Jumat, 11 Januari 2013

Ilmu Manusia Hanya Melahirkan Permasalahan?


Kekayaan alam negeri ini ternyata dikuasai asing. Inikah bukti terapan keilmuan intelektual negeri yang mayoritas penghuninya muslim ini? Pantaskah ilmu melahirkan permasalahan? Pertanyaan itu merupakan pertanyaan sangat menyayat perasaan –khususnya, bagi kaum intelektual yang memiliki perasaan. Kaum intelektual selaku pencinta ilmu, jika mereka memang masih memiliki perasaan, pasti tidak akan bisa menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”. Apa beda keilmuan yang dibangunan oleh manusia modern dengan persangkaan kedengkian-logika-nafsunya dengan keilmuan Allah yang menyertai penciptaan semesta milik-Nya?

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka" (QS. 53:23).


Ilmu Manusia Hanya Melahirkan Permasalahan?





ampir semua orang di muka bumi bisa dan mudah mengatakan “kebenaran”. Tetapi sangat sedikit dari jutaan manusia di muka bumi itu yang bisa mengetahui kebenaran itu dalam arti sesungguhnya. Buktinya, kebenaran yang sering kali mereka sampaikan sifatnya selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu --seakan-akan kebenaran itu sangat tergantung pada keadaan. Padahal, apa pun dan sampai kapan pun kebenaran tidak akan pernah berubah-ubah karena sifatnya tetap, dan tidak pernah tergantung pada keadaan. Justru haqiqinya, satu-satunya yang mampu mengubah keadaan hanyalah kebenaran. Salah satu sifat kebenaran itu adalah untuk mengubah keadaan untuk lebih baik dan sempurna. Jika kenyataannya keadaan tidak berhasil diubah, itulah bukti bahwa kebenaran yang ada bukan yang haqiqi. Tetapi, kebenaran yang lahir dari sangkaan tingkat tinggi kemudian diolah dan direkayasa.

Dalam pandangan kaum intelektual, apabila suatu “ilmu bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan”, itulah yang dinyatakan sebagai hal kebenaran mutlaq --meskipun pengertian ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan masih dalam tanda petik. Melihat kenyataan, tidak sedikit ilmu yang memang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan. Tetapi ilmu-ilmu itu berkesudahan dengan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan semesta. Bahkan bukan saja sekedar berdampak negatif, tetapi bisa juga mematikan kehidupan dalam arti sangat luas. Masihkah dapat dikatakan setiap ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan, itu pasti ilmu yang benar? Bukankah yang namanya benar itu pasti berakhir tanpa menimbulkan dampak negatif? Berarti, meskipun tampaknya bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan, setiap kegiatan ilmu berkesudahan dengan dampak negatif bagi kehidupan, adalah pertanda bahwa ilmu itu menimbulkan permasalahan di tengah-tengah kehidupan. Mengapa bisa demikian?

Pantaskah ilmu melahirkan permasalahan? Pertanyaan itu merupakan pertanyaan sangat menyayat perasaan –khususnya, bagi kaum intelektual yang memiliki perasaan. Kaum intelektual selaku pencinta ilmu, jika memang mereka masih memiliki perasaan, pasti tidak akan bisa menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”.

Sebenarnya bila ilmu dikatakan melahirkan permasalahan, hal itu bertentangan dengan salah satu sifat asma yang menghiasi Allah, yaitu pakaian kebesaran Maha Berilmu. Pakaian kebesaran maha berilmu itu Allah pinjamkan kepada manusia. Sehingga manusia pun ikut-ikut berilmu. Allah menerapkan ilmu yang mewujud pada kehidupan bersemesta tanpa menimbulkan masalah satu pun. Tetapi anehnya, mengapa ketika ilmu sampai pada manusia, justru menimbulkan masalah saat diterapkan. Berarti telah terjadi penyimpangan dalam penerapan ilmu oleh manusia.

Dalam penerapan ilmu-Nya, Allah menggunakan kunci Kebenaran-Nya. Sedangkan manusia dalam menerapkan ilmu terlebih dahulu membuat kunci kebenaran melalui olah sangkaan. Dari sinilah awal mula munculnya permasalahan. Dengan demikian, saat keilmuan diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya, selalu ada penyimpangan dari kebenaran yang sesungguhnya –yaitu Al Haqq. Sementara hadirnya ilmu di tengah-tengah kehidupan bukanlah untuk menimbulkan permasalahan, justru untuk menghadapi permasalahan.

Dalam pandangan kaum intelektual, antara ilmu dan pribadinya tidak bisa dipisah-pisahkan, seakan-akan antara ilmu dan pribadinya senantiasa menyatu. Kapan ilmunya disinggung otomatis pribadinya akan tersinggung, begitu pula sebaliknya kapan pribadinya yang disinggung mau tidak mau ilmunya pun ikut tersinggung. Dengan demikian kapan ilmu dinyatakan melahirkan permasalahan sama halnya mengatakan dirinya hanya melahirkan permasalahan.

Itulah sebabnya tidak seorangpun kaum intelektual yang dapat menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”. Hal demikian itu bukan berarti salah, justru demikian itulah sebenarnya. Haqeqat atau fungsi dari pada keilmuan berada di tengah-tengah kehidupan manusia, adalah untuk menyelesaikan tuntas setiap permasalahan yang muncul. Dapatkah manusia khususnya kaum intelektual mempertanggung-jawabkan fungsi atau haqiqi keberadaan ilmu yang demikian itu? Inilah yang sulit dijawab dengan tepat oleh mereka. Meskipun secara lisan sangat mudah untuk dijawab, tetapi bila kenyataannya permasalahan semakin tumpang tindih, berarti jawaban itu hanya menambah besarnya lubang permasalahan. Dengan demikian agar lubang permasalahan tidak semakin melebar maka satu-satunya upaya yang harus dilakukan adalah menjadikan ilmu bukan hanya sebatas pada pernyataan, tetapi bagaimana agar keilmuan itu benar-benar dapat diterapkan dengan fungsi menyelesaikan permasalahan. Itulah yang sangat sulit diterapkan. Jika demikian, berarti pernyataan “setiap ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan itulah kebenaran” tidaklah tepat. Buktinya permasalahan bermunculan. Yang mengundang hadirnya permasalahan di tengah-tengah kehidupan adalah adanya sikap penyelewengan terhadap Kebenaran Haqiqi.

Demikianlah suatu ketetapan yang harus dan pasti terjadi. Kapan Kebenaran Haqiqi diselewengkan, pasti muncul rantai permasalahan yang sulit diatasi --baik permasalahan yang timbul di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, maupun bersemesta. Begitu pula, kapan permasalahan yang datang tumpang tindih diselesaikannya dengan cara sangkaan atau hipothesa, pasti permasalahan itu semakin berlipat ganda dan merambat cukup luas dan jauh. Sementara itu, daya kemampuan sangkaan semakin terbatas untuk mengatasi permasalahan. Bila sangkaan dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang sedang berjangkit khususnya di negeri ini, maka permasalahan itu tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas --bahkan permasalahan itu semakin meluas berjangkitan. Dengan demikian dapatlah kita merenungkan, mengapa permasalahan di dalam negeri akhir-akhir ini sulit sekali di atasi. Itulah bukti bahwa permasalahan yang timbul hanya diselesaikan dengan berbagai teori sangkaan atau hipothesa. Sementara itu setiap Kebenaran Haqiqi datang hendak meletakkan keadilan sebagai bantuan utama untuk memecahkan permasalahan, selalu dihadang bahkan dipandang sebagai hal tidak manusiawi. Itulah sebabnya di hadapan banyak permasalahan yang timbul di dalam negeri ini, Sang Kebenaran sementara waktu bersikap berdiam diri, sambil tersenyum menunggu bukti. Adakah permasalahan itu terselesaikan tuntas atau sebaliknya tingkat permasalahan itu semakin melebar?



