Minggu, 18 Juli 2010

Israa’: Indonesia Menembus Kegelapan






Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan (diabaikan)." (QS 25:30)

Israa’: Indonesia Menembus Kegelapan






Rasi bintang “Gubuk Penceng”, yang dikenal oleh hampir seluruh bangsa-bangsa Nusantara, Amerika Selatan, Aljazair, Maori, dan lain-lain sebagai penunjuk arah Selatan. Rasi bintang ini dalam astronomi eurocentric dikenal sebagai "Crux Australis", “Southern Cross”, atau "Zuiderkruis" (berturutan dalam bahasa Latin, Inggris, dan Belanda), disingkat “Cru”. Dalam dunia politik-militer, lambang ini dipakai antara lain pada bendera Australia, Selandia Baru, Viktoria, Brasil, Samoa, Papua New Guinea, dan Divisi Infanteri ke-23 US Army.

Kembali ke topik bintang. Begitu pentingnya tamsil bintang sehingga Allah menetapkan namanya sebagai nama salah satu surat dalam Al Qur’an (Surat An-Najm, "Bintang", Surat ke-53). Bukankah dari tamsil bintang, ada pelajaran penting? Yaitu bahwa pemimpin mesti bersifat-keadaan sebagaimana bintang (najm) yang dapat menunjukkan arah, tidak saja untuk kegiatan sosial-budaya dan politik-ekonomi, tetapi juga memberi arah dan mengayomi kehidupan ruhani kaumnya. Sebagian kalangan menyebut kualitas pemimpin seperti itu adalah "kesatria pinandita" (sekaligus mempunyai intelektualitas dan spiritualitas tinggi sebagaimana yang ditauladankan para nabi), sehingga cukup memadai untuk memimpin bangsa-negeri nan sangat majemuk ini. Apakah yang sudah dicontohkan para pemimpin kita?

...dropcap S...
uatu kenyataan yang sangat merisaukan di Indonesia, tampaknya ummat Islam telah lari dan menjauh dari wahyu Allah, sebagaimana diisyaratkan pada Surat Al-Furqaan Ayat 30 di atas. Buktinya, kehidupan gotong-royong berkandungan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits tergusur oleh kehidupan individualistik untuk perolehan materi duniawi belaka. Dahulu, sangat mudah menggerakkan masyarakat untuk bekerja bersama, menyelesaikan permasalahan desa atau kampungnya. Sekarang, bahkan tak sedikit kasus tawuran antardesa. Bukti lain: musyawarah berasas saling memberi hak dan kasih-sayang sebagai pewujudan sifat Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalam kehidupan berbangsa, digantikan oleh demokrasi berprinsip saling menuntut hak dan keuntungan diri ganda-berlipat dalam tempo sesingkat-singkatnya dan dengan cara semudah-mudahnya. Padahal, sangat pentingnya kehidupan bermusyawarah telah Allah isyaratkan sehingga "musyawarah" menjadi nama satu surat dalam Al Qur'an, yaitu Surat Asy-Syuraaa, Surat ke-42, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 38 Surat Asy-Syuraa: "Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat; sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musrawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." Bukankah meninggalkan asas musyawarah dalam kehidupan politik sama dengan tak lagi mematuhi atau menentang Allah? Jika jalan musyawarah selama ini buntu, bukan musyawarahnya yang salah. Akuilah bahwa kualitas manusianya belum pantas untuk dibimbing Allah. Sangat sulit sebenarnya untuk menganggap-diri sudah baik dan terbimbing Allah. Sebab, jika memang terbimbing Allah, mustahil ada pertikaian apalagi permusuhan tajam di antara ummat Islam! As-Salaam, Allah Yang Maha Pemberi Kedamaian dan Menyelamatkan Makhluq-Nya, mustahil mengadu-domba hamba-Nya.

