Rabu, 05 Mei 2010

Akhlaq: Ukuran Pertama Kepribadian Manusia

...HR Thabrani & Muslim...


Sesungguhnya Allah Ta’alaa tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barang siapa memiliki hati yang shaleh, maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa. (HR Ath-Thabrani dan Muslim)


Akhlaq: Ukuran Pertama Kepribadian Manusia

...drop capital S...emakin bersemarak dibicarakan di berbagai jenis media massa belakangan ini, topik-topik tentang kepribadian manusia. Namun sepertinya, belum ada satu pun yang dapat dijadikan ukuran baku, karena masing-masing pandangan dan pendapat lahir dari rekayasa untuk memperoleh balas jasa. Bagi yang berpandangan, berpendapat, atau menilai kepribadian dengan ukuran materi, bisa saja di balik teorinya, sebenarnya mempunyai maksud tersembunyi untuk kepentingan dan keuntungan yang diraih atau datang kepadanya. Pamrih itu misalnya kedudukan, uang, atau ketenaran nama. Belum lagi, bagaimana pandangan berpamrih itu dapat menjelaskan hal yang lebih rumit: apa hubungan kerusakan akhlaq manusia dan kerusakan lingkungannya?
Korban Lapindo mud-flow
Maka yang perlu direnungkan untuk dipertanyakan, dapatkah pandangan-pendapat yang berbeda karena sesuatu pamrih dijadikan suatu tolok-ukur pasti? Dari manakah dan apakah yang menjadi ukuran kepribadian manusia? Jika materi yang menjadi ukuran berkepribadian, berapa banyak manusia kaya-raya yang tampil menarik-pikat dipandang mata, namun dalam kehidupan diri sendiri, keluarga rumah-tangga, maupun kehidupan masyarakatnya, ternyata penuh dengan permasalahan yang tidak teratasi? Dapatkah keadaannya dikatakan berkepribadian?

Untuk itu marilah kita renung-ulang kembali ukuran kepribadian yang selama ini muncul. Kata “kepribadian” mengandung makna adanya sesuatu yang khusus dan istimewa melekat pada diri manusia, yang bersifat indah-terpuji. Hal ini seirama dengan pernyataan Rasulullah Muhammad s.a.w. bahwa: “Aku Muhammad diutus tidak lain dalam rangka menyempurnakan akhlaq manusia”. Kesempurnaan akhlaq akan membuahkan antara lain:

  • Ruh yang senantiasa menjaga hubungan baik sampai pada tingkat dekat-aqrab dengan Allah. Itulah salah satu bentuk pengabdian murni kepada Allah. Artinya, tidak ada unsur berpamrih dalam pengabdian kepada Allah, kecuali mengharap keridhoan-Nya. Bukan keridhoan dan bukan pula pengabdian murni, jika di saat melangsungkan pengabdian itu dirasakan oleh nafsu manis, maka nafsu menyambut-hangat. Sebaliknya jika dirasakan pahit-pedih, maka keridhoan nafsu tinggallah kata-kata tanpa bukti; menghadapi pahit-pedih dalam pengabdian kepada Allah, sikap nafsu pasti menyambut dingin ditambah dengan berbagai keluh-kesah dan sejuta tanda-tanya.
  • Rasa yang lembut-halus, mampu bergetaran menjangkau kehidupan alam getaran-ketenagaan. Artinya, perasaannya dapat tampil sebagai jembatan-emas selaku alat penyeberangan dari kehidupan masyarakat alam lingkungan terbuka-fenomena menuju kehidupan masyarakat alam getaran-ketenagaan di balik fenomena. Perasaan yang lembut ini sangat peka membaca getaran sesuatu.
  • Hati yang melahirkan keilmuan yang berketepat-bijak-pastian, atau disebut dengan keilmuan murni terpadu bersifat Qur’ani. Kerjasama yang baik antara perasaan dan hati melahirkan kematangan spritual atau ruhaniyah.
Lalu apakah yang ditumbuhkan oleh kesempurnaan akhlaq terhadap fungsi 'aqal dan nafsu pada diri manusia?
Ada dua butir utama.
  • ‘Aqal yang melahirkan kecerdikan tingkat tinggi sehingga mampu membaca tata bahasa getaran yang ditangkap dari perasaan hati.
  • Nafsu yang tampil dengan sifat keindahan dan keterpujian, sehingga dapat dibawa menuju kehidupan berketauhid murni dan dapat dibawa menuju puncak persaksian nyata; di saat itulah haqeqat nafsu bersyahadat kepada Allah.
Ke 5 butir tersebut di atas mutlak menjadi ukuran berkepribadian-tidaknya seseorang. Dengan demikian, dapat dikatakan akhlaq menjadi ukuran pertama bagi kepribadian manusia. Alangkah piciknya jika kepribadian diukur hanya sebatas nilai materi-lahiriyah maupun pengetahuan yang dimiliki manusia, sedangkan perilaku bathiniyah tumpang-tindih dihimpit permasalahan. Belum lagi keadaan nafsu bebas-liar tanpa kendali Al Qur’an. Semakin jelaslah ukuran yang banyak berkembang atas dasar nafsu tersebut pasti subjektif, atau mempunyai pamrih.