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 21/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari dua tulisan. Bagian pertamanya adalah Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup -Admin

Baca Lanjut...

Minggu, 09 Desember 2012

Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup


Seringkali manusia menyangka bahwa logika-nafsunya membawakan padanya kebenaran. Padahal, lebih sering terjadi bahwa yang dipikirkan logikanya adalah persangkaannya belaka. "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (QS 10:36). Akibatnya, peradaban yang dibangun manusia seringkali justru merugikan, bahkan membahayakan kehidupannya. Bom nuklir adalah bukti tak terelakkan. Manusia hidup dalam kekejaman dan kegersangan karena pola berfikir penuh persangkaan. Bukan berpikir dengan kepastian.

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka" (QS. 53:23).


Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup





radisi berpikir dengan persangkaan logika-nafsu, ibarat tak lebih dari lelaki tua-renta berbaju compang-camping bertongkat lapuk yang sangat lelah terseok-seok menempuh perjalanan tak berujung melintasi padang gurun gersang di bawah terik mentari. Perjalanan panjangnya belum juga tampak akan berakhir. Siksa akan terus ia rasakan. Itulah pengibaratan bentukan dari buah berfikir yang diolah dari sangkaan atau hipothesa. Bukankah demikian gambaran manusia modern yang senantiasa berandalkan logika dirinya?

Manusia modern tampak gigih dan ulet berupaya berilmu. Namun kegigihan dan keuletanmu itu sebenarnya hanya digunakan untuk menjalankan kegiatan berfikir yang tidak membawa pada kesegaran, tetapi membawa pada kelayuan hidup. Sedangkan pakaian yang tampaknya tercabik-cabik haqeqatnya adalah tidak terawatnya pakaian kemuliaannya, yaitu pakaian taqwa. Begitu pula tongkat lapuk yang ada di tangannya haqeqatnya itulah kebenaran yang selama ini dipegang, yakni kebenaran yang rapuh yang lahir dari persangkaan tingkat tinggi. Tongkat lapuk atau kebenaran rapuh itulah sebenarnya yang telah mengarahkan perjalanan berfikir manusia modern pada kelayuan hidup. Sementara padang pasir yang dilalui, itulah sebenarnya diri manusia modern yang selama ini berjalan di atas kegersangan, karena yang dipegangnya adalah kebenaran rapuh.

Bisa jadi timbul rasa malu mendalam pada diri kita. Ternyata itulah diri kita selama ini yang tidak pernah kita sadari. Allah sangat berbelas kasih pada makhluq ciptaan-Nya yang menjadi renta dan tahu pasti arah perjalanan hidup. Ibaratnya, dengan kearifan dan kebijakan sikap-Nya, manusia modern yang kita tamsilkan bagai laki-laki tua renta berjalan di padang pasir itu pun dipapah-Nya. Kemudian dihantarkan-Nya pada suatu telaga. Diciduk-Nya dengan telapak kasih-Nya, segenggam air untuk diminumkan-Nya pada manusia tua renta. Juga untuk disapukan kewajah yang letih dan layu. Demikian itulah akhir dari segala gambaran yang menggambarkan keadaan diri manusia modern yang sesungguhnya yakni yang suka berbangga dengan ilmu yang lahir dari sangkaan atau hipothesa tingkat tinggi yang terpandang sebagai kebenaran mutlak.

Demikianlah sekelumit gambaran, betapa jahatnya sangkaan atau hipothesa yang selama ini menjadi kebanggaan kaum intelektual. Cara berfikir dengan hipotesa atau persangkaan ternyata hanya menjauhkan manusia dari kebenaran yang sesungguhnya. Bahkan lebih buruk dari pada itu, mengakibatkan terlilitnya leher-leher kehidupan oleh permasalahan berantai. Itulah sebabnya pada “kebenaran” kembali menjadi bahan utama.

Semua penjelasan dari Allah pada manusia, sifatnya adalah kebenaran. Al Qur’an adalah kebenaran. Tidak ada penjelasan Allah yang tidak menjelaskan kebenaran. Sampai pada masa berakhirnya kehidupan di muka bumi ini penjelasan mengenai kebenaran tidak akan pernah berhenti Allah jelaskan. Apabila manusia telah buta terhadap kebenaran sama halnya manusia menyongsong kehancuran. Sebenarnya sejak dahulu sebelum kita hadir di muka bumi ini --bahkan sebelum zaman kerasulan Nabi Muhammad s..a.w.-- penjelasan mengenai kebenaran juga sudah ada, yakni sejak manusia pertama Nabi Adam a.s. Penjelasan mengenai kebenaran senantiasa hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Namun tidak selamanya penjelasan mengenai kebenaran itu dapat diterima baik di hati manusia. Berapa banyak kaum atau ummat yang mengingkari hadirnya kebenaran. Mereka ditimpa adzab akibat keingkaran atau penolakan terhadap hadirnya kebenaran.

Ada sedikit perbedaan antara ummat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dengan ummat setelahnya. Pada ummat sebelumnya, adzab seketika datang menimpa saat penjelasan kebenaran tidak bisa di terima dengan baik. Tetapi ummat setelahnya, adzab tidak seketika ditimpakan. Allah berikan waktu penangguhan. Maksudnya, selama pemberian waktu penangguhan itu muncul kesadaran untuk bertaubat dan kemudian menerima baik datangnya penjelasan kebenaran. Sikap Allah yang demikian ini merupakan pantulan dari cinta kasih terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Penderitaan panjang yang telah dirasakannya merupakan bagian sambutan kaum jahil-bodoh terhadap sikap Nabi Muhammad s.a.w. Hanya satu yang mendorong kegigihan dan ketabahannya yakni timbulnya rasa tidak sampai hati melihat ummatnya terbelenggu dalam kancah kebodohan. Itulah sebabnya sebagai penghargaan atas kegigihan-ketabahan rasul dalam menyampaikan kebenaran dan sebagai balasan dari derita panjang yang telah dirasakan Muhammad Rasulullah, maka terhadap ummatnya hingga akhir zaman, Allah tidak segera menurunkan adzab bila mereka menolak penjelasan tentang kebenaran.

