Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #1
Negeri Kesayangan dan Ridha Ilaahi (NKRI) Disyukuri dengan Pola Hidup Materialistik?
Assalamu'alaikm wr.wb. Kemerdekaan Indonesia 1945M terjadi pada Bulan Ramadhan. Mekkah pun dibebaskan Rasulullah s.a.w. dari kaum kafir-musyrik Quraisy pada Bulan Ramadhan. Ramadhan tahun 1432H ini, jatuh berulang pada peristiwa Kemerdekaan NKRI 66 tahun yang lalu. Merdekakah Indonesia? Nasib dan martabat rakyat kecil tak kunjung terangkat. Gedung DPR seharga 1,6 trilyun; masing-masing petingginya pun mesti menaiki mobil dinas senilai 1,3 milyar, apakah merupakan jaminan besarnya kepedulian wakil rakyat terhadap negeri yang sedang terpuruk ini? Yang terjadi justru kian merebaknya perpecahan di antara para petinggi dan perilaku saling jatuh-menjatuhkan di antara mereka.
Ada isyarat kuat, Indonesia harus merdeka. Mengapa dan dari apa? Jika dalam suatu lingkungan hidup, baik keluarga, suku, kelompok, partai maupun bangsa terjadi perpecahan, dapat dipastikan penyebab utama di dalamnya telah menyusup Yhd. Yhd tidak hanya sebatas pengertian etnis. Tetapi yang sangat membahayakan bagi kehidupan bersemesta adalah Yhd dalam pengertian pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan, yang dapat melanjut-mewaris dari generasi ke generasi. Bangsa Indonesia perlu merdeka dari pola fikir Yhd.
Kami menurunkan seri tulisan Ramdhan Indonesia Merdeka. Selamat mengikuti, semoga bermanfaat, dan semoga ibadah shiyam kita diterima Allah s.w.t. Wa taqqaballaahu minna wa minkum
elaras dengan rahmat dan karunia semata dari Allah, terungkaplah kata dari kedalaman kesadaran lubuk hati, memanjatkan puji dan syukur ke hadhirat Ilaahi Robbi. Dia-lah Allah, yang dengan kemurahan kasih-sayang-Nya senantiasa mengucurkan rahmat-petunjuk sekaligus sebagai jalan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang-benderang --dengan rentangan hidup berkesemestaan dalam satu getar-rajutan yang berketepatan, disertai kebijakan dan kepastian-Nya. Allah pula yang kemudian mendidik, membina, membawa, dan menuntun manusia meyeru sekalian alam menuju jenjang kesempurnaan hidup berazas-pondasi-dasar luhur, santun dan berkesetimbangan dengan cara memberikan contoh suri-tauladan melalui perilaku hidup Nabi Muhammad s.a.w. Sebagai rasa hormat atas pengorbanan, perhatian, dan kebaikan yang telah demikian banyak dicurahkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada ummat manusia penyeru sekalian alam (khalifah), tak lupa di kesempatan ini terungkap-kata dari kedalaman hati mengucapkan: “Salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. selaku rahmatan lil ‘aalamin beserta keluarga dan sahabatnya”.
Selanjutnya, marilah sesaat kita luangkan waktu dalam kebersamaan membuka nurani hati, untuk menyimak-renung-cermati tutur-nasehat pesan-petunjuk Allah selaku pencurah rahmat yang dapat dipegang teguh sebagaimana terdapat pada QS.7:167-169:
Dan (ingatlah), ketika Robbmu memberitahukan, bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yhd) sampai hari qiyamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka adzab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Robbmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.7:167)
Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang shaleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (ni’mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS.7:168)
Maka datanglah sesudah mereka generasi (jahat) yang mewarisi Kitab, mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian kitab itu sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya. Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertaqwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti (QS. 7:169)
Nyatalah, betapa kasih dan sayangnya Allah kepada manusia. Allah tidak menginginkan manusia terperangkap dalam adzab (kesulitan-kesukaran). Sikap demikian langsung diwujud langkah-nyatakan Allah melalui pesan-nasehat yang isinya: “Jauh sebelum kedatangan adzab (kesulitan-kesukaran hidup) Allah lebih dahulu memberikan pengumuman, bahwa akan datang sekelompok orang yang keberadaannya di tengah-tengah kehidupan bersemesta khususnya ummat Islam, baik secara jasadiyah maupun ruhaniyah; terutama pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan; mereka hanya mendatangkan adzab yang seburuk-buruknya (salah-satunya rangkaian kesulitan-kesukaran hidup). Mereka itu adalah orang-orang Yhd”. Bahkan dengan tegas Allah nyatakan bahwa mereka selalu dan pasti ada hingga hari qiyamat. Bahkan tidak akan pernah ada perdamaian antara Yhd dan Islam, karena Yhd menyimpan dendam-kedengkian. Oleh sebab itu setiap langkah-kegiatan yang ditampilkannya pasti bertujuan menghancurkan Islam. Meskipun tampak mata-kepala bernilai kemanusiaan, namun hakikinya terselip dendam-kedengkian untuk menghancurkan segala sesuatu, khususnya ummat Islam.
