Bagaimanakah sesungguhnya perbudakan pola? Pola dapat berlangsung pada tingkat mentalitas atau pun pada tingkat konsep keilmuan. Jika pola ini dikuasai Yhd, itulah wujud nyata dari millah mereka mencengkeram manusia, termasuk ummat Islam.
iapa yang berani mengatakan bahwa penghapusan perbudakan pola adalah sesuatu yang mudah? Apalagi jika bagi kebanyakan manusia, negeri hanya terpandang sebagai tempat pelepas hawa nafsu. Hidup hanya meraih kesenangan dunia belaka itulah yang diajarkan atau dipolakan oleh Yhd. Disadari atau tidak, simbol-simbol mereka mengejawantah sebagai lambang berbagai aktifitas. Sayangnya, hanya sedikit manusia yang peduli, sebagaimana mereka pun tak pernah peduli atas apa yang terjadi pada negerinya. Bukankah mereka yang tak punya kepedulian apalagi keprihatinan itu bagaikan benalu bagi negeri ini?
Saksikanlah, tidak ada seorang hamba kekasih Allah pun yang tidak memprihatinkan keadaan negerinya. Kemakmuran atau kebahagiaan negerinya adalah bagian dari perwujudan kemakmuran dan kebahagiaan hatinya. Dengan demikian bila hati terasa gelap dan penuh gejolak, pandangannya terhadap negeri menjadi gelap dan bergejolak pula. Hal ini bukan berarti para hamba Allah adalah orang-orang yang ingin menguasai negeri, tetapi kebahagiaan negeri selalu menjadi renungan mereka. Islam bukanlah agama yang mementingkan hidup diri sendiri; Islam adalah kebahagiaan bagi seru sekalian alam —yang salah satu bagiannya adalah negeri. Islam menghantarkan kemakmuran bagi suatu negeri. Apakah ukuran makmur suatu negeri? Kekayaan duniawi penduduknya?
Ukuran negeri makmur bukan terletak pada kemegahan hasil karya bangunan kemegahan atau kemewahan hidup duniawi belaka, melainkan terletak pada keluhuran budi pekerti manusianya. Mengapa? Keluhuran budi merupakan pancingan tempat mengalirnya ilmu bersifat kesemestaan bermanfaat-guna bagi seluruh kehidupan. Bukan saja kepentingan manusia yang diperjuangkan, melainkan kepentingan isi semesta pun selalu menjadi perhatian. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. yang bermohon pada Allah, agar kota Mekah dijadikan sebagai kota yang banyak mengandung berkah (Dan ketika Ibrahim berkata: ’Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala’, QS 14:35). Itulah bukti bahwa setiap hamba kekasih Allah selalu memprihatinkan keberadaan negerinya. Begitu pula, sudah saatnya pula kita memprihatinkan negeri ini. Negeri ini bukan negeri yang miskin, tetapi karena kebodohan nan amat sangat, negeri ini tampak seakan negeri yang miskin yang tak mampu berdiri sendiri.
Sebenarnya secara materi negeri ini tidaklah miskin, tetapi secara rohani sungguh sangatlah miskin. Bukti kemiskinannya masing-masing diri selaku anggota masyarakat tak mampu melepaskan diri dari bentuk-bentuk perbudakan, khususnya perbudakan pola yang telah meracuni manusia sedunia. Sedangkan perbudakan pola lebih kejam dari pada perbudakan senjata. Sebab perbudakan pola membunuh semua potensi dalam tiap diri manusia yang telah tersedia dengan cuma-cuma. Dengan terbunuhnya potensi dalam tiap diri manusia, bukankah manusia menjadi robot yang digerakkan oleh pola-pola? Jika keberadaan manusia di muka bumi ini tampil selaku robot pola, dapatkah manusia bertindak selaku kholifah? Seharusnya pola-lah berada di bawah kekuasaan seorang kholifah.