Jika perlakuan sikap Allah disamakan dengan ummat sebelum Muhammad Rasulullah, pastilah tidak seorang pun di antara kita yang masih tersisa hidup di muka bumi ini, karena tidak sedikit sikap manusia modern yang menolak datangnya penjelasan kebenaran. Sudah barang tentu penjelasan kebenaran yang dimaksud adalah penjelasan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Meskipun sikap manusia modern menolak datangnya penjelasan kebenaran, bukankah sikap Allah tidak bersegera mendatangkan adzab? Sebaliknya maaf dan ampunanlah yang tiada henti Allah berikan kepada manusia. Mampukah manusia khususnya ummat Islam di Indonesia memanfaatkan maaf dan ampunan yang cukup panjang Allah berikan? Jawaban pastinya bukan pada lisan, namun melalui sikap diri. Bila maaf dan ampunan yang telah cukup panjang Allah berikan tan dapat dimanfaatkan, maka waktulah yang akan menentukan datangnya adzab. Jika saja perasaan kita senantiasa diarahkan dan dicurahkan pada sikap perlakukan Allah yang, tentunya sikap kita dari hari kehari akan tampak lebih baik dan lebih sempurna. Masing-masing diri akan berlomba terus menerus untuk maju lebih dahulu mengadakan perbaikan sikap hidup dan menggerakkan pembaharuan di segala bidang kehidupan: keilmuan, politik, dan ekonomi. Orang yang telah menyadari dan merasakan adanya maaf dan ampunan yang cukup panjang dari Allah, tidak akan pernah mau menjadi orang yang tertinggal dalam menyelenggarakan perbaikan di tanah airnya.



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 21/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan -Admin

Baca Lanjut...

Rabu, 28 November 2012

Pertahankan Kesatuan Negeri Kesayangan Ridha Ilaahi (NKRI)!



Di tanah air ini, tampak kasat mata bahwa ummat Islam demikian terpuruk. Mengapa? Karena nilai-nilai Kebenaran Haqiqi yang semestinya ditegakkan, justru terlupakan. Penyebabnya ialah keterlenaan terhadap nilai-nilai YHD/Nsr. Padahal, keadaan kita makin parah: antar-ras, antar-etnik dibuat bermusuhan, antar-golongan direkayasa agar tak pernah akur, dan yang paling berbahaya ialah antar-pemeluk agama di diadu-domba dan ditipu-daya agar bukan hanya berseteru, saling tindas, dan saling menafikan, tapi sudah menjurus pada saling membenci. Sementara itu, tawuran berskala sekolah, antar-kampus, antar-kampung, bahkan antar-pemimpin mewabah di mana-mana (lihat video: Baiti, Madrasati [Rumahku, Madrasahku] Mewujudkan Akhlaq Keluarga Cinta Allah). Timur Indonesia yang kaya raya alamnya, hampir nyata dalam cengkeraman pihak asing yang menunggangi oknum-oknum kapitalis dalam negeri. Propinsi demi propinsi dipisahkan dengan penghembusan isu SARA. Maka, sudah saatnya ummat Islam benar-benar bangkit mencuatkan kesatuan pandang hidup bertauhid murni di negeri ini, untuk menyongsong kebangkitan bersemesta sebagaimana yang ditauladankan Nabi Muhammad saw.

“... maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Allah jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (QS. 8:12).


Pertahankan Kesatuan Negeri Kesayangan Ridha Ilaahi (NKRI)!





ebenarnya, jika jauh-jauh hari ummat Islam khususnya di Indonesia bersegera dalam menyikapi penjelasan yang Allah berikan lewat Al Quran, tentulah saat-saat tepat seperti sekarang ini mereka telah dapat berkiprah lebih banyak untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebenaran atau membudayakan kembali kebenaran haqiqi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Karena di tengah-tengah kekalutan negeri, justru inilah waktu sebenarnya yang paling tepat untuk mengucurkan kembali kebenaran yang telah lama terbenam. Mengingat parahnya penyakit yang sedang melanda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah ibu pertiwi ini, maka kebenaran perlu dihadir-tegakkan sebagai daya tahan kehidupan Ibu Pertiwi. Kebenaran adalah satu-satunya obat paten pemulih daya tahan terhadap wabah penyakit menular hampir di seluruh aspek kehidupan di wilayah negeri ini. Semakin sering kebenaran di tegakkan dalam arti menjadi sikap hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan bersemesta, akan semakin cepat pula memulihkan negeri ini dari wabah penyakit. Sebaliknya semakin kebenaran direkayasa dalam penyikapannya, maka keadaan itu semakin menghantarkan kehidupan Ibu Pertiwi dalam lembah kebinasaan.



Semestinya ummat Islam khususnya di Indonesia-lah yang terlebih dahulu tampil membudayakan atau memasyarakatkan kebenaran di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tetapi karena masih sangat sedikitnya kebenaran yang bisa disikapi dalam kehidupan, akhirnya di saat jalan sedang terbuka lebar, ummat Islam khususnya Indonesia baru akan memulai pemrosesan. Itulah sebabnya telah acap kali kami sentilkan imbauan untuk memproses pembudayaan kembali kebenaran dengan siasat. Sebenarnya di balik kalimat imbauan ini tersirat suatu pengertian bahwa nilai-nilai kebenaran qur’ani selama ini belum berhasil dibudayakan dan dimasyarakatkan oleh ummat Islam di tengah-tengah kehidupan bangsa dan negeri Indonesia.

Seharusnya dengan sedang terbukanya jalan bagi kebenaran masuk di tengah-tengah ke-hidupan bukan lagi sikap berproses yang dilakukan tetapi buah dari pemrosesan yang telah di lakukan jauh-jauh hari sebelumnya itulah yang akan ditampilkan ke depan. Jika saja yang diimbaukan sejak dahulu benar-benar para hamba lakukan --bergerak dengan merambat menyampaikan nilai-nilai kebenaran-- tentulah pada saat seperti sekarang ini para hamba Allah akan semakin trampil dan cekatan melemparkan butir-butir kebenaran di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan bersemesta. Bila kenyataannya butir-butir kebenaran itu tidak bisa terlemparkan, itulah bukti bahwa himbauan Allah untuk menegakkan Islam di Negeri Indonesia tidak bisa terpenuhi dengan baik. Ajang pelatihan yang paling tepat memasukan kebenaran adalah kalangan intelektual, karena salah satu penggerak dan penyubur pola berfikir rekayasa YHD/Nsr adalah kalangan mereka. Setelah itu, mudah bagi ummat Islam untuk melemparkan butir-butir keilmuan di kalangan yang lebih luas.

Sebenarnya jelaslah sudah, betapa rapuhnya pola berfikir rekayasa. Alam berfikir-rekayasa tidak bisa mengetahui inti dan ketepatan dari sesuatu. Alam berfikir-rekayasa hanya bisa mengira atau menduga dan perhitungannya pasti meleset. Bila diperhatikan pada zaman keemasan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw akan terbukti bahwa dalam beberapa kali peperangan, kemenangan selalu berada ditangan orang-orang beriman. Rahasia kemenangan orang-orang beriman adalah dengan cara melemparkan siasat kebenaran. Karena tingginya getaran rasa cemas dan takut merasuk dalam diri orang-orang kafir, akhirnya kubu-kubu pertahanan mereka tidak dapat dipertahankan. Jika sudah demikian keadaannya barulah satu persatu para komandan atau para pemimpin di taklukkan, kemudian bagian-bagian dari pada kekuasaan mulai didekati untuk ditaklukkan. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah: “... maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Allah jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (QS. 8:12).

Dengan demikian untuk membuat ber-guncangnya pertahanan musuh dan mengalahkan lawan sebenarnya tidaklah perlu dengan adu persenjataan, cukup dengan keteguhan pendirian dalam melemparkan butir-butir kebenaran. Memang, bagi orang-orang yang suka berfikir-logika rekayasa sampai kapan pun tidak akan bisa mengetahui, bila dirinya sedang digeser oleh kecerdikan. Saat demi saat dirinya hanya dihantui oleh bayang-bayang ketakutan dan kecemasan, padahal yang ia takuti tidak terlepas dari apa yang telah mereka lakukan dengan rekayasa. Seakan-akan apa-apa yang mereka rekayasa selama ini telah berubah menjadi hantu yang menakutkan dalam kehidupannya sendiri.

