
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Majulah Neg’rinya, Majulah Pandunya!
ait terakhir Stanza 3 tertulis sebagai judul sub-bab di atas menyuratkan pada akhirnya negeri dan pandu negeri Indonesia akan maju. Perlu dicatat bahwa yang dipakai adalah isilah negeri, bukan negara (kekuasaan politik). Begitu pula, pandu dan bukan tentara (kekuasaan militer). Pandu yang dimaksudkan ialah siapa saja yang telah memiliki sifat tanpa pamrih, atau fana dari syahwat duniawi. Karena itu, para pandu yang dimaksud bukanlah komunitas yang jumlahnya besar, namun para putera terbaik bangsa. Mereka yang telah menyadari makna-dalam dari Ketuhanan Yang maha Esa-lah yang akan dapat tampil selaku pandu-pandu bangsa ini, dan secara informal dan/atau formal memimpin masyarakatnya masing-masing.
Pendek kata, mereka adalah garda depan bangsa yang telah konsisten menerapkan Sila ke-1 Pancasila. Mereka adalah para hamba Allah yang sudah dapat menegakkan kemurnian tauhid, dan karenanya dapat beramal-shaleh dengan benar dan mendapat imbalan yang sempurna dari Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh firman: ”Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka...” (QS 3:57). Pahala atau pengargaan yang cukup sempurna dari Allah kepada ”para pandu negeri ini” bisa saja berupa ”kemajuan negeri”. Indonesia akan dikenal di dunia sebagai negeri yang sangat patut ditauladani karena menggelar nilai-nilai luhur islami. Bila Allah mengidzinkan, mengapa harus dikatakan mustahil? Di masa lalu pun hal ini pernah dikemukakan oleh para ulama, seperti misalnya Sunan Bonang. Bagaimana menurutnya?Konsep Indonesia Raya di atas sebetulnya mengingatkan kita pada tradisi suluk pedalangan wayang yang menurut legenda, adalah peninggalan Sunan Bonang yang menjelaskan tentang sebuah negeri ideal:
Dasar negari panjang apunjung, pasir awukir, loh jinawi, gemah ripah kerta tata tur raharja. Panjang dawa pocapane; punjung duwur kawibawane; loh tuwuh kang sarwo tinandur; jinawi murah kang sarwo tinuku. Gemah lampahe para nangkoda siyang pantara ratri; ripah janma manca kang sami bebodra. Jejel apipit wismanira, abebasan aben cukit, tepung taritis. Ingon-ingon kebo, sapi, lan iwen datan ana cinancangan, yen raina pada aglar ana ing pangonan, yen ratri pada mulih marang kandange dewe-dewe.Dasar negari gede obore, padang jagade lan duwur kukuse. Boten namung ing Tanah Jawi kemawon, para raja sami nungkul sumuyud. Nadyan ing tanah sabrang ugi katah para nata ingkang sami sumuyud sumawita tan karana ginebag ing ngayudha, nuhung namung kapiluyu dening poyaning kautaman, sami ngaturaken putri minangka panungkul. Ing saben kalamangsa sami asok bulu bekti glondong pangarem-arem. Peni raja peni guru bakal guru dadi.
Saduran bahasa Indonesianya kurang lebih:
Negara yang sangat terkenal sejarahnya dan tinggi martabatnya. Negara yang bergunung-gunung dan perbukitan, di sebelah kirinya persawahan, sebelah kanannya samudra memangku pelabuhan besar. Memang sungguh nyata (luar biasa), negara yang subur untuk segala jenis tanaman, tiap tegal indah melimpah; serba murah apa yang dibeli; tidak ada rakyat yang terlantar. Makmur, terbukti orang-orang yang berdagang layar pergi dan datang dari luar negeri, siang malam tidak ada hentinya, bebas dari gangguan di jalan. Ramai, terlihat yang berumah tinggal di dalam negeri, bagaikan adu halaman (serambi), bergandengan atap, karena negara amat ramai hingga tempat luas terasa sempit. Aman sejahtera dan selamat. Terbukti para menteri dan bupati tidak ada yang bersengketa, senantiasa rukun, bersama-sama menjalankan tugas, yang diamanatkan kepada mereka. Rakyat di pedesaan yang berolah tanah tani, memelihara kerbau, lembu dan itik ayam tidak ada yang diikat; kalau siang hari berkeliaran di penggembalaan, malam harinya kembali ke tempatnya masing-masing (menunjukkan negeri yang bebas dari pencurian).
Negara yang besar obornya, tinggi menjulang asapnya, artinya menerangi kegelapan hidup sampai jauh ke segala penjuru dunia. Tidak hanya di Tanah Jawa saja, para raja yang menunduk-takluq. Walaupun negara jauh juga banyak yang tunduk dengan sukarela, tidak karena diperangi, namun hanya karena terpikat pada nilai-nilai luhur keutamaannya; (mereka) banyak mempersembahkan segala kelemahannya sebagai pertanda tunduk. Tiap-tiap kali pada waktunya banyak menyerahkan imbalan jasa budi baik, berupa bahan-bahan mentah (agraris) dan barang-barang jadi (hasil industri). Sungguh indah pedoman hidup pokok yang dianut (guru bakal, nilai-nilai Al Qur’an) dan terapannya (guru dadi, nilai-nilai Al Hadits)!
