Rongrongan Iblis terhadap Manusia
i tengah-tengah bencana yang merundung tanah air kita, rongrongan iblis sangat mudah untuk makin menterpurukan manusia ke dasar jurang duka dan putus asa terhadap Allah. Bisa juga sebaliknya, penekanan iblis untuk menampilkan ketercelaan akhlaq, bagi sebagian manusia lain, boleh jadi tidak terpandang sebagai rongrongan. Justru seringkali dipandang sebagai pengangkat nama diri di ajang prestasi dan prestise, karena nafsu si manusia memang tengah bersemangat tinggi untuk mendaki segala macam kemuliaan duniawi dan memilikinya untuk keagungan dirinya.
Itulah yang terjadi jika bentuk kesombongan yang sedikit demi sedikit dihembus-hembuskan iblis, diterima dengan senang oleh manusia lewat saluran nafsunya yang masih suka berhiaskan sifat tercela. Rongrongan itu juga dilaksanakan iblis lewat gejolak perasaan akibat dari tanda tanya berkepanjangan, keraguan, kegundahan, keluh-kesah, kekhawatiran, ketakutan, marah, dendam, kecurangan, maksiat yang berpuncak keputus-asaan. Sangat sedikit manusia yang menyadari bila rongrongan penekanan iblis terhadap nafsu tidak lain dalam rangka menjatuh-sengsara-hinakan hidup-kehidupannya. Padahal tujuan Allah mencipta manusia adalah untuk mempertontonkan kesempurnaannya sebagai ahsani taqwim atau sebaik-baik ciptaan dengan keterpujian akhlaqnya, di atas panggung kehidupan dunia. Jika benar manusia berhasil menampilkannya, maka iblislah yang pasti mula pertama kalah menyerah terhadap pandangan anggap-sangkanya sendiri. Maka, bila seorang hamba Allah telah bersungguh-sungguh memerangi pola perasaan-hati dan pola pikir anggap-sangkanya, ia sebenarnya telah mensyukuri petunjuk Allah dalam Kitab-Nya bahwa “sesungguhnya syaithaan itu musuh manusia yang nyata (sebenarnya)”. Manusia yang telah mengambil sikap tegas memerangi pola anggap-sangkanya, adalah yang membuktikan ia telah memerangi syaithaan.
Allah pasti menjauhkannya dari rongrongan syaithaan. Bahkan Allah melindungi si manusia dengan menempatkannya di dalam benteng-Nya. Karena Allah selalu berpihak pada dan menyambut penuh sayang manusia yang mendekati-Nya.
Akhlaq mulia: tempat meletakkan sifat keindahan Allah.
Dengan maksud hendak mempertontonkan kesempurnaan dan keterpujian manusia di atas panggung kehidupan dunia, Allah senantiasa mengupayakan agar keindahan sifat-Nya dapat menampil-pantul pada keterpujian akhlaq seorang hamba. Mengapa? Karena satu-satunya yang dapat dijadikan tempat meletakkan sifat keindahan Allah hanyalah sikap-perilaku akhlaq mulia. Pantaskah upaya Allah itu justru disambut dengan tampilan sikap beranggap-sangka beranalisa dengan segala bentuk kedengkian-logika-nafsu yang merupakan warna dari keburukan, ketercelaan dan kejahatan akhlaq?
Jika diungkapkan dalam bahasa manusia, boleh jadi dapat dinyatakan “betapa kecewanya” Allah terhadap manusia. Bukankah sikap membalas kebaikan Allah dengan keburukan, ketercelaan dan kejahatan sikap akhlaq adalah sikap iblis laknatullah? Tetapi karena kecewa bukan bagian dari sikap Allah, maka segala keburukan, ketercelaan dan kejahatan sikap akhlaq manusia tidak pernah mengubah sikap perbuatan Allah untuk memberikan kasih sayang. 
Padahal, sikap buruk-tercela-jahat itulah yang selalu manusia kembalikan sebagai tanggapan terhadap kebaikan-Nya. Mengapa sikap perbuatan Allah tak pernah berubah? Karena begitu kasihan Allah melihat kehidupan manusia terkungkung kelelahan dan penderitaan. Kasih sayang Allah kepada manusia khususnya adalah hendak melepaskan manusia dari belenggu kegelapan syaithaan atas dirinya. Apakah kebaikan Allah ini pernah menyentuh perasaan hati manusia? Harus bagaimanakah untuk dapat tersentuh?
Menggeser-gusur-usir sikap dan sifat praduga-beranggap-sangka. Rasakan dan renungilah. Allah sesungguhnya tidak pernah mengharapkan imbal-balas dalam bentuk apapun dari makhluq ciptaan. Adapun jika Allah mengimbau manusia agar tampil dengan segala keindahan akhlaq perilaku, bukanlah berarti Allah mengharap balasan sikap dari manusia. Karena, apa pun yang diperbuat manusia, hakekatnya bukan bagi Allah, melainkan Allah kembalikan kepada manusia. Allah pasti tak akan pernah membutuhkan makhluq. Makhluqlah yang senantiasa membutuhkan-Nya. Manusia hamba Allah yang bagaimanakah yang sikapnya berhiaskan sifat indah Allah itu? Adalah manusia yang tidak mengharap balasan apapun kecuali mengharapkan ridha Allah serta mau berpendirian kokoh pada satu sikap. Yaitu sikap “yang penting dirinya berbuat serba memberi dengan kepemurahan kasing sayang”. Itu berlaku baik yang bersifat ajakan-himbauan, nasehat-peringatan maupun materi agar orang lain mendekat Allah. Jadi, pantaskah manusia bangga bila perbuatannya memberi dengan kepemurahan kasih sayang diterima dan disikapi pihak lain dengan baik? Atau sebaliknya, pantaskah manusia kecewa dan marah-marah, berbuat kasar atau merasa sakit yang berkepanjangan bila justru cacian-ejekan yang dikembalikan?