Kebenaran yang ada di negeri ini dengan sengaja telah disimpan rapat oleh para bunga bangsa di dalam nilai-nilai luhur budaya bangsa. Inilah bentuk salah satu buah kecerdikan yang telah diberikan untuk mempersatukan kedaulatan wilayah negeri ini dari perbedaan. Dengan kata lain siasat dari buah kecerdikan telah berhasil mengikat tali persatuan dan kesatuan di wilayah negeri ini. Bagaikan orang memintal benang perbedaan dipersatukan oleh kebenaran qur’ani. Demikian itulah para pendahulu kita telah meninggalkan satu pintalan benang kepada pemuda generasi bangsa untuk menjahit atau merakit kembali pakaian kehidupan Ibu Pertiwi yang telah tersobek-sobek oleh ambisi dan keserakahan pen-jajah dan penguasa-berkuasa.

Sayangnya, pintalan benang yang telah tersusun rapi itu pada akhirnya tidak sedikit yang terurai-urai bahkan di sana-sini muncul buhul-buhul kusut yang sangat sulit dibenahi kembali, kecuali satu-satunya jalan untuk itu adalah memotongnya. Barulah kemudian buhul-buhul kusut dipersambungkan lagi untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan atas kedaulatan wilayah negeri ini. Oleh pihak-pihak tertentu yang buta terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah qur’ani, buhul-buhul kusut itu selalu diupayakan dengan kacamata perbedaan. Dalam hal ini perbedaan suku, ras, agama, dan golongan memang merupakan sarana paling empuk untuk memecah belah dan menghembuskan angin perpecahan di seluruh ruang kedaulatan wilayah negeri ini. Sudah barang tentu maksud pihak-pihak luar menghembuskan angin perpecahan melalui perbedaan suku, ras, agama, dan golongan tidak lain karena sejak dahulu tidak sedikit mata dunia yang sangat berkepentingan dan mengincar kekayaan alam wilayah negeri ini. Ingatlah politik devide et impera, pecah-belah dan kuasailah. Itulah sebabnya, di satu sisi perbedaan merupakan kekuatan terbesar bagi kehidupan bangsa dan negeri ini, namun di sisi yang lain, perbedaan juga merupakan titik yang paling lemah untuk menggoyah-goyahkan tali persatuan dan akhirnya, kesatuan atas kedaulatan wilayah negeri ini. Maka, perbedaan-perbedaan itu perlu dipagari dengan kebenaran qur’ani yang dinyatakan esensinya –bukan harafiahnya.

Bagi negeri ini, jauh-jauh hari sebelumnya kebenaran telah ditanamkan melalui perjuangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bahkan bersemesta. Kebenaranlah yang sebenarnya akan tampil selaku pemegang kekuasaan tertinggi di wilayah negeri ini. Jika tidak, pasti cepat atau lambat kehancuran tampil memporak-porandakan kehidupan negeri dan bangsa ini.


Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/06/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. -Admin

Baca Lanjut...

Minggu, 11 November 2012

Menukar Ayat Allah dengan Harga yang Rendah



Banyak yang belum menyadari bahwa peran ulama dan penguasa politik dalam penentuan kebijakan yang menentukan kemaslahatan ummat sesungguhnya cukup besar. Perilaku “diam” para ulama terhadap perusakan alam akibat terapan suatu keilmuan rekayasa, tak berbeda dengan “izin” pada para intelektual untuk merusak sebagian alam lingkungan ciptaan Allah. Padahal setengah abad yang lalu, bisa dipastikan bahwa bangsa kita tak banyak merusak alam. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

"Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Akan timbul di akhir zaman orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual agama. Mereka menunjukkan kepada orang lain pakaian yang dibuat dari kulit kambing (berpura-pura zuhud dari dunia) untuk mendapat simpati orang ramai, dan percakapan mereka lebih manis daripada gula. Padahal hati mereka adalah hati serigala (mempunyai tujuan-tujuan yang jahat). Allah swt. Berfirman kepada mereka, "Apakah kamu tertipu dengan kelembutan-Ku?, Ataukah kamu terlampau berani berbohong kepada-Ku?. Demi kebesaran-Ku, Aku bersumpah akan menurunkan suatu fitnah yang akan terjadi di kalangan mereka sendiri, sehingga orang yang alim (cendekiawan ) pun akan menjadi bingung (dengan sebab fitnah itu)". HR At-Tirmidzi


Menukar Ayat Allah dengan Harga yang Rendah





erabad-abad lamanya kehidupan manusia hanya diwarnai dengan bentuk-bentuk rekayasa. Para intelektual mencetuskan rekayasa yang ditumbuh-kembangkan melalui dunia keilmuan; para ulama memberi izin berdirinya bentuk-bentuk kerangka rekayasa mereka. Tentu saja, sangat mudah terjadi pemutar-balikan nilai-nilai kebenaran demi keuntungan pribadi. Khususnya di tanah air ini, sebagian ulama berposisi sebagai pemberi izin tegaknya kerangka rekayasa. Misalnya, mulai dari ditariknya “tambahan biaya” untuk beribadah haji, sampai aktifitas ekonomi perbankan yang konon telah di-“syari’ah”-kan --padahal tak mustahil masih terdapat unsur riba.


Setiap kerangka rekayasa kemaslahatan ummat hendak dibangun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tak jarang para ulama terlebih dahulu diminta pandangannya oleh para umara maupun intelektual. Inilah titik penyimpangannya. Sangat mudah terjadi, para umara memberikan dunia yang bisa saja berbentuk tahta, harta, atau apa saja yang menjadi keinginan atau kebutuhan si ulama. Akibat iming-iming atau sodoran dunia dan isinya yang terlebih dahulu diterima, maka pandangan yang diberikan ulama boleh jadi tak lagi sesuai kebenaran. Bila para ulama mencintai dunia, maka kebenaran yang ada sangat mungkin direkayasa sebelum disajikan kepada umara. Bukan saja masalah kemaslahatan ummat yang acap kali direkayasa oleh ulama. Di dalam masalah keilmuan, tak sedikit para ulama yang memberikan izin kaum intelektual untuk mendirikan kerangka rekayasa. Perilaku “diam” para ulama terhadap perusakan alam akibat terapan suatu keilmuan rekayasa, tak berbeda dengan “izin” pada para intelektual untuk merusak sebagian alam lingkungan ciptaan Allah.

Rekayasa atau penipuan tidaklah sama artinya dengan siasat, meskipun hasil siasat sekilas pandang tampaknya sama dengan hasil rekayasa atau penipuan. Hasil rekayasa atau penipuan diperoleh dari perasan dan cernaan logika. Sedangkan hasil siasat diperoleh dari kecerdikan. Jika rekayasa atau penipuan di satu sisi memberikan keuntungan pribadi, pasti di sisi lain ada pihak yang dirugikan. “Win-win solution” bisa menjadi sekedar kedok untuk mendapatkan keuntungan bersama dari pihak yang terkalahkan oleh rekayasa atau penipuan bersama. Berbeda dengan siasat. Siasat memberikan hasil tegaknya kebenaran dan keadilan. Tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pula pihak-pihak pribadi yang diuntungkan. Demikian itulah gejolak perubahan pandangan hidup yang terjadi di abad sekarang ini dari kehidupan yang bernilai kebenaran sedikit demi sedikit diganti dengan kehidupan bercorak rekayasa-penipuan.