Belum lagi yang berdampak sangat dahsyat memporak-porandakan fithrah manusia. Yaitu, cara berfikir-hati yang qur’ani terpimpin ilaahi rabbi, tergantikan cara berfikir logika-nafsu yang lekat dengan sifat dengki (lihat tulisan ”Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah?” di weblog ini). Dengan sendirinya, watak keilmuan yang tumbuh berkembang dari cara berfikir logika-nafsu itu adalah keilmuan yang egoistik. Cirinya, hanya memihak kepentingan manusia dan sangat kuat cenderung memuliakan sekelompok manusia: manusia yang dianggap berilmu adalah manusia dalam masyarakat eurocentic, atau bercikal-bakal-kiblat tolok ukur dari Eropa. Berbagai macam bentuk penghargaan ilmu antara lain Nobel, atau pemakaian bahasa Latin sebagai ”bahasa ilmiah” satu-satunya yang disyahkan masyarkat dunia yang eurocentric, adalah bukti nyata. Ada berapa banyak nama Eropa yang tercantum sebagai ”penemu” jenis flora? Padahal, yang menemukan dan bahkan telah menerapkan kemanfaatannya berabad-abad pasti bukan mereka, namun penduduk lokal.

Persoalan yang lebih mendasar ialah tak diketahuinya bakat-potensi manusia. Padahal, Al Qur’an menjelaskannya. Pantaslah bila derajat kehinaan adalah akhir dari segala buah pahit yang dipetik ummat Islam. Unsur ketenagaan di dalam diri berupa bakat-potensi telah dihancur-bunuhkan oleh kedengkian berfikir logika-nafsu (lihat tulisan ”Belajar & Meneliti : Melaksanakan Perintah Iqraa Bismi Rabbikal Ladzii Khalaq” di weblog ini). Padahal, bakat-potensi itu sebenarnya berfungsi selaku alat untuk memproses manusia menuju keterpujian dan kemuliaan hidup. Jika saja pengembangan dari bakat-potensi manusia dapat terjaga baik, maka masing-masing unsurnya pasti akan berkembang menghasilkan buah kemuliaan hidup bagi manusia. Lalu harus bagaimanakah kita?

Mengaku-jujurlah tentang kezhaliman diri!


Bagi yang yaqin, semua penggeseran dan penggusuran Al Qur’an sebagai pedoman hidup, pasti menyebabkan kesulitan karena Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu,... (QS. 2:185); Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan (karena) manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. 4:28). Demikianlah Allah menurunkan Al Qur’an untuk memudahkan dan menyelamatkan hidup manusia, karena Dia Maha Tahu tentang kelemahan manusia. Namun, sambung-menyambung atau merantainya permasalahan-kesulitan dengan buah kehinaan dan kebinasaan hidup yang terjadi di negeri ini mendorong untuk bertanya: “inikah yang dinamakan murka dan laknat Allah sedang menimpa suatu kaum?”

Bagi ummat Islam, tidak perlu lari dan mengingkari kenyataan karena memang demikian itulah yang sedang terjadi. Sebaliknya, mengakui kenyataan dan kemudian berupaya sungguh-sungguh melakukan perbaikan, niscaya lebih terpuji di sisi Allah dari pada beranggapan-diri telah baik. Pengakuan dan penyadaran terhadap adanya kemurkaan Allah yang sedang jatuh menimpa, akan memacu jiwa untuk bangkit melakukan perubahan ke arah perbaikan: ...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... (QS. 13:11)

Boleh jadi belum diperolehnya pertolongan dari Allah bagi bangsa Indonesia, disebabkan belum adanya pengakuan-jujur tiap-tiap diri untuk memohon ampun atas kegiatan yang tidak mengikuti arahan petunjuk dari wahyu Al-Qur’an. Secara sikap, boleh jadi bisa dikatakan bahwa justru ummat Islamlah yang menantang arahan-petunjuk yang dibawakan Al-Qur’an. Hal ini terjadi karena nafsu diri lebih suka mengikuti pandangan-pendapat baik dari diri (diri sendiri maupun dari diri orang lain yang telah diliteraturkan).

Lingkungan hunian yang rusak parah adalah bukti bahwa selama ini telah terjadi kesenjangan yang tajam antara masyarakat manusia dengan masyarakat alam lingkungan. Tidak ada jalinan kasih di antara keduanya yang ditentukan oleh manusia bersikap akhlaq santun. Alam lingkungan tidak lagi bersahabat terhadap manusia. Tidakkah disadari manusia bahwa: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. 42:30). Dan: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. 30:41) .

