Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka
ulitmu adalah saksi-jujur kedustaanmu. Demikianlah kandungan Al Qur'an Surat Al Fushilat Ayat 22. Maka, marilah kita ketahui dan sadarilah bahwasanya tidak ada satu pun manusia yang dapat bersembunyi dari persaksian penglihatan dan pendengarannya sendiri atas ucapan, baik yang dilisankan, dituliskan, maupun yang bergerak di dalam bathin. Penglihatan, pendengaran serta kulit diri sendiri adalah penyaksi-penyaksi yang tidak dapat disogok atau ditekan oleh nafsu; kesalahan sekecil apapun yang dilakukan manusia tidak akan dapat tersenyembunyikan darinya.Pada hakekatnya, manusia tak dapat menyembunyikan atau menyamarkan apapun di hadapan Allah.
Kesombongan menilai diri dan pihak lain
Contoh nafsu menyamarkan kesalahan adalah: “saya memang salah, tapi bukankah saya sudah berusaha begini dan begitu; saya berbuat ini karena dia begini dan begitu.” Pernyataan semacam itu merupakan salah satu cara berargumentasi atau beralasan yang dilakukan nafsu untuk menutupi keutuhan kesalahan diri. Juga perwujudan dari anggapan atau penilaian diri yang telah merasa “begini dan begitu”. Bahkan sebetulnya sekaligus kesombongan dalam menilai pihak lain.
Mengapa hati manusia tidak mampu mendengarkan persaksian dari pendengaran, penglihatan serta kulitnya sendiri?
Karena, hatinya tebal tertutup oleh sikap beranggap-sangka. Jadi, pada akhrinya, sikap diri yang suka beranggap-sangka itulah yang akan membawa diri manusia pada titik kehancuran. Sebenarnya mudah bagi manusia untuk mengukur apakah diri telah bersih dari bersikap tidak jujur dan beranggapan atau tidak. Selama berita keilhaman dari Allah belum pernah langsung manusia terima, itu pertanda bahwa ketidak-jujuran dan beranggap-sangka masih menjadi motor penggerak perilakunya. Dalam hal ini, antara beranggapan-sangka dan berdusta tidak dapat dipisah-pisahkan karena keduanya merupakan kerja-sama yang kuat untuk mengokohkan kekuasaan nafsu.
Ketika manusia berduga-sangka, maka di sanalah kedustaan mengiringi; kapan manusia berdusta, di saat itu pula anggap-sangka turut menyertai. Sikap beranggap-sangka menipu-daya, beranalisa serta segala bentuk kedengkian-logika-nafsu dapat menjadi bentuk berhala-berhala yang dipertuhankan dan dipatuh-taati diri. Sebenarnya bentuk berhala-berhala itu hendak Allah rubuhkan dari dalam diri manusia, bahkan hendak Allah penggal-penggal dengan pisau ketajaman untaian mutiara rahmat. Sejak untaian mutiara rahmat Allah sajikan ke hadapan manusia lewat apa yang dibawakan oleh para rasul-Nya, sejak itu pulalah keberadaan berhala-berhala secara berangsur-angsur rubuh terpenggal-penggal. Tetapi karena tidak adanya upaya masing-masing manusia mengangkat-buang sebersih-bersihnya ceceran penggalan-penggalan berhala yang telah Allah rubuhkan, maka berhala-berhala yang semula telah terpenggal-penggal oleh keberadaan untaian mutiara rahmat bangkit merekat-lekat kembali menguasai hati. Bagaimana agar hal itu tidak terjadi?
Membuang pola sikap perasan dan pikiran beranggap sangka mesti dengan kesungguhan jihad.
Berhala-berhala itu merupakan ketenagaan sifatnya pasti bergerak dan hidup. Suatu kewajaran jika untaian mutiara rahmat yang Allah hias-patrikan ke dalam hati manusia tidak berhasil menancap apalagi menyerap kedalam perasaan-hati, karena di dalam hati sudah terisi pilar-pilar berpagar besi kedengkian logika-nafsu dengan segala bentuk keburukan dan kejahatanya. Memang, sebenarnya tidak layak mematri-hiaskan untaian mutiara rahmat di dinding hati bertembok besi kedengkian-logika-nafsu. Hal demikian itu pasti bukannya tidak Allah ketahui. Justru kenyataan demikian itu mendorong bertambahnya rasa kasih-sayang Allah untuk memperbaiki keadaan perasaan-hati manusia.
