Masyarakat-Bangsa Tercela Menempati Bumi Tanah Tandus
da keterkaitan antara tanah tandus dan dambaan fithrah manusia, yaitu bahwa bagaimana pun dan sampai kapan pun nurani manusia tidak menginginkan bumi tanah sebagai tempat hamparan kehidupannya diliputi ketandusan. Ketandusan dekat pada pengertian mati, sementara sifat dan wujud dari fithrah manusia dan alam adalah hidup bebas dan aktif. Selamanya fithrah manusia tetap dalam keadaan hidup bebas dan aktif, dalam pengertian terarah. Setiap fithrah yang mendapatkan keleluasaan hidup bebas dan aktif, pasti terarah dan sebaliknya, apabila fithrah manusia maupun alam tidak mendapatkan kesempatan keleluasaan hidup bebas dan aktif, pasti perjalanannya tidak akan terarah dan tidak pula terkendali. Buktinya, tidak satu pun nurani manusia yang jalan hidupnya mau ditekan. Hati tak tertekan adalah hati tenteram-terarah dengan mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya: “(yaitu hati) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS 13:28).
Namun tidak sedikit fithrah yang hidup terkurung. Yang mengurung kehidupan fithrah adalah nafsu. Fithrah yang dapat menikmati keleluasaan hidup bebas aktif, akan memantulkan pula keleluasaan itu pada lingkungan semesta, khususnya terhadap bumi tanah. Keleluasaan hidup bebas aktif fithrah manusia banyak memberikan arti tersendiri bagi kehidupan dan kesuburan bumi tanah. Buktinya, bumi tanah juga memiliki sifat hidup bebas aktif tanpa tekanan kecuali mengikuti kodrat yang Allah tetapkan baginya. Yang telah diketahui banyak manusia adalah kodrat gaya tarik, rotasi, orbitnya, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, haqiqi sifat bumi tanah bebas aktif, tidak banyak diketahui manusia ―khususnya mereka para penyandang ilmu dan pendukungnya, yaitu para penguasa berkuasa serakah. Tidak sekali dua kali mereka mengatur dan merekayasa sifat bumi tanah yang memiliki hidup bebas dan aktif. Apa yang mereka perbuat?
Mereka paksakan bumi tanah memberikan segala yang diinginkannya dengan berbagai rekayasa ilmu. Memang, apabila pada suatu hamparan bumi tanah terdapat penguasa berkuasa serakah, pasti di tempat itu terdapat pula para penyandang ilmu rekayasa. Atau sebaliknya, jika pada suatu hamparan bumi tanah banyak terdapat para penyandang ilmu rekayasa, bisa dipastikan pula di tempat itu banyak terdapati penguasa berkuasa serakah, sebagaimana keadaan masyarakat Fir’aun dahulu. Dalam hal keleluasaan bumi tanah, penyandang ilmu rekayasa dan penguasa berkuasa pun saling tunjang menunjang dalam membatasi gerak hidup bumi tanah yang bebas aktif. Bahkan bukan saja hanya membatasi, tetapi bumi tanah yang memiliki sifat hidup bebas aktif itu pun dimatikan dengan rekayasa ilmu. Bagaimana gerak hidup bebas-aktif bumi tanah dapat diketahui dengan baik tepat dan pasti oleh mereka, bila fithrah mereka sendiri pun tidak dapat mereka kenal dengan tepat-pasti?
Selamanya, manusia tidak akan pernah mengetahui dengan tepat dan pasti gerak sifat kehidupan tanah atau unsur yang terkandung pada tanah, bila terhadap gerak sifat atau unsur yang terkandung pada dirinya sendiri pun tidak dapat diketahui dengan tepat dan pasti. Apa yang terdapat di lingkungan alam semesta ini semuanya merupakan cermin dari pada manusia itu sendiri. Sifat dan wujud fithrah manusia adalah hidup bebas aktif. Lalu, bagaimana bila sesuatu yang memiliki sifat dan wujud hidup bebas aktif diletakkan pada tempat yang mati? Bukankah hal itu pada akhirnya akan bertolak belakang dengan azaz penciptaan Allah “KUN” (atau lengkapnya “KUN FA YAKUUN” sebagaimana pada QS 2:117: “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia”).
