Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #6
Fitrah Manusia Merdeka adalah Bertauhid-Murni, Penuh Syukur atas Rahmat Allah
Dan Allah, Dialah yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu. (QS. 35:9)
Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)
Namun khususnya pada Ramadhan Sang Bulan Rahmat, sudahkah ada manusia yang tergugah unsur daya potensi-bakatnya untuk menyambut kebangkitan yang Allah langsungkan? Negeri ini memerlukan kebangkitan! Sayangnya, selama ini bisa jadi yang selalu dibukti-tampilkan masyarakat muslim hanyalah sikap rangkaian kesombongan yang tiada putus. Buktinya, anggapan-anggapan masih tampil selaku motor penggerak pola berfikir. Contoh anggapan-anggapan yang terus berkembang cukup banyak. Apa sajakah itu?
- beranggapan telah menyambut baik dengan segala kelegaan hati perbaikan-perbaikan yang Allah langsungkan khususnya lewat Ramadhan, kenyataan sikap nafsu masih belum bisa menerima ridho nasib yang menghinakan dan menyengsarakan nafsu duniawi. Ridha tak sebatas kata lalu apatis. Tapi bukti ridha ialah melakukan perbaikan dengan perjuangan yang gigih.
- beranggapan telah mengkaji-ulang Al Qur’an dan Al Hadits, kenyataannya hanya membaca rangkaian huruf, kata, dan kalimat. Buktinya belum ada pemahaman-pengertian mewujud dalam sikap, terutama sikap rukun dalam berkehidupan bersama sesama muslim. Jangankan andil masyarakat muslim di tingkat negera, di skala rumah-tangga pun kedamai-tenteraman belum terlaksana.
- beranggapan diri telah berkegiatan ini dan itu memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam, padahal kegiatan yang dilakukan bukan dari kemurnian niat atau cuatan ide ‘aqal terbimbing Allah swt selaku Rabb, akan tetapi hanyalah pewujudan berbagai pamrih diri. Pamrih diri itu sangat luas, mulai dari mengemis pengakuan diri dari sesama, minta dihargai pikiran, ilmu, nilai-nilai, kedudukan, kemuliaan, sampai tuntutan akan imbal-balas perbuatan yang dianggapnya merupakan jasa.
- beranggapan diri memandang sesama muslim sebagai saudara seiman, kenyataan sikap nafsu masih mudah menjadi iri-dengki tak senang terhadap keberhasilan sesama saudara muslim, serta sombong-angkuh senang bila saudaranya gagal. Apa lagi anggapan yang merusak?
- beranggapan diri telah “maju” jika mendapat pengetahuan dari negeri Barat. Padahal, bisa jadi hakekatnya itulah sari pati ajaran Yhd laknatullah. Pernahkah pengetahuan yang bersumber dari memadukan ilmu dengan keyakinan terhadap Allah swt dan Nabi-Nya saw? Masihkah belum mau jujur mengakui cacat keimuan itu?
Ketercelaan-ketercelaan, kejahatan-kejahatan yang selama ini berlangsung belum ada satupun yang Allah adili dengan hukum-Nya. Sebaliknya, pemberian maaf-ampunan dan kesempatan memperbaiki ketercelaan dan kejahatan diri khususnya melalui Ramadhan-lah yang Allah karuniakan sehingga manusia mencapai kembali derajat kemuliaan. Dengan perlakuan Allah demikian luar biasa diberikan masih belumkah juga dapat menggugah-getarkan perasaan-hati untuk bangkit dari kehancuran-kematian panjang? Marilah kita dengarkan. Apakah telinga-telinga kita terus saja membuta, membisu dan tuli? Khususnya terhadap negeri pertiwi Indonesia, ni’mat-rahmat Allah manakah yang hendak kita dustakan? Perlakuan bagaimanakah lagi yang kita hendaki untuk menggugah-getarkan perasaan hati terhadap berbagai jenis keberadaan ni’mat-rahmat Allah?
Tulisan di atas merupakan bagian dari penjelasan Ki Moenadi MS (alm) pada kesempatan kajian keilmuan di Yayasan Badiyo, 08/2000, dengan penyesuaian redaksional dari Taufik Thoyib. –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.