Bila direnungi, manusia adalah makhluq ciptaan Allah. Dengan sendirinya makhluq itu penuh berada dalam lingkaran pola Allah. Walaupun demikian ke-Maha-Kuasa-an-Nya, tak pernah Allah memaksakan seorang manusia untuk memilih pola-Nya. Kebebasan mutlak Allah berikan dengan menjelaskan gambaran-gambaran tiap jalan yang ditempuh si manusia. Bila dijumpai ada firman Allah mengancam seorang yang keluar dari pola-Nya, jangan diartikan hal demikian pertanda Allah memaksa atau menekan seorang hamba. Ibaratnya, seorang ibu mengingatkan anaknya, yang tampak mudah tergelincir dan jatuh bila tidak hati-hati melangkah. Apakah hal demikian salah? Dapatkah hal demikian ini disebut dengan suatu pemaksaan atau penekanan? Bukankah hal itu menunjukkan rasa kasih nan amat dalam. Nada tanyapun muncul kepada kita para hamba-Nya. Pola Allah ataukah pola-pola yang manusia yang mempersekutukan Allah yang lebih baik? Renungilah QS 27:59 sebagai berikut: Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?".
Membasmi perbudakan pola tidaklah mudah
Digambarkan laksana jalan yang mendaki lagi sukar, sebagaimana isyarat QS 90:12-13 Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?; (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Ketekunan, keuletan modal pokok pembasmian perbudakan pola. Jika tidak sedini waktu perbudakan pola dilepaskan, wabah kebodohan kian merambat di seluruh permukaan jagad raya. Tidak terasa keberadaan pola laksana benalu di tengah kehidupan tanaman. Awal mula hidup menumpang, lama kelamaan tanaman dililit tempat benalu melangsungkan hidupnya. Apa yang terjadi? Tanaman pun mati dililit benalu-pola. Ummat Islam tak pernah menyadari bahwa keberadaan pola menjadikan manusia tak mampu memandang jauh luas dan dalam. Semua pandangan serba dibatasi. Bahkan pandangan hidup yang Allah berikan pada manusia tidak luput dari keserakahan pola. Tidakkah kita sadari bahwa hampir seluruh terjemahan Al-Qur'an terserang wabah pola, yakni pembatasan pengertian dengan disusunnya terjemahan itu dengan tema-tema. Apakah manusia (penerjemah) mengira bahwa tema yang diberikan telah tepat adanya? Padahal kala menurunkan Al Qur’an, Allah tak pernah memberikan batasan pengertian agar Al Qur’an menjadi kitab pedoman hidup tetap berlaku sepanjang zaman. Akibat batasan pandangan yang diatur oleh pola, maka banyak manusia tak mampu memahami apa yang terbaik bagi negerinya sendiri. Seringkali terjadi kehidupan negerinya diajak mengikuti gaya kehidupan negeri lain. Tidak disadari bahwa hal demikian itu adalah kesalahan fatal, apabila yang diikuti adalah negeri terlaknat. Di negeri terlaknat, manusia hidup tanpa berkah. Semakin jauh manusia terlepas dari perbudakan pola, semakin jauh, luas dan dalam pengertian yang diperolehnya. Hal ini merupakan suatu kekayaan yang tiada bandingnya.
Marilah merenung panjang terhadap ciptaan Allah untuk menemui haqeqat kehidupan. Hal demikian ini menggiring manusia untuk melepaskan dirinya dari segala pola perbuatan tangan manusia, kecuali diri akan diikat erat pada pola Allah semata. Gambaran kehidupan sebagaimana yang tertera pada QS 27:60-64 merupakan gambaran kemakmuran negeri yang mendapatkan keberkahan dari Allah. Di dalamnya memancar mata air murni pembangkit segarnya kehidupan yang melambangkan kemurnian ilmu kelak diterapkan.
Disajikan untuk umum oleh Taufik Thoyib dari warisan pena Ki Moenadi MS, berjudul ”Balada Seruling Senja Si Anak Gembala Harapkan Negeri", ditulis di Malang, 1416-12-27H.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.