Dengan pemberian izin yang telah direkayasa, para ulama menjadikan umara maupun intelektual tersenyum bahagia. Dengan kata lain izin membangun kerangka rekayasa telah diperoleh atau disyahkan dari ulama. Di dalam Allah dinyatakan mereka tidak segan-segan menukar kebenaran dengan harga yang rendah. Menukarkan kebenaran dengan harga yang rendah, sama halnya menukar kebenaran dengan kesesatan.

Di dalam hadis dijelaskan pula bahwa ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR At-Tirmidzi). Tidak disadari oleh para ulama jika keberadaan dirinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat khususnya di mata umara maupun dimata kaum intelektual tidak lebih laksana burung dalam sangkar. Mulutnya setiap saat di asah dengan emas agar mahir berkata dan berrekayasa sesuai keinginan tuannya. Burung setiap saat dilatih untuk menirukan kata-kata yang diucapkan tuannya. Sikap-perbuatan ulama demikian itulah yang sebenarnya mula pertama mengundang hadirnya guncangan petaka di tanah air ini. Dengan demikian guncangan kehancuran yang datang silih berganti bertubi-tubi melanda kehidupan di tanah air pertiwi ini tidak lain karena diundang oleh kerangka rekayasa hasil cetusan kaum intelektual maupun rekayasa hasil perizinan kaum ulama. Kedua kelompok inilah sebenarnya kelak yang pertama-tama akan dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan Allah. Dalam hal ini tuntutan yang paling banyak datang dari alam semesta karena mereka telah menjadi korban dari rekayasa kaum intelektual yang didukung dan disyahkan oleh ulama.

Tentulah sangat wajar apabila kita mengharap para intelektual hamba Allah yang telah berkesadaran untuk menyelenggarakan perbaikan berhimpun. Tinggalkan segala kepentingan pribadi untuk sama-sama dapat maju serempak menghancurkan kerangka rekayasa intelektual. Tetapi karena tidak adanya kesadaran harapan itu masih jauh. Para intelektual hamba Allah yang mula pertama mendeapatkan pengkhabaran semestinya terlebih dahulu tampil. Boleh jadi muncul bantahan bahwa mereka sedang memusatkan perhatian pada proses pembenahan diri. Memang logika tak dapat bertindak selain memperhatikan apa yang sedang diproses. Untuk memperhatikan gerak kejadian di luar diri sangat sulit dilakukan oleh logika karena terbatasnya gerak logika. Lain halnya pengertian berproses dalam pandangan orang-orang Intelektual yang spiritual. Pemrosesan itupun dipantulkan keluar diri, sehingga yang di luar diri pun terkena imbas perbaikan dirinya.

Sikap demikian inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang beriman di zaman kepemimpinan Rasul Muhammad s.a.w., sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat perubahan mendasar terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia dan semesta. Sikap hidup yang hanya mampu memperhatikan sesuatu dari satu pihak saja hanya akan membuat seseorang melangkah jauh tertinggal. Sedangkan yang terjadi pada kehidupan manusia abad sekarang ini hanya hanyut dibawa pemrosesan ke dalam diri atau dengan kata lain memperhatikan sesuatu dari satu pihak sehingga untuk bergerak di luar diri ummat Islam selalu tertinggal. Padahal Allah selalu membimbing para hamba-Nya agar trampil cermat dan terpat dalam menghadapi sesuatu dari seluruh arah. Mengapa Allah selalu menghimbau para hamba-Nya agar tampil dengan trampil cermat, tepat dan luas dalam memandang sesuatu? Karena sifat dari sesuatu itu adalah saling berkait.

Jika saja kita memiliki kesadaran tinggi akan hal itu, maka tidak akan pernah habis-habisnya kita bersyukur dan bersyukur kepada Allah dalam arti sikap. Sebelum dituntut oleh kehidupan alam, kita terlebih dahulu telah dapat melangkah berjalan menghancurkan kerangka rekayasa yang dahulunya telah menjerat kita. Andil ummat Islam membuat kerangka rekayasa --baik untuk pemerintahan maupun masyarakat-- bukan saja terarah pada kehidupan alam, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bertanah air. Pertanyaan mengapa hadirnya rekayasa menjadikan kehidupan tanah air pertiwi ini sering kali dilanda guncangan kehancuran? Karena sudah menjadi ketetapan Allah, bahwa kehidupan alam yang ada di tanah air pertiwi ini hanya dapat bersesuaian hidup dengan kebenaran hakiki. Dengan kata lain sumber makanan pokok bagi alam di tanah air pertiwi ini adalah kebenaran ilaahi.



Pada awalnya seluruh kehidupan di muka bumi ini hanya dapat hidup dengan makanan kebenaran atau bersesuaian dengan nilai kebenaran. Bumi awalnya berkeadaan fitrah. Bahkan setengah abad yang lalu, bangsa kita tak banyak merusak alam. Namun bangsa-bangsa Eropa (Ruum) mengubah rancangan ketetapan Allah tersebut. Tetapi yang mengubah rancangan ketetapan Allah itu sesungguhnya adalah Y+N. Mereka telah menjelma menjadi Eropa dan sebagian Amerika, sebagai bangsa bernegeri yang keluar dari nilai kebenaran dan hidup di atas landasan rekayasa. Meskipun demikian hukum alam, Hukum-Allah, atau sunatullah tetap akan berlangsung dan pasti terjadi dalam kurun waktu yang tidak bisa mereka duga-duga. Makanan pokok kehidupan di seluruh muka bumi ini adalah kebenaran ilaahi.

Lain halnya dengan tanah air pertiwi ini sangat sulit untuk dirubah menjadi negara yang hidup di atas landasan rekayasa, karena sejak awal negeri pertiwi ini diproklamirkan di depan mata dunia telah berakar sebelumnya nilai-nilai kebenaran. Itulah sebabnya untuk memperoleh persamaan hak hidup dengan bangsa-bangsa lain di dunia diperjuangkan dengan kebenaran bukan dengan rekayasa tingkat tinggi. Kapan alam di tanah air pertiwi ini dihiasi dan di beri makan dengan kerangka rekayasa, maka kehidupan alam di tanah air pertiwi pasti akan dilanda kelaparan panjang. Berawal dari kelaparan panjang yang dirasakan oleh alam di tanah air pertiwi ini menjadikan kehidupan alam lemah dalam arti kehilangan kekuatan.

