
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak setimbang. (QS.67:3)
Rindu Bangsa dan Negeri Pertiwi
pada Pemimpin Yang Terpimpin Ilaahi Rabbi
arilah kita amati dan renungi bahwa dengan rahmat kasih-sayang Allah semata, terciptalah hamparan kehidupan bersemesta di muka bumi dalam keadaan satu gerak getaran rajutan ketenagaan berkesetim- bangan. Hamparan kehidupan itu terus berputar berolah-lanjut berkesinambungan secara berjenjang naik dalam ketetapan batas ruang dan waktu yang ditentukan. Inilah perwujudan dari sikap sifat Allah selaku Dzat Maha Sempurna di atas segala makhluq ciptaan yang disempurnakan. Allah telah mempersilahkan kepada manusia untuk memberikan penilaian terhadap ciptaan-Nya sebagaimana diisyaratkan pada firman-Nya di atas.

Pemimpin bagai puncak gunung: tinggi menjulang menjadi pedoman arah masyarakat. Di puncak gunung tak ada tanaman, fungsinya menampung-wadahi rahmat hujan dari Allah. Di kakinya, titik air yang dihimpunnya mewujud menjadi sungai-sungai yang menghidupi lingkungan dan rakyatnya.
Bertauhid murni, memimpin kemajemukan
Demikian itulah kesempurnaan sifat Allah yang telah ditampilkan-Nya pada penciptaan kehidupan bersemesta. Pada seluruh makhluq ciptaan Allah, tidak ada yang memiliki sifat kemuliaan dan kesempurnaan secara muthlaq. Makhluq ciptaan telah ditetapkan berada dalam batasan ruang-waktu yang ditentukan. Makhluq ciptaan mempunyai sifat ketidaksempur- naan. Di antara seluruh makhluq-Nya, manusia telah dimuliakan dan disempurnakan dengan kemurahan kasih-sayang Allah semata. Hal itu semestinya selalu disadari seorang pemimpin. Ia selayaknya menyadari dengan sedalam-dalamnya sifat ketidak-sempurnaannya di dalam diri. Jika disadari, maka dengan segala kerendahan diri dan atas desakan nurani-hatinya yang tulus, ia pasti membuka ungkap-kata puji syukur ke hadirat Allah Dzat yang Maha Sempurna dalam Keterpujian Muthlaq tanpa-Batas, yang telah mencurahkan sebagian rahmat kemurahan-kasih-Nya dalam bentuk pertolongan dan kemudahan dalam menyaji-gelarkan buah renungan dari rahasia hatinya untuk kemakmuran bangsa dan negerinya.
Seorang pemimpin sejati tak akan mengucapkan puji syukur kepada Allah dengan keangkuhan menilai dirinya telah berbuat jasa pada bangsanya, mengingat begitu besar resiko yang dapat dihadapinya di akhirat kelak.Begitu pula, senantiasa teriring dari bathinnya ungkap-kata dalam bentuk shalawat dan salam tertuju pada junjungan Nabi besar Muhammad s.a.w. beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membuka jalan sekaligus telah menghantarkan segenap manusia pada pencapaian tingkat kemuliaan dan kesempurnaan hidup, serta memberi suri-tauladan kepemimpinan pada dirinya. Dapat ditambahkan, seorang pemimpin selayaknya pula merasa tak lebih selaku seorang anak bangsa belaka. Ia tidak akan merasa dan berlebihan menilai dirinya menjadi warga-negeri yang istimewa. Namun demikian, ia penuh kepedulian dan keprihatinan mendalam terutama ketika jika arah perjalanan bangsanya belum mendapatkan titik-terang dalam kepastian. Arah yang dimaksud adalah utuh-tegaknya kesatuan bangsa dalam kesatuan dan kebersamaan jalinan ikatan hati.
Memecah-belah, atau menjaga kesatuan negeri?
Sebahagian besar manusia Indonesia pasti masih sangat mendambakan capaian arah perjalanan kehidupan bangsa sampai pada jenjang kemuliaan dan kesempurnaan hidup, karena hal demikian sangat bersesuaian pula dengan fithrah manusia.
