
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. 7:96)
esungguhnya, kemuliaan adalah terwujudnya kesetimbangan sempurna dari seorang manusia. Maka dapatlah dipahami, bila berjalannya suatu kehidupan tidak lagi sesuai dan searah “KUN” atau azaz penciptaan Allah, pasti ia akan hancur binasa. Bukankah kehancuran dan kebinasaan itu sama halnya dengan kehinaan? Kehinaan manusia dapat menyebabkan bumi tanah menjadi tandus. Manusia hina yang menyimpang dari “KUN” menjadikan lingkungan alam di sekitarnya ―khususnya bumi tanah― diliputi ketandusan. Dengan demikian, kapan seorang penyandang ilmu maupun seorang penguasa berkuasa tidak mampu mengatasi permasalahan kesuburan yang terjadi pada bumi tanah, itulah pertanda bahwa pada dirinya, sedang tersandang suatu gelar kehinaan. Apalagi bila permasalahan yang muncul semakin banyak. Itulah pertanda berlipat-lipatnya gelar kehinaan tersandang pada diri mereka. Maka, selama mereka enggan mengkaitkan ketandusan bumi tanah dengan laku diri mereka sendiri, selama itu pula tidak akan pernah didapati upaya yang tepat dan pasti untuk mengubah bumi tanah tandus menjadi bumi tanah subur.
Ketandusan bumi tanah meliputi berbagai macam aspek. Boleh saja bumi tanah dapat ditumbuhi dengan subur oleh berbagai macam tanaman. Tetapi bila pertumbuhannya banyak diserang berbagai macam hama, maka bumi tanah itu termasuk bumi tanah yang tandus. Khususnya di negeri ini, keadaan bumi tanahnya memang masih dalam keadaan subur, baik subur bagi tanamannya maupun subur bagi kandungan bumi tanahnya. Tetapi yang perlu diketahui ialah bahwa isyarat atau tanda-tanda menuju pada ketandusan sudah mulai gencar bermunculan.
Munculnya tanda-tanda ketandusan bumi tanah di negeri ini tidaklah sama atau mendekati sifat ketandusan bumi tanah yang ditempati oleh kaum bangsa Yhd. Tanda-tanda ketandusan itu merupakan peringatan keras dan tajam kepada penduduknya. Terutama tertuju kepada siapakah peringatan itu? Terutama kepada semua penyandang ilmu rekayasa ―tanpa kecuali― dan para penguasa berkuasa beserta orang-orang yang ada di sekitarnya.
Gelar penguasa dan ilmuwan, menakutkan bagi rakyat kecil yang merasa hina
Para penguasa berkuasa itulah yang paling banyak berperan mengatur dan menentukan pola kehidupan penduduknya. Penduduk biasa tidak dapat berbuat banyak menghadapi mereka. Bahkan mereka sering kali diperbodoh oleh para penyandang ilmu dan para penguasa berkuasa yang tidak jarang menganggap dirinya lebih mengerti dan paham atas alam lingkungan tempat tinggal masyarakat kecil. Malahan, sikap menganggap diri lebih mengerti dan lebih paham itu, sering ditampilkan pada ajang-ajang penyuluhan. Pada kenyataannya apa yang mereka sampaikan, tidak lebih dari pada sekedar teori dari kaum bangsa Yhd. Mau tidak mau, masyarakat kecil yang jauh dari dunia keilmuan dan pola tatanan hidup Yhd, merasa takut bila tidak mengikuti aturan dan ketentuan yang disampaikan para penyandang ilmu dan penguasa berkuasa. Bagaimana masyarakat kecil tidak akan merasa makin kecil bila setiap saat selalu ditakut-takuti oleh mereka? Sementara para penyandang ilmu dan penguasa berkuasa, justru tidak menyadari bila keberadaannya di tengah-tengah masyarakat kecil seringkali membawa rasa takut. Bagaimana tidak akan merasa takut, jika setiap hadir di tengah-tengah masyarakat kecil, mereka selalu membawa senjata gelar dan jabatan.
