
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilaah (andalan, yang dipertuhankan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. QS.47:19
Renungan di Gerbang Ramadhan (2)
Energi Kotor (Dosa) Merusak Fithrah Manusia dan Semesta
Sebahagian besar manusia, termasuk di kalangan muslim, menilai dirinya telah baik. Mari mencatat bahwa Abu Hafas berkata: "Orang yang paling cepat binasa adalah orang yang tak tahu cacat dirinya". Abu Utsman pun berkata: "Seseorang tak dapat melihat cacat dirinya selama ia menganggap baik dirinya. Hanya dengan mencurigai dirinyalah ia akan dapat melihat cacatnya itu" (dikutip dari Abdul Qadir Jailani, Al-Ghuniyyah li Thalibi). Nabi s.a.w. mengajarkan: "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain" (HR Adailami). Tak mudah untuk menjawab dengan pasti, apakah diri kita justru ikut andil merusak atau ikut memperbaiki manusia dan semesta. Sebahagian muslim berbangga bahwa ”Islam adalah rahmatan lil ’aalamin”. Karena merasa dirinya muslim, anggapan yang berkembang ialah bahwa dirinya ikut menjadi ”rahmat bagi semesta”.
Ciri orang yang berdosa adalah banyak ditipu oleh anggapan dirinya sendiri
Dapatlah dikatakan, siapa saja yang masih suka terjebak-tipu oleh anggapan-perkiraan dari dirinya sendiri, adalah pertanda bahwa hatinya masih tertutup oleh dosa-kesalahan yang belum terampunkan. Kotoran hati adalah pintu masuk jebakan syaithan mengilhamkan kepada manusia perbuatan bathil, sebagai kelanjutan dari perbuatan yang membuahkan dosa dan kesalahan awalnya. Dengan kata lain, syaithan membimbing perbuatan tanpa ketepatan dan kepastian. Hanya sedikit yang luput dari jebakan itu: “Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman” (QS 34:20). Sebaliknya, jika ampunan berhasil diraih (berarti hijab hati telah terbuka dari dosa-kesalahan), maka pola pikir yang berkembang dan berlangsung pada seorang hamba adalah ketepat-pastian. Perbuatan tepat-pasti adalah perbuatan yang terbimbing Allah, yang didapat setelah penghalang lapisan dosa telah rontok. Jadi, dapat dikatakan bahwa: Ketepat-pastian berfikir merupakan ukuran bebas tidaknya seseorang dari dosa-kesalahan.
Salah satu pemicu timbulnya kerusakan dan kehancuran hidup bersemesta adalah berkembangnya pola pikir berduga-sangka dengan anggapan-perkiraan menurut kepentingan, kebutuhan, kedengkian, dan keserakahan hawa nafsunya sendiri. Untuk itulah Allah hadirkan Ramadhan mengunjungi kehidupan manusia. Maksud lebih jauh dari datangnya Ramadhan adalah menyelamatkan hidup dan kehidupan bersemesta, khususnya menyelamatkan manusia dari petaka kehancuran. Hanya dengan ampunan Allah sajalah kehinaan dan hancuran hidup dapat diatasi.

Ketika memperoleh ampunan Allah, dengan sendirinya rajutan ketenagaan dzat hidup akan kembali pada garis edar kefithrahannya, yaitu bergerak dalam keteraturan yang santun berkesetimbangan. Satu hal yang perlu diketahui adalah sesungguhnya penciptaan Allah terhadap sesuatu dilangsungkan dengan kesantunan. Secara tidak langsung kesantunan ber-fungsi sebagai pengaman kehidupan. Artinya, kesantunan menjadi hakim tertinggi dalam menjaga kesetimbangan garis edar perjalanan masing-masing dzat ketenagaan sesuatu. Kesantunan tersebut Allah letak-lekatkan pada dzat ketenagaan hidup. Berarti, di setiap sesuatu (dalam bahasa populer: being, sein-seinde, être, syai’un) ada benih kesantunan yang Allah tanamkan. Pengolah-kembangannya, utuh diserahkan kepada manusia selaku khalifah.