Khususnya bagi bangsa Indonesia, nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup itu pernah teraih. Sayangnya saat ini kemuliaan dan kesempurnaan hidup bangsa yang di dalamnya terdapat nilai harkat dan martabat luhur, sedang diterpa amukan kereta-perang kepalsuan bernaungkan mega-hitam bergelombang-badai kekufuran. Wujud amukannya, masyarakat negeri ini hidup dalam pencampuran golongan-golongan yang saling bertentangan. Akibatnya sebagian golongan merasakan adanya keganasan dan kebengisan dari sebagian golongan, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah: “Dia yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu kepada keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)”. (QS.6:65)
Sayangnya kenyataan pahit demikian itu sangat sedikit disadari bangsa Indonesia, terutama pemimpinnya. Boleh jadi hal ini disebabkan dari adanya kebutaan diri dalam memahami tanda-lambang yang digelarkan Allah secara silih berganti. Kebutaan itu disebabkan penumbuh-kembangan dan pendaya-manfaatan bakat potensi ketenagaan di dalam diri tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya, karena terbunuh oleh cara berfikir duga-sangka rekayasa logika. Itu sama dengan membunuh kemuliaan dan kesempurnaan di dalam pribadi tiap manusia, yang sebenarnya dipasangkan Allah sebagai modal tampil ke depan selaku kholifah.

Dalam tradisi, kepemimpinan dilambangkan dengan tumpeng, yang juga menyerupai gunung. Di puncaknya, hanya ada nasi putih. Di kakinya, tersajikan aneka lauk-pauk untuk kemakmuran rakyat. Pemimpin terbaik adalah para nabi. Tak ada satu nabi pun yang tak berkorban untuk ummatnya. Pemimpin yang haqq pasti penuh dengan pengorbanan pada kaum lemah, bukan menguasai rakyatnya demi kesombongan prestise-prestasi diri atau kedengkian. Apalagi demi keserakahan nafsu hewani: ikut berebut lauk-pauk di bahagian bawah tumpeng jatah rakyat kecil!
Dengan kemurahan kasih-sayang Allah semata, manusia dimuliakan dan disempurnakan derajatnya, sehingga manusia dapat tampil selaku wadah kecintaan Allah. Manusia yang demikian sekaligus akan tampil berdiri selaku kholifah di muka bumi untuk menabur-biaskan nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup kepada alam lingkungan sekitarnya, sebagaimana diisyaratkan pada firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, ... Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluq yang telah Kami ciptakan.” (QS.17:70)
Dipimpin logika-nafsu, atau dipimpin Allah?
Meskipun muthlaq berkehendak agar kemuliaan dan kesempurnaan dipasangkan kepada manusia, tapi Allah tidak akan bersewenang-wenang. Buktinya, tidak sedikit jumlah manusia yang dengan sengaja mencampakkan nilai kemuliaan dan kesempuraan yang dipasangkan Allah. Dampaknya, arah perjalanan hidup bangsa bahkan alam semesta pun akan hidup timpang. Dari seluruh kehidupan bersemesta di muka bumi ini, manusialah yang menjadi titik poros bagi perputaran gerak-ketenagaan dalam satu rajutan. Adapun nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup manusia terletak pada penumbuh-kembangan sekaligus pendaya-manfaatan terhadap bakat potensi ketenagaan di dalam diri.
Tetapi, nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup perjalanan bangsa tidak akan dapat dicapai dan tidak pula dapat ditentukan dengan ketinggian nilai duga-sangka rekayasa logika. Justru semakin tinggi nilai duga-sangka rekayasa logika diterapkan pada arah perjalanan hidup bangsa, pasti hanya akan memperburuk perjalanan hidup bangsa. Karena bagaimanapun tingginya pencapaian tingkat nilai duga-sangka rekayasa logika, tidak akan pernah mencapai tingkat kepastian. Mengapa nilai duga-sangka rekayasa logika dapat dipastikan hanya akan menghantarkan hidup suatu bangsa pada kehancuran? Dan
siapakah yang telah menumbuh-kembangkan dengan subur cara berfikir duga-sangka rekayasa logika? Jawaban ada di dalam firman Allah: ”Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman.” (QS. 34:20).Sifat-laku perbuatan iblis selalu merobek dan membunuh nilai kemuliaan dan kesempurnaan dengan alat duga-sangka rekayasa logika. Oleh karena itu dapatlah dijadikan sebagai alat ukur, kapan kemuliaan dan kesempurnaan hidup gagal dicapai oleh perjalanan kehidupan bangsa, dapat dipastikan yang sedang memimpin perjalanan hidup adalah duga-sangka rekayasa logika. Bila hal ini yang terjadi tidak perlu disangsi-ragukan bahwa akhir dari segalanya adalah kehancuran hidup. [Bagaimana keadaan berfikir dengan logika yang subjektif, telah kami sajikan pekan kemarin, lihat "Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah?" -Admin]
Diringkas dan dituliskan kembali oleh Taufik Thoyib dari Muqaddimah buku buah pena Ki Moenadi MS berjudul "Arah Perjalanan Bangsa Meraih Kesempurnaan Hidup", terbitan Yayasan Badiyo, Malang, 1420H. Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.