
dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (QS.82:8)
Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an
l Qur'an ialah ide Allah, semesta seisinya termasuk manusia adalah realisasi atau perwujudan ide tersebut. Maka, mau tidak mau ukuran kepribadian yang harus ditampilkan manusia adalah ukuran kepribadian qur’ani. Tanpa kecuali, seluruh bagian tubuh manusia merupakan terapan dari keilmuan Al-Qur’an. Bahkan tidak sedikit dari bagian tubuh manusia yang telah cukup jelas, merupakan rangkaian dari huruf-anka Al-Qur’an. Itulah sebabnya dengan sentilan halus Allah mengajak manusia merenung dan berfikir tentang bentukan-kejadian tubuhnya. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa jumlah terbesar manusia banyak tidak sadar, apalagi mengerti rangkaian tubuh yang ada pada dirinya sendiri. Hal itu diisyaratkan oleh Surah Al Infithaar Ayat 8 di atas. Apakah Al Qur'an berfihak?
Al-Qur’an tidak berfihak pada suatu pandangan-pendapat manusia, justru Al-Qur’an memberikan penyelesaian atas berbagai silang pendapat yang terjadi untuk kesetimbangan semua fihak, dengan cakupan kesemestaan pula. Ukuran kepastian kepribadian manusia dari Al-Qur’an akan mempermudah dan menghantarkan manusia meraih jenjang kesempurnaan hidup. Sebaliknya, ukuran kepribadian manusia yang tidak-pasti, pasti cenderung membawa hidup dan kehidupan manusia pada tingkat kehinaan bahkan merusak tatanan ketenagaan hidup semesta. Haqiqat kepribadian itu adalah bagian dari wujud kesempurnaan dan kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Manusia belum dapat dikatakan selaku makhluq paling sempurna, jika pada dirinya tidak tumbuh-berkembang nilai kepribadian Qur’ani. Sedangkan kesempurnaan itu sendiri merupakan bagian dari fithrah manusia. Siapapun manusianya, ia pasti ingin menampilkan suatu kepribadian. Sayangnya, penumbuh-kembangan nilainya banyak yang bersandar pada pandangan-pendapat dari hasil olahan-rekayasa kaum materialistis.
Padahal jauh sebelum berkembang berbagai macam buah pemikiran tentang kepribadian manusia, Al-Qur’an lebih dahulu memberikan ukuran pasti tentang kepribadian manusia. Bahkan Al-Qur’anlah yang mula-pertama mengajak manusia tampil berkepribadian sekaligus berbudaya. Tegasnya, Islamlah yang melahirkan nilai kepribadian dan budaya pada manusia. Sejarah membuktikan sebelum Al-Qur’an diturunkan dan Nabi Muhammad s.a.w. diutus, manusia khususnya di belahan dunia Eropa masih terbelenggu oleh kegelap-bodohan berfikir. Mereka tidak mengenal budaya, apalagi kepribadian. Yang ada pada mereka hanya hidup laksana binatang tanpa kendali dari kaidah pasti.
Mengingat demikian buruknya dampak hidup tidak berkepastian, maka sebagai bkti salah satu bentuk kepemurahan kasih-sayang Allah, manusia dicipta-Nya dalam keadaan sempurna-berkepribadian sekaligus perjalanan hidupnya dibimbing-arah agar selalu berketepat-bijak-pastian meraih tingkat kesempurnaan. Perasaan-hati siapakah yang tidak akan tergugah-getar oleh kelembutan pancingan sifat dan sikap Allah yang demikian luhur dan indah-Nya. Sehingga muncul dorongan kuat dari nurani-hati ungkapkan kata dengan sejujurnya: “Tiada kasih dan sayang yang paling tulus dan luhur-abadi, kecuali ketulusan dan keluhuran-abadi kasih-sayang Allah”. Setetes embun cinta sebagai penyejuk-segar Dia Allah jatuh-lekatkan pada hati. Bukti lain dari kesempurnaan cinta Allah yang dilangsungkan kepada manusia adalah: “Menjaga-pelihara manusia agar berketetapan dalam ruang-lingkup berkepribadian Qur’ani”. Tanpa berkepribadian Qur’ani, derajat manusia pasti akan menjadi hina. Itulah bagian dari nilai kesempurnaan manusia yang senantiasa dihimbau-langsungkan Allah kepada manusia.
Untuk hal itu diturunkanlah Al-Qur’an selaku alat pengendali atau obat-penawar bagi nafsu yang selalu berkecenderungan kuat ke arah kejahatan-hina melepas-campak nilai kepribadian Qur’ani. Sekaligus Al-Qur’an menjadi rahmat bagi kehidupan alam semesta sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya QS.17:82.
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar/obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian. (QS.17:82)
Sudah barang tentu obat yang dimaksud tidak hanya dalam pengertian sempit sebatas penyakit fisiq-jasadiyah. Namun jauh dari itu yang dimaksud adalah obat bagi penyakit pandangan hidup maupun pandangan keilmuan masyarakat jahiliyah, yaitu suatu masyarakat yang tidak memiliki nilai kepribadian karena terbelenggu pola-tradisi berkehidupan laksana binatang tanpa tata-aturan dan ukuran kejelas-pastian. Pola-tradisi kehidupan demikian itulah yang hingga sekarang ini terus dilanjut-langsung-kembangkan Yhd dengan sarana-utama tempat penggodokannya adalah kampus. Dapatlah dikata hingga sekarang ini kampuslah yang menjadi ajang utama tempat pelepasan kepribadian Qur’ani. Adapun Islam tinggal sebuah nama tanpa ada aplikasi yang nyata dalam berkehidupan Qur’ani. Disadari ataupun tidak, itulah kenyataan yang kini berlangsung dan berkembang pesat. Hal ini tidak lain disebabkan masyarakat Islam telah jauh berpaling dari isi kandungan Al-Qur’an. Senada dengan hal tersebut Allah menjelaskan dalam firman-Nya QS.25:30.
Berkatalah Rasul: “Ya Robbku, sesungguhnya qaumku telah menjadikan Al-Qur'an ini sesuatu yang tidak dipedulikan”. (QS.25:30) 
Benarkah masyarakat Islam telah meninggalkan Al Qur’an? Silakan mengikuti lanjutan kajian ini pada tulisan berjudul: ”Kepribadian Luhur Negeri-Bangsa Indonesia”. Artikel ini merupakan penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari Muqaddimah buku “Ukuran (Pasti) Kepribadian Manusia” (1422H) buah pena Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin – Admin.
Rabu, 05 Mei 2010
Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.