Bagi masyarakat kecil, senjata gelar dan jabatan yang mereka bawa dengan sendirinya banyak menimbulkan perasaan diri lebih rendah dan bodoh. Senjata gelar atau jabatan tidak pernah dilepaskan para penyandang ilmu dan penguasa berkuasa. Ketika datang berkunjung ke tengah-tengah masyarakat kecil, senjata itu langsung diperlihatkan dengan sebutan misalnya: “Profesor”, “Doktor”, “Insinyur” dan lain-lain. Atau, dengan “Bapak/Ibu Presiden”, “Bapak/Ibu Gubernur”, “Bapak/Ibu Lurah”, bahkan sampai kepada “Bapak/Ibu RT”. Pasti senjata itu akan menimbulkan jarak sosial di tengah-tengah kehidupan. Padahal, Rasulullah s.a.w. beserta para sahabatnya yang memiliki gelar dan jabatan langsung dari Allah, tidak pernah membawa senjata gelar dan jabatan saat mereka mendatangi sekelompok masyarakat mana pun. Mereka datang cukup hanya dengan membawa nama.
Begitu pula hamba-hamba kekasih Allah lain yang juga banyak memiliki gelar dan jabatan langsung dari Allah ―misalnya, Ali bin Abu Thalib yang bergelar “yang dimuliakan oleh Allah wajahnya” (karamullaahu wajhahu). Mereka tidak pernah memperlihatkan apalagi memperkenalkan gelar dan jabatannya. Keberadaan senjata gelar dan jabatan inilah yang akhirnya banyak membuat sikap-laku para penyandang ilmu dan penguasa berkuasa mengatur dan menentukan pola kehidupan masyarakat kecil. Maka ada yang perlu kita perhatikan. Ketika peringatan keras dan tajam ―khususnya melalui alam― tidak mendapatkan perhatian sungguh hingga batas waktu yang telah ditentukan-Nya, bukan bumi tanah negeri ini yang Allah tanduskan sebagaimana bumi tanah kaum bangsa Yhd, tetapi manusia-manusianyalah yang akan Allah pergantikan. Peringatan yang Allah tampilkan itu terutama bagi para penyandang ilmu dan para penguasa berkuasa. Mengapa? Para penyandang ilmu dan penguasa berkuasalah yang mula pertama akan dilenyapkan, disingkirkan atau dibinasakan alam. Walau saat manusianya Allah pergantikan melalui pembinasaan, sepintas kilas bumi tanah memang akan tampak ikut hancur binasa atau tandus, tetapi bumi tanahnya sendiri sebenarnya akan tetap dalam keadaan subur. [insya Allah berlanjut]
Diringkas oleh Taufik Thoyib dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Masyarakat atau Bangsa yang Tercela Menempati Kehidupan di Bumi Tanah yang Tandus”, 14 Rabiul Awal 1419H (8 Juli 1998).
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusBerkaitan dengan penjelasan di atas, sangat beralasan jika rentetan panjang bencana yang menimpa negeri-bangsa ini dihubungkan dengan tampilnya sosok penguasa beserta kaum intelektual penyokong garis2 pemikiran dan kebijakan kekuasaannya.
Fenomena bencana paling aktual yang terjadi adalah 'hadiah' (kehinaan) 1 tahun penguasa jilid II berupa BANJIR BANDANG WASIOR di ujung TIMUR (pra dopo) nusantara. ROIS SAW, pola kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, sebagai suatu tauladan kepemimpinan yang berazaskan pada KUN (S.47) penciptaan ALLAH SWT telah digeser pada pola pandang penguasa model YHD yang bermahkota kehinaan.
Wallahua'lam
Billahitaufiq wal hidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Wa'alaikum salam wr wb.,
BalasHapusBenar, untuk kita rakyat kecil yang awam, yang dapat dikerjakan ialah melakkan perbaikan diri dan meluas ke lingkungan masing-masing. Yang penting ada langkah-nyata upaya perbaikan. Jazakmullah kr kts, dan salam, Admin-Glagah Nuswantara.