Inilah yang akan disumbangkan Indonesia kepada ummat bumi. Artinya, bukan hanya manusia, tetapi juga makhluq semesta yang lain: tanah, air, udara dan yang hidup di dalamnya. Keberadaan Indonesia bebas merdeka di antara bangsa-bangsa di dunia. Bukan dengan konsep kapitalistik atau pasca-kapitalistik untuk menguasai dunia masyarakat manusia secara politik-ekonomi dan mengeruk habis kekayaan masyarakat alam di lingkungan mereka, tetapi ikut andil menyebar-luaskan kebaikan ke segenap penjuru bumi. Dalam kebaikan itu sudah barang tentu terkandung nuansa kedamaian dalam hidup dan berkehidupan bersama menurut kodrat masing-masing bangsa dan negeri.
Akhirnya perlu sekali dicatat bahwa konsep Indonesia Raya tak akan memalihkan NKRI sebagai negara adidaya-kuasa yang giat mengekspansi kekuasaan politik-ekonominya dan menjadi penguasa bangsa-bangsa; Indonesia bebas dari hasrat bermegah-megah di atas penderitaan bangsa lain yang masih berkeadaan lemah. Keadaan Indonesia ibarat matahari sepenggalahan yang menaikkan harkat dan martabatnya di atas panggung masyarakat dunia. Inilah yang dimaksudkan dengan Indonesia merdeka untuk menyebar-luaskan nilai-nilai luhurnya, dalam rangka ikut menjaga ketertiban dan kedamaian dunia seperti tersurat dalam Preambule UUD 45.
Bebas dari Hasrat Bermegah-Megah di atas Penderitaan Kaum Lemah
Demikianlah dalam perspektif pengertian saya atas Lagu Kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Soepratman yang terdiri dari tiga stanza (khususnya bait terakhir masing-masing stanza), jalan hidup bangsa dan negeri Indonesia memang mesti mengalami setahap demi setahap kemerdekaan. Perlu saya tegaskan, bahwa maksud saya mengkaji Indonesia Raya seperti di atas bukanlah dan sangat jauh untuk mengusulkan pengubahan PP44/1958 yang telah mendudukan Stanza 1 Indonesia Raya sebagai versi remi. Tapi setidaknya, setelah memahami keseluruhan kandungan makna Lagu Kebangsaan itu, saya hanya berharap Anda semua tidak berkeberatan untuk mempopulerkan kembali Stanza 2 dan Stanza 3-nya, untuk lebih sering dikumandangkan dalam berbagai kesempatan, disuarakan kandungan konsepsualnya, serta dibunyikan getaran maknawinya.
Sebagai penutup, dapatlah dipahami bahwa untuk masa kini dan dalam waktu pendek ke depan, landasan berpijak yang mau tidak mau harus dibangun bersama, disusun strukturnya, dipancang tiang demi tiang keyakinannya, dicor plat-beton demi plat-beton aktifitas pelaksanaannya, adalah bangunan mentalitas bangsa yang bersahaja. Artinya: bebas dari hasrat bermegah-megah di atas penderitaan kaum lemah dalam segala pengertian, yang membuat jiwa terkubur kufur. Prasyaratnya: setelah masing-masing komponen masyarakat surut dari individualisme-subjektif kelompoknya.
Indonesia merdeka secara politik-ekonomi, secara budaya, dan untuk menyebar-luaskan nilai-nilai luhurnya, dalam rangka ikut menjaga ketertiban dunia sebagaimana yang dimaksudkan di atas, memerlukan perjuangan berat —hal itu sama sekali bukanlah utopia atau kemustahilan. Ada sebuah catatan pinggir. Bisa saja sejak beberapa abad yang lalu sebetulnya terjadi rekayasa yang sangat halus dari jejaring kapitalisme dan neo-imperialisme global, yang justru mendesak kuat bangsa dan negeri ini ke arah berlawanan dari cita-cita kemerdekaan. Karena itu, kemerdekaan sempurna Indonesia itu memerlukan keyakinan yang sangat kokoh, tekad sangat teguh, dan berjuangan sangat gigih.
Kemerdekaan secara politik-ekonomi, budaya, dan untuk menyebar-luaskan nilai-nilai luhurnya dalam rangka menjaga ketertiban dunia itulah yang membawa Indonesia yang berharkat-martabat mulia (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadaan ini disebut merdesa). Insya Allah, setelah masa-masa sulit, generasi masa depan akan menyaksikan dan menggetarkan makna dua kata ini: Indonesia Merdesa!
Galih W. Pangarsa
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.