Demikianlah, maka apa saja yang bertolak belakang dengan azaz penciptaan “KUN”, pasti akan hancur binasa. Agar kehancuran dan kebinasaan itu tidak mengena pada fithrah manusia, akhirnya dengan segala upaya manusia berusaha mengembalikan bumi tanah tandus menjadi bumi tanah subur. Sebenarnya upaya manusia untuk menghidupkan dan menyuburkan kembali bumi tanah tandus, juga menjadi imbauan Allah kepada manusia. Hanya saja sangat disayangkan, dewasa ini cara yang semestinya dilakukan ―yaitu dengan ketepat-pastian― banyak tidak diketahui. Penyebab ketandusan itu sendiri tampaknya tidak diketahui secara tepat dan pasti. Selama ini, manusia ―khususnya para penyandang ilmu yang didukung penuh oleh para penguasa berkuasa serakah― melihat ketandusan bumi tanah dari satu sisi. Mereka melihat ketandusan bumi tanah ―dalam arti tanaman yang tidak bisa tumbuh subur maupun yang tidak memiliki kandungan― hanya dari sebab-musabab gejala atau dari faktor alam itu sendiri. Mereka tak mengkaitkan ketandusan bumi tanah dengan dirinya sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa bumi tanah tandus, sebenarnya adalah korban dari kehinaan manusia, sedangkan hina tidaknya manusia, sangat ditentukan oleh kehidupan fithrahnya. Kapan fithrah manusia tetap pada sifat dan wujudnya ―yakni mendapat keleluasaan hidup bebas aktif, dalam arti hidupnya tetap terarah sesuai azaz penciptaan Allah “KUN” ― itulah kemuliaan bagi manusia. Sebaliknya, kapan fithrah manusia menyimpang dari sifat dan wujudnya, itulah kehinaan bagi manusia. Dalam hal ini sifat kata “KUN” itu sendiri adalah mulia, karena begitu dikatakan “KUN” langsung terwujud atau terciptalah kesetimbangan yang sempurna. [insya Allah berlanjut]
Diringkas oleh Taufik Thoyib dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Masyarakat atau Bangsa yang Tercela Menempati Kehidupan di Bumi Tanah yang Tandus”, 14 Rabiul Awal 1419H (8 Juli 1998); dokumentasi Yayasan Badiyo, Malang.
Jumat, 08 Oktober 2010
Masyarakat-Bangsa Tercela Menempati Bumi Tanah Tandus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Ass wr wb
BalasHapusSaya dulu pernah tinggal beberapa saaat di Amrik dan juga beberapa bulan di beberapa negara Eropa. Saat itu saya baru tau mengapa mereka sangat ngiler untuk bisa menguasai Indonesia... Bagi yang belum pernah melihat perbandingan itu, sepertinya memang agak sukar bersyukur atas karunia Allah untuk negeri kita yang tadinya serba gemah ripah ini. Sekarang saya bar tahu hubungan antara masyarakat kafir dengan ketandusan tanahnya. Lalu daerah Arab dan Afrika sana gimana pak? Trmkasih.
Eep Kunaefi (eepkunaefi@hotmail.com))
Wa'alaikum salam wr. wb.,
BalasHapusKesuburan ada dua pak. Yang pertama adalah subur permukaan tanah, yang kedua adalah subur kandungannya. Artinya, tanah itu subur bahan mineral pertambangan. Arab dan Afrika banyak yang subur kandungannya, meski di atas permukaannya kurang. Negeri kita kebanyakan subur keduanya. Jadi benar panjenengan, sangat mudah dimengerti mengapa bangsa Barat ibarat sangat ingin menggaruk habis kekayaan negeri yang ditakdirkan menjadi negeri muslim ini. Salam. Taufik Thoyib.