Sebenarnya jika saja manusia mau sadar, tidak sepantasnya manusia merasa bangga-kecewa atau sakit hati atas sesama. Bila rasa kecewa sakit-hati mau ditandingkan dengan Allah, tentulah Allah yang “lebih kecewa dan sakit-hati” melihat tingkah-laku manusia. Manusia yang bagaimana? Yang ternyata malah dengan sombongnya memilih jalan hidup pada kesengsara-hinaan ketika dengan segala kepemurahan kasih-sayang-Nya, ia dihimbau Allah pada keselamatan hidup.
Sering kebanyakan manusia berkata “biarlah aku memang sudah jelek, tak bisa lagi diperbaiki”. Itu adalah ungkapan kesombongan tingkat tinggi di hadapan Allah. Sikap putus asa adalah akhlaq yang paling tercela. Mengapa? Karena sangat berani melecehkan Allah yang senantiasa siap dengan kasih-sayang-Nya untuk mengentaskan manusia dari kegelapan hidup. Karena itu, ditegaskan bahwa sikap berputus-asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar dan bahkan bisa dipandang sebagai awal kekafiran terhadap Allah. Allah juga tak menjadi lebih agung ketika manusia memuja dan beribadah kepada-Nya, karena Dia kekal dalam sifat kemaha-agungan-Nya. Lalu, darimanakah pangkal sikap berputus asa dari rahmat Allah?
Marilah kita telusuri. Telah diketahui bahwa jatuhnya iblis dalam laknat sepanjang masa ialah disebabkan sikap-laku iblis terhadap keberadaan sesama makhluq ciptaan. Sikap dan sifat iblis muncul dari ketidak-puasan nafsu iblis yang merasa hendak dirugikan, baik secara nama maupun prestasi-prestise. Sikap dan sifat terlalu mudah dan cepat menilai dengan anggap-sangka iblis dengan menyatakan “diriku yang terbuat dari api lebih baik dari Adam yang terbuat dari tanah”, sesungguhnya muncul dalam rangka membela-pertahankan keunggulan dan ke-aku-an diri atau kepentingan diri. Itulah sebabnya dalam Kitab-Nya, Allah menghimbau kepada seluruh manusia, agar sadar dan merenungi sejarah jatuhnya iblis. Yaitu, disebabkan iblis cepat menilai dengan beranggap-sangka terhadap berita (yang sekaligus merupakan perintah) yang Allah sampaikan. Ketika ia tahu bahwa ia bersalah, iblis mengambil sikap putus asa. Iblis membela keunggulan dan ke-aku-an diri atau kesombongannya dan enggan memohon ampun serta mentaati perintah Allah. Sebenarnya, sikap itu bukanlah sikap yang mesti diambil oleh manusia, sebagaimana yang ditunjukkan dengan bukti jujurnya Adam mengakui kesalahan dirinya lalu memohon ampun dan bertaubat, kembali pada ketetapan Allah bagi dirinya. Enggannya iblis memohon ampun serta mentaati perintah Allah, adalah sebuah bentuk dari rasa putus asa. Iblis bahkan berani menyalahkan Allah. Dengan tergesa-gesa pula, iblis juga mewujudkan kedengkiannya dengan mengancam akan menyesatkan Adam dan keturunannya, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Surat Al Hijr Ayat 39: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku (iblis) sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”.
Padahal, bukan Allah yang memutuskan iblis sesat, tetapi iblislah yang telah memilih kesesatan. Memilih hidup dengan praduga beranggap-sangka adalah memandang baik perbuatan maksiat terhadap Allah dan memilih untuk menerjuni jurang kesesatan. Demikianlah, sampai kapan pun dan dalam bentuk bagaimana pun, praduga beranggap-sangka tidak akan pernah menyelamatkan hidup dan kehidupan manusia. Justru sebaliknya, manusia akan dirugi-hinakan oleh praduga-beranggap-sangka sebagaimana maksud ayat pembuka tulisan ini: “…kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan…. prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. 41:22-23).
Empat tulisan "Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta", "Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka", "Kesombongan: Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah", dan "Rongrongan Iblis terhadap Manusia" yang diterbitkan 30 Rabi'ul Akhir 1431H (15/04/2010) di weblog kita ini merupakan satu rangkaian rangkuman pengajian dari Ki Moenadi MS 1421H (2000), berjudul: "Ketika Unsur Jasadiyah Membuka Persaksian Tersingkap Kejahatan Anggap-sangka yang Menghancur-binasakan Unsur Ruhaniyah". Kami menyediakan tautan untuk mengunduh versi PDF-nya di kolom sebelah kanan. Admin.
Kamis, 15 April 2010
Rongrongan Iblis terhadap Manusia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.