Khalifah: kepribadian yang ridha terhadap Allah

Dengan kedua pernyataan Allah tersebut, sempurnalah manusia menjadi terdakwa dalam tuntutan majelis hakim masyarakat alam lingkungan. Selama ini manusia tidak pernah menyadari bahwa alam lingkungan merupakan bagian dari masyarakat mempunyai hak yang sama melangsungkan kehidupan dalam tatanan santun-berkesetimbangan. Dengan tidak adanya kesadaran ke arah demikian timbul sikap kesewenangan dari manusia dengan cara menekan-paksa kehidupan alam lingkungan agar memberikan buah keuntungan dalam waktu singkat dengan hasil cepat-berlipat. Inilah bukti mahkota kekholifahan manusia telah tercampakkan oleh prilaku sifat tamak-serakah. Padahal mulianya kedudukan seorang kholifah tidak lain dikarenakan singgasana yang didudukinya adalah singgasana perasaan-hati dihiasi kepemurahan yang didorong rasa kasih-sayang, baik terhadap sesama masyarakat manusia maupun masyarakat alam lingkungan.

Diakui atau tidak diakui lama sudah kehidupan di alam semesta kehilangan kholifah, meskipun di mana-mana bermunculan para pemimpin baru, tetapi tidak dapat membawa dirinya pada jabatan atau peran kekholifahan. Dalam hal ini tidaklah sama pengertian jabatan pemimpin dengan jabatan kholifah. Kepemimpinan kholifah meliputi masyarakat manusia dan masyarakat alam lingkungan. Berarti pengayomannya tidak saja terarah pada sekelompok masyarakat manusia, tetapi adil merata mencakup kelompok masyarakat alam lingkungan. Bukti pengayoman itu adalah tidak ada kesenjangan antara masyarakat manusia dengan masyarakat alam lingkungan; masyarakat alam lingkungan tetap menaruh rasa persahabatan yang tinggi terhadap masyarakat manusia.

Siapakah yang dapat meraih tataran khalifah itu? Adalah mereka yang dapat meraih kembali kefithrahannya, karena fithrah manusia adalah khalifah di atas bumi yang diciptakan Allah. Dengan kata lain, hanya mereka yang ridha terhadap ketetapan Allah tersebut sajalah, yang dapat mengadakan perbaikan di negeri ini. Keridhaan mereka dengan sendirinya meluruskan perbuatan mereka kepada Allah. Pasti, pada gilirannya, keridhahan para hamba Allah itu memancing ridha dan rahmat pertolongan Allah atas mereka. Maka bagi mereka yang telah berkesadaran, pengorbanan segala kepentingan nafsu diri tak menjadi soal, asalkan kaumnya dapat terselamatkan. Mereka ridha keiinginan nafsunya dijungkir-balikkan mengikuti ketauladanan para nabi. Singkatnya, mereka rela nafsu dirinya dididik Allah dengan mendudukan para nabi sebagai idola. Dengan kepemimpinan para hamba Allah sejati, Indonesia pasti dapat menembus kegelapan malam kehidupannya. Indonesia israa’, menyongsong benderang cahaya Allah!

...menunggu gambar...Dikembangkan oleh Taufik Thoyib dari sebahagian isi buku tulisan Ki Moenadi MS, ”Kesadaran Bangkit Bersatu Membangun-Rentang Hunian Hidup Berazaskan Tali-Kasih”, terbitan Yayasan Badiyo, 1421H.

4 komentar:

  1. Tahun ke-7 bisajadi merupakan awal antiklimaks-kerobohan bangunan penguasa yang bergelar munafiq-musyrik.

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikm wr wb.,
    Yang pasti adalah petunjuk Allah bahwa: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap." Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS 17:81). Pertanyaannya: telah pantaskah upaya yang kita lakukan sehingga Allah menurunkan pertolongan rahmat berupa tegaknya (datangnya) Kebenaran-Nya? Dengan kata lain, bisakah kita istiqomah dengan penuh kesungguhan membuang segala kebathilan (ketercelaan) dari diri kita?
    Taufik Thoyib

    BalasHapus
  3. bagaimana caranya kami mendapatkan buku2 yang diterbikan oleh badiyo?

    BalasHapus
  4. Ass.wr.wb.,
    Kami sedang memperbaharui daftar harga dan stok, bila telah selesai akan kami kirimkan daftar buku dan harganya kepada ibu. Untuk itu kami mohon akun ibu. Pemesanan bisa dilangsungkan per e-mail, pembayaran dan pengiriman pos. Terimakasih

    BalasHapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.