old bookSangat berbeda jika ukuran kepribadian manusia disusun menurut sorotan-pandangan Al-Qur’an. Pasti tidak ada pamrih, unsur kepentingan maupun keuntungan yang dilangsungkan Allah selaku Ar-Rahmaan terhadap manusia. Justru keuntungan mutlak diserahkan penuh kepada manusia dan kehidupan berkesemestaan. Dalam sorot-pandang Al-Qur’an, kepribadian manusia diukur dari tingkat kemurnian manusia melangsungkan pengabdian kepada Allah. Makna kepribadian itu sendiri sangat dekat artinya dengan abdi. Hamba yang mencapai pengabdian murni kepada Allah mendapat julukan-panggilan ‘ibadur-rahman dari Allah, yaitu hamba kesayangan Allah, yang ciri-cirinya antara lain disebutkan dalam firman Allah QS.25:63-73.

Seseorang yang kehidupan bathiniyahnya tidak menentu, dihanyutkan berbagai gelombang rasa khawatir-ragu, cemas-gelisah, kecewa-putus-asa, tentu tidak mempunyai ukuran kepastian hidup. Ia belum dapat dikatakan telah berkepribadian, meskipun materi yang dimilikinya berlebih bahkan dapat menunjang tampilan lahiriyah untuk menarik-pikat mata kepala. Jadi, nilai kepribadian manusia tidak dapat dilepaskan dari perilaku bathiniyah maupun perilaku dzat ketenagaan hidup bakat-potensi di dalam diri yang diutarakan di atas (ruh, rasa, hati, ‘aqal dan nafsu). Hal itu sesuai dengan yang tersirat dalam sebuah hadits pembuka tulisan ini.

Bahkan lewat Surah Asy-Syu'ara Ayat 89, Al-Qur’an memperjelas-tegaskan bahwa keselamatan manusia bukan diukur dari materi-lahiriyah atau pengetahuan yang ia miliki, melainkan diukur dari bersih atau sehat-tidaknya keadaan hati:

old book

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS.26:89)

Munculnya berbagai ragam tolok ukur kepribadian manusia yang tidak tetap, tidak tepat, dan tidak pasti, tentu akan mempersulit manusia untuk menumbuh-kembangkan kepribadian. Oleh karena itu perlu adanya suatu ukuran yang tetap-tepat dan pasti, sehingga dapat dijadikan suatu pedoman, landasan, atau azas yang bersifat tetap. Tolok ukur yang disusun dengan rekayasa untuk suatu kepentingan dan keuntungan, pasti tidak dapat dijadikan ukuran baku kepribadian.

...HR Thabrani & Muslim...


Lalu bagaimana ukuran yang pasti? Silakan mengikuti lanjutan kajian ini pada tulisan berjudul: ”Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an”. Artikel ini merupakan penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari Bagian Muqaddimah buku “Ukuran (Pasti) Kepribadian Manusia” (1422H) buah pena Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin – Admin.


1 komentar:

  1. Serasa ada tamu yang datang. Kemudian kubuka pintu dan menjawab salamnya... Lalu tinggal caraku bagaimana menerima sang tamu tersebut... Allahu Akbar... (Ivan Darmawan)

    BalasHapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.