Dengan tidak adanya lagi kekuatan sebagai daya tahan itulah yang menyebabkan tanah air pertiwi ini mudah sekali diserang penyakit. Dalam pengertian luas penyakit yang dimaksud dapat saja berupa penyakit sosial, politik, ekonomi budaya dan lain sebagainya. Sedangkan penyakit yang paling akut dirasakan oleh tanah air pertiwi ini adalah penyakit politik mencakup dalam dan luar negeri serta penyakit ekonomi. Dua penyakit dedongkot inilah yang menyebab-kan tanah air pertiwi sering kali dilanda kegoncangan. Baik penyakit politik maupun penyakit ekonomi tidak terlepas dari peran serta kaum intelektual maupun ulama yang telah memberikan peluang berdirinya kerangka rekayasa di tengah-tengah kehidupan tanah air ini. Seharusnya keberadaan para ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat adalah selaku penentu tegaknya kebenaran dan keadilan. Itulah sebabnya kedudukan ulama sebenarnya setara bahkan berada di atas umara. Ulamalah dalam hal ini selaku pengontrol gerak laku para ummara dalam menjalankan roda pemerintahan juga selaku pengontrol gerak laku kaum intelektual. Jika ulama benar-benar dapat meletakkan dirinya sebagaimana yang Allah tentukan, tentulah kehidupan berekayasa tidak akan tumbuh berakar di dalam tubuh manusia. Tetapi karena para ulama telah berubah fungsi selaku orang yang ditentukan dalam pengertian luas (dapat di tentukan oleh dunia dan isinya) maka nilai-nilai kebenaran dan keadilan dapat seketika diganti dengan rekayasa. Dengan demikian antara para ulama dan para intelektual setara dalam hal membangun rekayasa. Sebenarnya bentuk-bentuk kehidupan berekayasa pernah tersapu bersih di tengah-tengah kehidupan manusia. Sudah barang tentu satu-satunya yang dapat membersihkan dengan tuntas bentuk-bentuk kehidupan rekayasa adalah Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ketika Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Muhammad s.a.w. dan beberapa tahun setelah masa kepemimpinannya.

Setelah Islam kehilangan masa kejayaannya kembali akar-akar rekayasa dari belahan dunia Barat merambat masuk ke tanah air pertiwi yang kemudian ditampung dan dirawat oleh kaum intelektual dengan mendapat dukungan utama dari kaum ulama. Dan kini tiba masanya roda kembali berputar kerangka rekayasa yang selama ini terkumpul di tanah air pertiwi ini harus utuh dikembalikan tanpa sisa ke negara Barat. Kemudian nilai-nilai luhur budaya bangsa yang hampir saja tenggelam dalam lumpur, harus dimunculkan kembali.



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dengan beberapa tambahan informasi aktual dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 7/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang -Admin


Baca Lanjut...

Sabtu, 27 Oktober 2012

Baiti, Madrasati (Rumahku, Madrasahku): Mewujudkan Akhlaq Keluarga Cinta Allah



Baiti, Madrasati (Rumahku, Madrasahku): Mewujudkan Akhlaq Keluarga Cinta Allah. Pusat dan awal pembinaan akhlaq bangsa sesungguhnya ada pada setiap keluarga. Bila bangsa ini menjadi bangsa korup dan suka kekerasan --termasuk merusak alam lingkungan-- pastikanlah, bahwa kerusakan berpangkal dari tiadanya cinta pada Allah. Di situ pula letak keroposnya tauhid. Pembenahannya mesti dimulai dari pendidikan akhlaq di dalam setiap keluarga. Rumah adalah sekolah yang sesungguhnya bagi tiap muslim! Demikianlah ringkasan sebagian dari isi Khutbah Idul Adha Al Ustadz Abdullah Said Al Bathoty



Baca Lanjut...

Jumat, 05 Oktober 2012

Cemas-Takut: Awal Bergulirnya Guncangan Kehancuran



Contoh manusia melakukan rekayasa penipuan terhadap alam ialah laut ditambak atau ditimbun, dengan maksud agar dapat menghasilkan suatu pemandangan indah di tepi pantai, atau mendirikan kawasan perumahan mewah. Saat itu alam memang tidak dapat berbuat banyak, seakan alam pasrah pada kehendak manusia. Tetapi tiba masanya rekayasa penipuan manusia itu akan di kembalikan alam dengan bentuk gelombang besar atau ombak besar. Bagaimana jelasnya alam berganti menipu manusia?

“(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat,: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka." (QS. 8:12)


Cemas-Takut: Awal Bergulirnya Guncangan Kehancuran





etahuilah, bahwa abad sekarang ini adalah abad manusia buta terhadap nilai-nilai kebenaran. Ilmuwan, ulama maupun tokoh masyarakat banyak yang tidak atau belum mengetahui hakekat sesuatu. Memang, tidak semua manusia mengetahui sesuatu secara tepat apalagi pasti. Sementara itu, masyarakat kini justru makin cenderung untuk menggandrungi-bentuk rekayasa atau penipuan. Anehnya mereka yang paling banyak menyukai hal-hal yang bersifat rekayasa atau penipuan itu adalah para ilmuwan. Bahkan untuk bisa hli atau mahir menyusun kerangka rekayasa atau penipuan, mereka tidak segan mendapatkannya melalui dunia pendidikan. Untuk mengkaji kerangka rekayasa atau penipuan itu, tak jarang ketekunan manusia melebihi kesungguhannya beribadah kepada Allah. Tidak sedikit waktu yang seharusnya diisi untuk berkegiatan untuk Allah, dicuri untuk menekuni kerangka rekayasa atau penipuan. Bahkan seluruh waktu, tenaga, dan harta habis demi diraihnya kemahiran menyusun kerangka rekayasa atau penipuan, sehingga sukses. Akibatnya, ketika datang ajakan atau imbauan untuk bangkit dari lembah penipuan menuju puncak perjuangan kebenaran, ummat Islam tertatih-tatih laksana anak yang baru belajar berjalan. Padahal, apa yang dihadapi ummat manusia saat ini memerlukan penyelesaian; apa yang diketahui manusia jauh dari hakekat, karena hanya berdasarkan mata kepala yang berlingkar-lingkar dalam bentuk kerangka rekayasa atau penipuan. Hal itu datang ke dalam maupun pada lingkungan di luar diri. Oleh sebab itu, seyogyanya jangan mengira bahwa kita sudah bersih dari bentuk-bentuk penyusunan rekayasa atau penipuan.


Selama logika si pembantu fikir nafsu tercela masih bercokol di dalam diri --meskipun dalam ukuran yang sangat sedikit-- selama itu pula bentuk rekayasa atau penipuan masih akan bermunculan. Biasanya rekayasa atau penipuan itu akan muncul di dalam diri di saat-saat manusia hendak memutuskan sesuatu secara tepat dan benar. Inilah yang sangat membahayakan. Satu-satunya senjata ampuh untuk melumpuhkan rekayasa atau penipuan adalah kecerdikan. Dengan kecerdikan itu pulalah para hamba Allah dapat membedil rekayasa atau penipuan yang selalu muncul setiap hendak memutuskan sesuatu dengan tepat dan benar. Namun kecerdikan itu sendiri sangat sulit masuk ke dalam diri manusia jika ia sulit untuk ridho terhadap apa-apa yang Allah langsungkan kepada dirinya. Ketidak-ridhoan manusia terletak saat penekanan-penekanan dilancarkan atas nafsunya. Seringkali muncul rasa kecil hati, kecewa, putus asa, tertekan atau menyimpan perasaan merusak lainnya, sehingga akhirnya menggumpal dalam hati sebagai kotoran penghambat petunjuk Allah ke dalam hatinya. Sikap-sikap demikian itulah yang memagari masuknya kecerdikan ke dalam diri manusia. Meskipun sebelumnya manusia telah menyatakan ridho terhadap apa saja yang Allah lakukan terhadap dirinya, tak jarang kenyataannya itu adalah rekayasa atau penipuan. Saat terselip di hati bahwa dari suatu perbuatan dirinya akan mendapatkan hal-hal yang menguntungkan diri, saat itu pula ucapan seseorang adalah ucapan berpamrih, bukan ucapan yang lahir dengan keikhlasan. Perbuatan ikhlas adalah perbuatan tanpa pamrih. Inilah bukti diri kita belumlah bersih dari bentuk-bentuk rekayasa atau penipuan.

