. Perihal dua titik, disampaikan pula dengan dua titik. Sebagaimana Nabi Musa a.s. melempar tongkatnya karena adanya perintah melempar tongkat dari Allah SWT (QS. 20: 19-20). Sementara penyebutan dengan satu titik-dua bisa berpangkal pada aspek SIYASAH/POLITIS (jika dilakukan oleh org beriman) namun juga bisa berazas JEBAKAN (jika dilakukan oleh para kaum kafir-munafiq atau YHD. Semangat jebakan ini antara lain muncul pada kaidah bhs Inggris ketika mereka berkata, misalnya I have no time, i have no money sebagaimana ketika millah ini mendorong meluasnya paham satu mata - dua. Wallahua'lam.
Mohon maaf dan perbaikan atas ketidak tepatannya.
Billahitaufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Wa'alaikum salam wr. wb.,
BalasHapusBegitulah, yg prinsip YHD/NSR sampai kapan pun mustahil mendapat bimbingan Allah. Sedangkan untuk dapat menyadari (paham-mengerti secara terpadu dg perasaan-hati dan pikiran-akal) keberadaan titik (getar ketenagaan dzat hidup), mutlak memerlukan ridha-Nya. Semoga Allah ridhai kita untuk mencapai keadaan itu. Salam, Taufik Thoyib