Benarkah? Buktinya antara lain: ketika dihadapkan pada firman Allah, sebagian besar manusia malah menjauh. Bila keadaan demikian tidak Allah sambut dengan rasa kasih-sayang atau dibiarkan terus-menerus dipagari oleh kekerasan tembok kedengkian-logika-nafsu, tentunya manusia jugalah yang akan merugi dalam bentuk terjerumus ke dalam lembah kesengsaraan yang berkekekalan: kesengsaraan hidup akan terus berlangsung sampai di akhirat-kelak di neraka jahanam.
Berawal dari rasa kasih-sayang itulah, maka Allah hias-patrikan dinding hati manusia yang bertembok-besi kedengkian-logika-nafsu dengan mutiara rahmat Al Qur’an dan petunjuk pelaksanaannya Al Hadits. Dengan isyarat melalui ketukan-ketukan pematrian hiasan mutiara rahmat, kekerasan besi kedengkian logika-nafsu yang telah memagari kelembutan dan kepekaan hati dapat diretak-pecahkan secara pasti. Ketukan-ketukan itu bisa jadi sangat tidak menyenangkan bagi manusia karena berbentuk kepahitan hidup. Atau sebaliknya, menyenangkan tapi sebetulnya adalah latihan mawas diri untuk senantiasa tak berbangga-takabur. Jika tepat menyikapinya, barulah kemudian pecahan-pecahan kekerasan tembok berpagar-besi kedengkian logika nafsu dapat diangkat kemudin dibuang melalui tindakan kegiatan olah-lanjut mewujudkan syukur dalam sikap dan perbuatan nyata: beramal-sholeh, beramar-ma’ruf-nahi-munkar, berjihad di jalan Allah sesuai dengan kesempatan dan kemampuannya. Bila retakan dan pecahan kekerasan pagar tembok-besi kedengkian-logika-nafsu tidak segera diangkat dan dibuang oleh kesyukuran sikap mewujud dalam jihad, maka pastikanlah, cepat atau lambat, retakan dan pecahan kedengkian-logika-nafsu akan kembali pada kekerasannya untuk memagari dinding-hati.
Allah mematri untaian mutiara rahmat ke dinding hati
Bila hal itu yang terjadi, maka hiasan untaian mutiara rahmat yang Allah patrikan di dinding hati akan tertutup kembali oleh kekerasan pagar-besi kedengkian-logika-nafsu. Secara isyarat keadaan demikian itulah yang saat ini sedang berlangsung di dalam diri manusia khususnya ummat Islam. Tentu saja terjadi pada mereka yang belum berhasil mewujudkan syukurnya atas rahmat diposisikan sebagai sebaik-baik ummat. Setiap Allah mematrikan hiasan mutiara rahmat di dinding hati manusia, selalu saja itu mengelupas tanpa berhasil menyatu. Apalagi sampai tumbuh-berakar untuk dipetik-sikapi kembali dalam tampilan akhlaq terpuji. Diibaratkan, pematrian untaian mutiara rahmat ke dinding hati yang berpagar kedengkian-logika-nafsu adalah laksana menghiasi suatu rumah. Apabila dindingnya ditata dengan hiasan-patri bernilai keindahan, tentunya keindahan dan keterpujianlah yang senantiasa tampil terlihat mata. Begitu pula dinding hati yang telah dihias-patri dengan keindahan untaian rahmat dari Allah, tentunya nilai keindahan dan keterpujian pada perilaku akhlaq akan tercermin-tampilkan di setiap saat. Bagaimanakah agar akhlaq manusia dapat berhijrah dari berperilaku akhlaq buruk-tercela menjadi indah-terpuji?
Empat tulisan "Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta", "Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka", "Kesombongan: Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah", dan "Rongrongan Iblis terhadap Manusia" yang diterbitkan 30 Rabi'ul Akhir 1431H (15/04/2010) di weblog kita ini merupakan satu rangkaian rangkuman pengajian dari Ki Moenadi MS 1421H (2000), berjudul: "Ketika Unsur Jasadiyah Membuka Persaksian Tersingkap Kejahatan Anggap-sangka yang Menghancur-binasakan Unsur Ruhaniyah". Kami menyediakan tautan untuk mengunduh versi PDF-nya di kolom sebelah kanan. Admin.
Kamis, 15 April 2010
Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.