Rekayasa atau penipuan tidaklah sama artinya dengan siasat, meskipun hasil siasat sekilas pandang tampaknya sama dengan hasil rekayasa atau penipuan. Hasil rekayasa atau penipuan diperoleh dari perasan dan cernaan logika. Sedangkan hasil siasat diperoleh dari kecerdikan. Jika rekayasa atau penipuan di satu sisi memberikan keuntungan pribadi, pasti di sisi lain ada pihak yang dirugikan. “Win-win solution” bisa menjadi sekedar kedok untuk mendapatkan keuntungan bersama dari pihak yang terkalahkan oleh rekayasa atau penipuan bersama. Berbeda dengan siasat. Siasat memberikan hasil tegaknya kebenaran dan keadilan. Tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pula pihak-pihak pribadi yang diuntungkan. Demikian itulah gejolak perubahan pandangan hidup yang terjadi di abad sekarang ini dari kehidupan yang bernilai kebenaran sedikit demi sedikit diganti dengan kehidupan bercorak rekayasa-penipuan.

Ada satu hal yang sangat memprihatinkan kehidupan manusia abad sekarang ini. Keilmuan, sebagai satu-satunya mata air tempat penggalian nilai kebenaran ternyata menjadi tempat penyusunan rekayasa atau penipuan. Keilmuan yang seharusnya menjadi tulang punggung ukuran kebenaran dalam berkehidupan, kini menjadi pondasi susunan rekayasa atau penipuan. Jadi sekarang pelopor dunia rekayasa atau penipuan adalah keilmuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa induk dari segala macam bentuk kerangka rekayasa penipuan adalah keilmuan. Sayangnya para ahli ilmu tidak menyadari, jika yang mereka lakukan di dalam sendi-sendi kehidupan adalah hal-hal yang berbau rekayasa atau penipuan. Mereka justru memandang jika berhasil menyusun kerangka rekayasa atau penipuan tingkat tinggi yang tidak mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat awam, adalah kebenaran mutlak.

Demikianlah karena terbiasa dengan tradisi rekayasa atau penipuan, maka setiap kali disajikan kepada mereka nilai-nilai kebenaran pasti, mereka pun akan beranggapan itu adalah hal-hal yang dibuat-buat atau direka-reka. Wajar bila mereka mengatakan hal yang benar itu adalah hal yang dibuat-buat atau di reka-reka. Karena, mereka tidak menyadari bahwa hal yang di-buat-buat atau di reka-reka sebenarnya sama dengan membuka aib atau topeng dirinya, yang selama ini mereka lakukan tentang apa saja dasarnya dibuat-buat atau rekayasa. Disinilah keterbalikan cara pandang abad manusia sekarang ini, benar dalam pandangan abad manusia sekarang adalah apa-apa yang diperas dan dicetak melalui proses rekayasa atau penipuan. Bentuk kehidupan demikian ini telah berlangsung berabad-abad lamanya khususnya ummat Islam sedikit demi sedikit digeser cara pandangnya dari nilai-nilai kebenaran ke bentuk rekayasa atau penipuan, tidak terkecuali ummat Islam selama ini terjebak dalam lingkaran penipuan yang direkayasa. Bila dinyatakan dengan tegas, maka tidak satu pun dari bentuk-bentuk kehidupan yang ada saat ini berdiri di atas pondasi kebenaran. Atau, hampir seluruh kehidupan ini telah diwarnai dengan rekayasa penipuan, termasuk kehidupan alam tidak luput dari bentuk-bentuk penipuan. Alam juga menjadi korban rekayasa penipuan manusia yang dilancarkan lewat jalur keilmuan. Karena kehidupan alam telah diperkosa dengan penipuan yang diambil dari buah pemikiran rekayasa-penipuan manusia, maka akan datang pula saatnya kehidupan alam mengembalikan seluruh paket rekayasa-penipuan itu kepada manusia. Beranti, alamlah yang akan melakukan penipuan terhadap manusia. Untuk berganti melakukan penipuan pada manusia, alam tidak membutuhan waktu yang lama. Dalam waktu seketika dengan tidak diduga-duga tipuan yang dilancarkan alam jatuh menimpa manusia. Itulah bencana yang datang tiba-tiba.

Mengapa begitu cepatnya alam melancarkan penipuan terhadap manusia? Alam tidak membutuhkan waktu untuk menyusun rekayasa penipuan. Bahkan rekayasa atau penipuan yang dilepaskan manusia terhadap alam, seluruhnya akan dikembalikan alam kepada manusia. Sekali mengembalikan rekayasa penipuan terhadap manusia, alam bisa memporak-porandakan kehidupan yang telah dibangun dengan rekayasa penipuan dalam waktu yang cukup panjang. Apabila manusia hendak melakukan penipuan baik terhadap sesamanya maupun terhadap alam, tidaklah ia dapat melakukannya secepat alam melakukan penipuan. Untuk melakukan suatu penipuan, manusia membutuhkan jangka waktu pendek maupun jangka panjang dalam suatu kerangka rekayasa-penipuan yang tersusun rapi. Bahkan manusia memerlukan waktu khusus untuk mengkaji dan mempelajari rekayasa penipuan melalui dunia pendidikan. Selama ini manusia tidak menyadari jika bencana yang ditimbulkan oleh alam merupakan hasil pengembalian alam terhadap rekayasa atau penipuan manusia terhadap alam. Contoh manusia melakukan rekayasa penipuan terhadap alam ialah laut ditambak atau ditimbun, dengan maksud agar dapat menghasilkan suatu pemandangan indah di tepi pantai atau kawasan perumahan mewah. Saat itu alam memang tidak dapat berbuat banyak, seakan alam pasrah pada kehendak manusia. Tetapi tiba masanya rekayasa penipuan manusia itu akan di kembalikan alam dengan bentuk gelombang besar atau ombak besar. Begitu pula ketika alam direkayasa atau ditipu dengan dikuras atau diambil kandungan buminya untuk kemakmuran bangsa. Ternyata, hasil alam digunakan untuk kemakmuran pribadi atau suatu kelompok. Saat itupun alam memasrahkan hasilnya untuk dikuras. Tetapi berganti waktu, alam menimbulkan bencana terhadap rekayasa penipuan tersebut baik berupa banjir lumpur maupun berupa kebakaran panjang yang sulit dikendalikan oleh alat mutakhir bentuk apapun.



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 01/05/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang -Admin

Baca Lanjut...

Sabtu, 29 September 2012

Adzab yang Datang Tiba-Tiba akan Memangkas Akar Benalu Munafik


Sering kali para munafik benalu negeri beranggapan, waktu tangguh itu adalah pertanda keselamatan bagi mereka. Perhatikanlah, betapa mereka telah banyak memperoleh kenikmatan dengan cara merakit bukit kehidupan di atas pandangan tidak bertanam tetapi mengetam, hingga panjanglah masa kekuasaan mereka. Yang tidak pernah mereka perhatikan dalam masa kekuasaan yang panjang itu ialah bahwa suatu negeri yang penduduknya kafir, pasti Allah kurangi luasnya dari segala penjuru. Hingga datanglah adzab yang sesungguhnya.

“Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hingga panjanglah umur mereka. Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatang negeri, lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka apakah mereka yang menang? (QS. 21:44)


Adzab yang Datang Tiba-Tiba akan Memangkas Akar Benalu Munafik





ntuk mewujudkan kedengkiannya secara langsung terhadap jenis tanaman yang memiliki nilai kejayaan hingga masa mendatang, benalu tulen selamanya mengalami kesulitan, bahkan mustahil ia melaksanakannya. Itulah sebabnya agar kedengkiannya dapat terwujudkan, ia memperalat benalu-benalu peranakan. Karena benalu peranakan ini hidupnya sangat tergantung pada benalu tulen, maka apa-apa yang dirumuskan oleh benalu tulen seketika dilaksanakan oleh benalu peranakan. Dari hasil itulah sang benalu peranak akan memperoleh keuntungan hidup. Sebagai contoh, penyelenggaraan 1 Syawwal adalah syiar Islam yang bertujuan hanya untuk mengagungkan dan mensucikan Allah. Hari-hari 1 Syawwal mereka jadikan sebagai hari-hari penuh rasa syukur. Tetapi kenyataannya, tanpa ada dalil atau ajarannya, tradisi silaturrahmi bertandang ke keluarga dan handai taulan tidak sedikit pun memperbincang kan hal-hal keagamaan yang berkaitan dengan perbaikan hidup atau kejayaan Islam. Benalu peranakanlah yang mengubahnya menjadi kegiatan menggerombol di sana-sini sambil melahap berbagai macam jenis hidangan perut yang diikuti oleh orang-orang bodoh, sehingga mentradisi. Betapa jahatnya benalu-benalu peranakan yang telah mengubah-ubah dan menodai hari keagungan dan kesucian Allah dengan budayanya. Baik benalu tulen maupun peranakan sangat dengki melihat ada orang-orang yang bergembira ria dengan sajian hidangan langit dari Allah. Maka seringkali orang-orang yang telah memperoleh sajian hidangan langit dari Allah dijebak dan dipengaruhi untuk ikut-ikutan mengisi acara tradisi atau budaya yang dibuat oleh benalu peranakan. Bagaimana benalu itu bekerja?

Gambaran demikian tersebut tersirat dalam firman Allah yang artinya “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. 2:105). Dapatlah kita merenung lebih dalam, bahwa tidak sedikit kelompok orang-orang yang dengki atau tidak suka kepada Islam. Di dalam ayat tersebut terdapat penjelasan tentang tiga golongan besar yang bersatu menyerang orang-orang yang telah diberi rahmat khususnya rahmat kenabian. Pertama orang-orang kafir. Yaitu, orang-orang yang tidak meyakini keberadaan Allah sebagai dzat yang Maha Tunggal. Kedua, golongan ahli kitab. Yang dimaksudkan adalah Yhd atau benalu tulen. Terakhir atau ketiga adalah orang-orang musyrik. Termasuk di dalamnya munafik dan zhalim -- itulah benalu peranakan yang hidupnya di dalam tubuh Islam sekedar untuk mengambil keuntungan pribadi. Aktifitas kaum munafik dan zhalim dilakukan untuk kepentingan benalu tulen.

Baik bagi benalu tulen maupun benalu peranakan selalu beranggapan bahwa dirinya dapat berkuasa terhadap apa saja. Tidak pernah sedikitpun terfikirkan oleh mereka bahwa sebenarnya mereka dalam intaian dan kepungan adzab. Memang intaian dan kepungan adzab selamanya tidak akan pernah terlihat oleh mata kepalanya, namun yang pasti keberadaannya sangat dekat, sehingga sewaktu-waktu adzab akan datang sekonyong-konyong tanpa dapat mereka perkirakan sebelumnya. Pertanyaan mengapa adzab tersebut datang dengan tiba-tiba? Hal itu tidak lain disebabkan oleh pernyataan Allah yang artinya siapa yang berbuat itulah yang akan mendapat. Adzab yang datang dengan sekonyong-konyong sebetulnya disebabkan karena benalu datang dengan tiba-tiba dan bertengger untuk mencari-cari sela-sela kelemahan agar dapat memperoleh keuntungan lebih banyak, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah yang artinya: “Sebenarnya (azab) itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (QS. 21:40).

Goncangan adzab telah Allah gulirkan ke tengah-tengah kehidupan benalu peranakan. Bagaimana pun dan sampai kapan pun mereka mengatasinya, guliran goncangan adzab tersebut tidak akan pernah dapat mereka atasi, kecuali bila benalu peranakan mau melepaskan dirinya dari kehidupan benalu tulen. Berarti pakaian benalu tidak lagi mereka sandang. Selama mereka masih juga menjadikan benalu tulen sebagai tumpuan untuk mengatasi guliran goncangan adzab, selama itu pula jalan penyelesaian tidak akan pernah mereka peroleh. CARA YANG PALING BAIK DAN PALING AMPUH UNTUK MEMANGKAS HABIS AKAR TANAMAN BENALU DENGAN CARA MENGIRIMKAN ADZAB YANG DATANG DENGAN TIBA-TIBA. Karena dengan cara tiba-tiba itulah mereka tidak lagi dapat mengelakkan datangnya adzab. Dengan kata lain tiga kelompok besar yang senantiasa bersatu hendak menghancurkan Islam atau mencampur yang haq dan yang bathil masih Allah beri tangguh. Namun adzab akan datang dengan tiba-tiba. Dalam hal ini dari hasil pemberian tangguh, sering kali ada dua hal yang akan diperoleh benalu peranakan. Pertama, dengan pemberian tangguh tersebut, mereka memperoleh kesempatan untuk berbuat sesuatu hingga melampaui batas ketentuan. Kedua, boleh jadi akan muncul kesadaran baru untuk berupaya melakukan perbaikan hidup. Itulah yang diharapkan.

Tetapi sering kali benalu tulen dan benalu peranakan beranggapan, waktu tangguh itu adalah pertanda keselamatan bagi mereka. Perhatikanlah, betapa benalu tulen dan peranakan telah banyak memperoleh kenikmatan dengan cara merakit bukit kehidupan di atas pandangan tidak bertanam tetapi mengetam, hingga panjanglah masa kekuasaan mereka. Yang tidak pernah mereka perhatikan dalam masa kekuasaan yang panjang itu ialah bahwa suatu negeri yang penduduknya kafir, pasti Allah kurangi luasnya dari segala penjuru. Maksudnya adalah seluruh hasil buminya Allah kurangi bahkan ditiadakan-Nya. Negeri yang semula berlahan subur makmur menjadi lahan yang sulit menghasilkan apa pun karena kerusakan lingkungan sebagaimana yang dialami Indonesia. Mengapa demikian? Seluruh hasil bumi ini sebenarnya Allah peruntukan bagi orang-orang beriman yang senantiasa menjaga kesalarasan gerak ketenagaan dzat hidup. Itulah sebabnya apabila suatu negeri atau lahan mulai dikuasai oleh kesewenang-wenangan benalu tulen dan peranakan, sedikit demi sedikit hasil buminya Allah cabut, sehingga jadilah negeri itu negeri yang tidak mengandung berkah. Inilah yang dinyatakan dalam firman Allah yang artinya “Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan (hidup di dunia) hingga panjanglah umur mereka. Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatang negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka apakah mereka yang menang (QS. 21:44).



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 8/2/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari dua tulisan. Bagian pertamanya adalah Benalu Munafik yang Mengancam Kehidupan -Admin

Baca Lanjut...