Namun kesantunan manusia justru menjadi korban olah reka-logikanya (tentang beda logika dan ’aqal, silakan lihat tulisan dan di weblog ini ”Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah?”). Sekali logika mengolah-reka pemikiran, seketika gerak kesantunan manusia menjadi lemah bagaikan benang basah yang tak dapat ditegakkan. Ampunan dari Allah secara tidak langsung akan mengembalikan kesantunan dalam diri manusia. Dengan diraihnya kembali kesantunan, pasti kehancuran akan dapat diatasi. Segala kemahiran rekayasa logika tidak akan mampu mengatasi datangnya masa kehancuran. Jika dalam kenyataan sekarang, kesantunan makin jauh dari kehidupan masyarakat (bahkan beberapa kali dilaporkan oleh media-massa, terjadi tawuran antaranggota lembaga-terhormat negara!), dapat dipahami sedalam apa bangsa ini terbenam di kubangan lumpur dosa.
Adakalanya rekayasa logika tampak berhasil mengatasi kehancuran, namun sifatnya hanya sementara (dan jarang disadari bahwa ”solusi” yang diajukan sebenarnya berada dalam lingkaran tipu-menipu; sebagai contoh, data-informasi untuk menetapkan langkah pemecahan masalah tidak akurat bahkan didapat tanpa kejujuran; artinya: data dimanipulasi). Dengan langkah penyelesaian semu itu, tak jarang manusia akan semakin berbangga dengan reka-logikanya. Allah biarkan mereka, hingga batas waktu yang telah ditentukan, mereka akan menjadi makhluq hina dalam kehancuran.
Oleh karena itu marilah kita sadari bahwa dosa dan kesalahan yang tidak segera dihapuskan dari perasaan-hati, pasti akan mencuat menjadi bentukan ketenagaan yang merupakan himpunan dari getaran bebas, namun kotor. Keberadaan gerak-perjalanannya senantiasa membentur fithrah manusia dan semesta. Dengan kata lain, merusak rajutan dzat ketenagaan hidup yang fithrahnya bergerak dalam garis edar beraturan santun-berkesetimbangan. Benturan dari dua ketenagaan itulah yang akan menimbulkan kehancuran bagi kehidupan bersemesta khususnya manusia.
Lisan mohon ampun, pikiran dan perbuatan berkubang dosa
Boleh jadi, selama ini kita tidak menyadari bahwa laku-perbuatan dalam kehidupan yang didasari oleh reka-logika, merupakan andil dalam mengundang kehancuran kehidupan bersemesta. Bersyukurlah kita, saat hidup manusia berbangga dengan kegiatan reka-logika yang ternyata hanya mengundang kehancuran hidup, kita mengetahui secara jelas hal-ihwal kehancuran yang terjadi di tanah-air ini. Sering kali nafsu manusia memprotes bahkan meronta terhadap tindakan Allah membatasi gerak kebebasan dan keinginan nafsu terhadap isi dunia. Lisan manusia memang sering memohon ampunan, tetapi pemikiran dan laku perbuatan yang dilangsungkan tanpa disadari terus berlanjut membawanya masuk ke dalam kubangan dosa.
Maka dalam rangka menyambut dan mensyukuri kunjungan Ramadhan, kepada siapa saja yang masih mau bersabar menata nafsu, masih ada kesempatan berupaya sungguh-sungguh meraih ampunan Allah sebagaimana dihimbaukan pada firman di atas. Ampunan tidak hanya dijemput dengan lisan, tetapi getar pikiran dan perasaan-hati dalam sikap-laku-perbuatan lurus kepada Allah, yang diterbitkan dalam aktifitas pengabdian kepada-Nya.
Diringkas dan disunting sebagian oleh Taufik Thoyib dari kajian Ki Moenadi MS tanggal 11 Rajab 1424 atau 6/11/2003 di Malang, dokumentasi Yayasan Badiyo.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.