Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #4
Janganlah Membuat Kerusakan di NKRI
Tanpa disadari, sejak lebih dari empat puluh tahun yang silam, bangsa ini –dipimpin oleh pemerintahnya— bisa jadi hanya merusak alam yang semestinya disyukuri. Kini buah adzablah yang menanti Indonesia.
Dan (ingatlah juga), tatkala Robbmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (QS. 14:7)
Dapatlah dipetik pelajaran dan ketegasan sikap-pandangan: kesulitan-kesukaran yang sedang berlangsung dalam kehidupan bangsa Indonesia, secara tidak langsung merupakan gambaran dari adzab Allah. Semuanya terjadi akibat bangsa ini kurang memperhatikan keberadaan rahmat Allah sebagaimana tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea ke-3. Jika benar syukur dapat dilangkah-nyatakan, pertama-utama yang harus sudah tegak dalam kehidupan bangsa Indonesia adalah landasan kebersamaan. Sedangkan kebersamaan hanya dapat tegak dengan langkah kebijak-tepat-pastian. Apakah yang dimaksudkan?
Maksudnya bagaimana cara agar pandang yang berbeda dalam kehidupan masyarakat bangsa ini dapat terhimpun menjadi satu pandangan tanpa harus mengorbankan prinsip-nilai islami. Tetapi ingat, hal ini bukan berarti prinsip-nilai harus ditonjol-tampakkan pada fihak-fihak yang berbeda pandangan. Di sinilah diperlukannya kelihaian siasat-strategi dalam melebur-masukkan prinsip-nilai islami dalam satu pandangan kebersamaan. Contohnya nilai-nilai kemanusiaan dalam azas negera kita. Bila digali dan kaji lebih jauh ke dalam, sebetulnya merupakan tuangan-pencairan dari firman Allah QS.2:11: “...Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (QS.2:11)
Satu hal yang perlu direnungkan bersama. Secara tidak disadari bangsa Indonesia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan Islami dengan masuknya HAM. Padahal jika direnungkan, kandungan “...Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” telah dicairkan menjadi nilai dasar berbangsa. Dalam hal ini cakupan penjagaan hak hidup tidak saja terbatas masyarakat manusianya, tetapi meliputi penjagaan hak hidup masyarakat alam lingkungan. Belum dapat seseorang dikatakan berperi-kemanusiaan yang adil dan beradab jika hanya hak azasi manusia (HAM) yang dilindung-tegak-langsungkan, sementara hak-hak hidup makhluk alam lingkungan ditekan-perkosa kebebasannya --dengan cara dipaksa harus memberikan “hasil cepat berlipat waktu singkat, dengan cara semudah-mudahnya dan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”.
Apa yang terjadi akibat hak hidup masyarakat alam lingkungan tidak dilindungi? Masyarakat alam lingkungan tidak lagi bersahabat dengan masyarakat manusia. Padahal untuk mewujudkan hunian kehidupan yang makmur bersahaja, masyarakat manusia tidak dapat terpisah dari masyarakat alam lingkungan.
Salah satu penentu kemakmuran adalah kesetiaan masyarakat alam lingkungan terhadap masyarakat manusia. Artinya, masyarakat alam lingkungan akan dengan sangat mudah memberikan hasil yang terkandung di dalamnya tanpa menimbulkan bencana kerusakan bagi masyarakat manusia. Satu hal yang tidak pernah disadari bahwa akibat azas kemanusiaan yang adil dan beradab digeser oleh HAM, maka bangsa Indonesia sulit meletakkan ketegasan hukum kepada fihak-fihak yang ingin berlepas diri dari kesatuan-persatuan Ibu Pertiwi. Padahal, fihak-fihak itu sudah pasti ditunggangi bahkan telah menjadi kaki-tangan Yhd. HAM telah menohok kehidupan bangsa dari belakang. Akibatnya bangsa ini dihadapkan pada titik-rawan dan krisis perpecahan bangsa yang kian meruncing dan meluas.
Tulisan di atas merupakan bagian dari buah pena Ki Moenadi MS (alm) tahun 2001, berjudul “Indonesia-Ku, Pengantar Kami”, dengan penyesuaian redaksional dan beberapa tambahan informasi mutakhir dari Taufik Thoyib. –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusPada medio Juli 2010 dipentaskan sebuah pantomim dengan lakon Sapu di Tangan yang dibawakan oleh Teater Sena Didi Mime pada Lakon garapan sutradara Yayu Aw Unru ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, sebagai bagian dari Jakarta Anniversary Festival 2010. Berikut sedikit kutipan 'dialog' (pen: agak aneh memang dalam sebuah pertunjukan pantomim, muncul sebuah dialog) menjelang akhir2 pertunjukan:
"Bahkan, penonton tergelak ketika mendengar ucapan salah seorang penari dengan logat Jawa yang halus, lalu menutupnya dengan umpatan yang sama sekali tidak nyambung dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Begini kira-kira ia berkata, "Nek dikandhani wong tuwo ki seng manut. Giliran loro ati, ngadhep marang Gusti. Kae, deloken mbak Ani. Mantep to...Asu! (Menurutlah kalau dikasih tahu orang tua. Giliran sakit hati pasti meratap pada Tuhan. Lihat itu mbak Ani. Mantap kan? Anjing!)".
Kalimat: Kae, deloken mbak Ani. Mantep to...Asu! (Pen: Itu Lihat mbak (Ani?Sri Mulyani). Mantap kan?...ASU/USA.
Ketika diumumkan berdirinya Partai SRI dengan gambar 'Sapu Lidi' dan menggadang2 Sri Mulyani sebagai capres 2014 pada medio Juli 2011 kemarin.
Tampak2nya ada kaitan yang serius dan terprogram antara sebuah pertunjukan pantomim
dengan sebuah agenda politik di negeri ini. Dan sangat mudah terbaca ASU adalah dibelakang mereka semua. Akan ramai sekali jika 'belang' ini sampai tersebar luas.
Dan dengan partai SRI, sepertinya mereka berusaha untuk merealisasikan terbentuknya Serikat Republik Indonesia..
Mohon maaf jika kurang berkenan,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Wa'alaikum salaam wr wb., Maturnuwun terusan berita Sahabat_Janaka. Bahaya dan bencana besar bila Indonesia berubah dari Kesatuan (NKRI) menjadi Serikat (model Amrik).
BalasHapus