
Sesungguhnya Allah Ta’alaa tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barang siapa memiliki hati yang shaleh, maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa. (HR Ath-Thabrani dan Muslim)
Akhlaq: Ukuran Pertama Kepribadian Manusia
emakin bersemarak dibicarakan di berbagai jenis media massa belakangan ini, topik-topik tentang kepribadian manusia. Namun sepertinya, belum ada satu pun yang dapat dijadikan ukuran baku, karena masing-masing pandangan dan pendapat lahir dari rekayasa untuk memperoleh balas jasa. Bagi yang berpandangan, berpendapat, atau menilai kepribadian dengan ukuran materi, bisa saja di balik teorinya, sebenarnya mempunyai maksud tersembunyi untuk kepentingan dan keuntungan yang diraih atau datang kepadanya. Pamrih itu misalnya kedudukan, uang, atau ketenaran nama. Belum lagi, bagaimana pandangan berpamrih itu dapat menjelaskan hal yang lebih rumit: apa hubungan kerusakan akhlaq manusia dan kerusakan lingkungannya?
Maka yang perlu direnungkan untuk dipertanyakan, dapatkah pandangan-pendapat yang berbeda karena sesuatu pamrih dijadikan suatu tolok-ukur pasti? Dari manakah dan apakah yang menjadi ukuran kepribadian manusia? Jika materi yang menjadi ukuran berkepribadian, berapa banyak manusia kaya-raya yang tampil menarik-pikat dipandang mata, namun dalam kehidupan diri sendiri, keluarga rumah-tangga, maupun kehidupan masyarakatnya, ternyata penuh dengan permasalahan yang tidak teratasi? Dapatkah keadaannya dikatakan berkepribadian?
Untuk itu marilah kita renung-ulang kembali ukuran kepribadian yang selama ini muncul. Kata “kepribadian” mengandung makna adanya sesuatu yang khusus dan istimewa melekat pada diri manusia, yang bersifat indah-terpuji. Hal ini seirama dengan pernyataan Rasulullah Muhammad s.a.w. bahwa: “Aku Muhammad diutus tidak lain dalam rangka menyempurnakan akhlaq manusia”. Kesempurnaan akhlaq akan membuahkan antara lain:
- Ruh yang senantiasa menjaga hubungan baik sampai pada tingkat dekat-aqrab dengan Allah. Itulah salah satu bentuk pengabdian murni kepada Allah. Artinya, tidak ada unsur berpamrih dalam pengabdian kepada Allah, kecuali mengharap keridhoan-Nya. Bukan keridhoan dan bukan pula pengabdian murni, jika di saat melangsungkan pengabdian itu dirasakan oleh nafsu manis, maka nafsu menyambut-hangat. Sebaliknya jika dirasakan pahit-pedih, maka keridhoan nafsu tinggallah kata-kata tanpa bukti; menghadapi pahit-pedih dalam pengabdian kepada Allah, sikap nafsu pasti menyambut dingin ditambah dengan berbagai keluh-kesah dan sejuta tanda-tanya.
- Rasa yang lembut-halus, mampu bergetaran menjangkau kehidupan alam getaran-ketenagaan. Artinya, perasaannya dapat tampil sebagai jembatan-emas selaku alat penyeberangan dari kehidupan masyarakat alam lingkungan terbuka-fenomena menuju kehidupan masyarakat alam getaran-ketenagaan di balik fenomena. Perasaan yang lembut ini sangat peka membaca getaran sesuatu.
- Hati yang melahirkan keilmuan yang berketepat-bijak-pastian, atau disebut dengan keilmuan murni terpadu bersifat Qur’ani. Kerjasama yang baik antara perasaan dan hati melahirkan kematangan spritual atau ruhaniyah.
Ada dua butir utama.
- ‘Aqal yang melahirkan kecerdikan tingkat tinggi sehingga mampu membaca tata bahasa getaran yang ditangkap dari perasaan hati.
- Nafsu yang tampil dengan sifat keindahan dan keterpujian, sehingga dapat dibawa menuju kehidupan berketauhid murni dan dapat dibawa menuju puncak persaksian nyata; di saat itulah haqeqat nafsu bersyahadat kepada Allah.
Sangat berbeda jika ukuran kepribadian manusia disusun menurut sorotan-pandangan Al-Qur’an. Pasti tidak ada pamrih, unsur kepentingan maupun keuntungan yang dilangsungkan Allah selaku Ar-Rahmaan terhadap manusia. Justru keuntungan mutlak diserahkan penuh kepada manusia dan kehidupan berkesemestaan. Dalam sorot-pandang Al-Qur’an, kepribadian manusia diukur dari tingkat kemurnian manusia melangsungkan pengabdian kepada Allah. Makna kepribadian itu sendiri sangat dekat artinya dengan abdi. Hamba yang mencapai pengabdian murni kepada Allah mendapat julukan-panggilan ‘ibadur-rahman dari Allah, yaitu hamba kesayangan Allah, yang ciri-cirinya antara lain disebutkan dalam firman Allah QS.25:63-73.Seseorang yang kehidupan bathiniyahnya tidak menentu, dihanyutkan berbagai gelombang rasa khawatir-ragu, cemas-gelisah, kecewa-putus-asa, tentu tidak mempunyai ukuran kepastian hidup. Ia belum dapat dikatakan telah berkepribadian, meskipun materi yang dimilikinya berlebih bahkan dapat menunjang tampilan lahiriyah untuk menarik-pikat mata kepala. Jadi, nilai kepribadian manusia tidak dapat dilepaskan dari perilaku bathiniyah maupun perilaku dzat ketenagaan hidup bakat-potensi di dalam diri yang diutarakan di atas (ruh, rasa, hati, ‘aqal dan nafsu). Hal itu sesuai dengan yang tersirat dalam sebuah hadits pembuka tulisan ini.
Bahkan lewat Surah Asy-Syu'ara Ayat 89, Al-Qur’an memperjelas-tegaskan bahwa keselamatan manusia bukan diukur dari materi-lahiriyah atau pengetahuan yang ia miliki, melainkan diukur dari bersih atau sehat-tidaknya keadaan hati:

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS.26:89)
Munculnya berbagai ragam tolok ukur kepribadian manusia yang tidak tetap, tidak tepat, dan tidak pasti, tentu akan mempersulit manusia untuk menumbuh-kembangkan kepribadian. Oleh karena itu perlu adanya suatu ukuran yang tetap-tepat dan pasti, sehingga dapat dijadikan suatu pedoman, landasan, atau azas yang bersifat tetap. Tolok ukur yang disusun dengan rekayasa untuk suatu kepentingan dan keuntungan, pasti tidak dapat dijadikan ukuran baku kepribadian.


Lalu bagaimana ukuran yang pasti? Silakan mengikuti lanjutan kajian ini pada tulisan berjudul: ”Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an”. Artikel ini merupakan penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari Bagian Muqaddimah buku “Ukuran (Pasti) Kepribadian Manusia” (1422H) buah pena Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin – Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Serasa ada tamu yang datang. Kemudian kubuka pintu dan menjawab salamnya... Lalu tinggal caraku bagaimana menerima sang tamu tersebut... Allahu Akbar... (Ivan Darmawan)
BalasHapus