Dari pemberitahuan Allah tersebut yang dapat dipetik pengertian-pemahaman bahwa di mana pun Yhd berada, pasti hanya akan mendatangkan musibah-bencana baik terhadap ummat Islam maupun terhadap kehidupan semesta. Secara tidak langsung dapatlah dikatakan tegas: “Jika dalam suatu lingkungan hidup, baik keluarga, suku, kelompok, partai maupun bangsa terjadi perpecahan, dapat dipastikan penyebab utama di dalamnya telah menyusup Yhd”. Ingat! Yhd tidak hanya sebatas pengertian etnis. Tetapi yang sangat membahayakan bagi kehidupan bersemesta adalah Yhd dalam pengertian pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan, yang dapat melanjut-mewaris dari generasi ke generasi. Agar ummat Islam tetap terjaga-berada dalam kewaspadaan terhadap gerak-gerik langkah-kegiatan yang dicairkan dari pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan Yhd, Allah mengabadikan-Nya dalam salah satu nama surat yakni Surat “Bani Israil” atau Keturunan Israil. Artinya secara tidak langsung melalui nama surat, Allah mengingatkan kepada ummat Islam bahwa Yhd akan terus berkembang-biak melalui jalur pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan. Pelanjut-waris pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan Yhd disebut selaku Bani Israil atau anak-turun dari Israil. Meskipun secara etnis mereka bukan anak-turun Yhd, tetapi apabila pola fikir, pandangan hidup, dan keilmuan tidak bersifat Qur’ani, mereka dapat dinyatakan tegas selaku anak-turun Yhd jahat. Cirinya sebagaimana dijelaskan pada firman Allah QS.7:169 antara lain:
• Banyak mewarisi kitab; dalam berpandangan hidup maupun berilmu selalu (berorientasi berliteratur-referensi, pada kitab-kitab Yhd) yang isinya hanya mengacu pada pengejar-raihan harta benda dunia, dengan menempuh segala cara; mereka tidak peduli hancurnya kesetimbangan rajutan gerak-getar dzat ketenagaan hidup secara kesemestaan. Yhd menggantikan peran kekhalifahan para nabi dengan para filsuf mereka. Dengan rekayasa jaringan informasi keilmuan sejak zaman buku dicetak manual sampai dengan zaman cybernetic di masa kini, para filsuf Yhd menjadi akhirnya panutan berfikir dunia. Nabi Allah bukan lagi tauldan, namun dianggap sebagai mitos zaman dahulu. Demikian pula mereka ciptakan para idola yang menjadi sesembahan manusia di berbagai bidang keilmuan, pemerintahan, politik, kesenian, sampai dengan olah raga. Tokoh-tokoh yang mereka ciptakan jauh lebih populer dari pada para sahabat Nabi s.a.w. dan bahkan pahlawan-pahlawan Islam sangat jarang dikenal oleh generasi muda muslim, apalagi ditauladani semangat perjuangannya. Generasi muda muslim, sungguh telah terbuai dan memandang bahwa tolok ukur kemajuan harus berasal dari Barat (yang hakikatnya adalah Yhd). Pola fikir bebas-liar mereka beri label “liberal”. Inilah yang disebut Yhd secara pola fikir, yang selanjutnya berciri sebagaimana teruraikan di bawah.
• Suka beranggap-sangka, bahwa dirinya selaku manusia yang diberi ampun oleh Allah, karena merasa diri berilmu. Dengan anggapan berilmu akan banyak mendapat-datangkan nilai pahala berlipat. Anggapan duga-sangka itu menjadi salah satu yang berkembang dalam perilaku anak-turun Yhd dalam arti pola pikir. Pertanyaannya: ilmu yang bagaimanakah? Yang berfihak atau mengabdikan diri hanya pada peraihan kepentingan manusia untuk kenikmatan duniawinya, dengan cara mendapatkan hasil berlipat dalam waktu singkat, pengorbanan sekecil-kecilnya, dan dengan cara semudah-mudahnya? Atau ilmu yang merupakan wujud dari tuntunan Allah dengan bukti ilmu itu berfihak secara adil baik pada manusia dan alam dengan bijak? Bukti bahwa ilmu yang dikembangkan manusia adalah ilmu timpang hasil pola fikir Yhd adalah kerusakan manusia dan alam. Manusianya semakin rakus dan tamak, alam menjadi korban keserakahan manusia materialistik, atau manusia berpola fikir Yhd laknatullah.
Harus bagaimanakah ummat muslim?
Tulisan di atas merupakan sebahagian buah pena Ki Moenadi MS (alm) tahun 2001, berjudul “Indonesia-Ku, Pengantar Kami”, dengan penyesuaian redaksional dan beberapa tambahan informasi mutakhir dari Taufik Thoyib. Lanjutannya akan kami sajikan berseri –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.