
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan idzin Robb mereka, (yaitu) menuju jalan Robb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS.14:1)
Kepribadian Luhur Bangsa-Negeri Indonesia
enarkah bangsa ini telah mensyukuri keberadaan petunjuk Allah, yaitu Al Qur’an? Kenyataannya justru sebaliknya. Penggeseran terhadap nilai kepribadian Qur’ani tidak saja berlangsung pada masyarakat Islam, tetapi juga dalam kehidupan negeri-bangsa termasuk Indonesia, dengan begitu mudahnya menggeser-tukar nilai budaya luhur kepribadian bangsa dengan pola-tradisi yang dikembangkan tidak islami. Sebagai salah satu bukti, kepribadian bangsa yang telah bergeser adalah “nilai kemanusiaan yang adil dan beradab” ditukar-geser dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal jika direnung jauh, muatan yang terdapat dalam HAM berisi kejahatan tingkat tinggi dengan sasaran utama pembunuhan terhadap kepribadian Qur’ani, baik yang melekat pada masyarakat manusianya maupun masyarakat negeri-bangsanya. Mengapa? Karena yang dihembuskan hanyalah kebebasan liar. Itu bertolak belakang dengan “nilai kemanusiaan yang adil dan beradab” yang menyiratkan suatu keterikatan-penuh pada akhlaq indah terpuji atau budi-pekerti yang luhur.
Nilai-nilai demikian inilah yang kini pupus dari kehidupan berbangsa. Apa yang terjadi di negeri-bangsa Indonesia akibat kehilangan mahkota kepribadian luhur-islami? Bencana-kesulitan secara berantai datang menimpa! Hal ini tidak juga disadari oleh masyarakat bangsa, khususnya para pelaku-pengendali roda pemerintahan. Bahkan lebih naif lagi para pelaku pemerintahan tidak segan-segan lagi menjual harga diri bangsa demi keuntungan (diri pribadi) yang hanya diiming-imingkan oleh fihak luar.
Masyarakat-bangsa khususnya yang menganggap dirinya tokoh, tidak menyadari bahwa masing-masing negeri memiliki kepribadian yang berbeda. Itulah sebabnya kepribadian suatu bangsa tidak dapat dikembangkan pada bangsa yang lain. Lebih khusus lagi kepribadian yang melekat pada negeri-bangsa Indonesia adalah kepribadian Qur’ani. Begitulah kodrat negeri ini. Apakah contoh kepribadian qur'ani pada kehidupan berbangsa di Indonesia?
Pada “nilai kesatuan dan persatuan”, terselubung maksud-tujuan agar masyarakat bangsa yang hidup dalam keragaman-majemuk dapat dipersatukan dalam ikatan yang kokoh. Apabila nilai kepribadian bangsa yang demikian indah tersebut digeser-ganti dengan bentuk negara bagian/federal, tunggu dan saksikanlah, cepat atau lambat perjalanan hidup bangsa ini akan semakin terpuruk di jurang kesulitan. Mengapa? Masing-masing bagian-daerah lebih menjunjung tinggi kesukuannya dari pada jiwa kebangsaannya. Sejarah telah membuktikan salah satu keberhasilan penjajah menguasai negeri-bangsa ini adalah karena fanatisme kesukuan. Bagaimana Al Qur'an menetapkan pengelolaan kemajemukan ini?
Seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia sebenarnya telah diwarnai oleh nilai-nilai keilmuan Qur’ani yang luhur. Bahkan kehidupan alamnya pun tuangan-aplikasi dari Al-Qur’an. Hanya saja karena Al-Qur’an telah diabaikan oleh masyarakat Islam khususnya di Indonesia, maka dengan mudahnya nilai-nilai Al-Qur’an baik yang ada pada masyarakat manusianya maupun masyarakat-bangsanya digeser dan akhirnya digusur.
Sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk menyikapi Al-Qur’an, karena selaku suri-tauladan penyikap-laksanaan terhadap wahyu Al-Qur’an, telah diutus hamba kecintaan-Nya Nabi Muhammad s.a.w. Lengkaplah Allah dalam mewujudkan rasa kasih-sayang-Nya terhadap manusia, dengan cara memberi kemudahan bagi manusia menumbuh-kembangkan kepribadian Qur’ani. Keberadaan Al-Qur’an maupun Rasulullah Muhammad s.a.w. di tengah-tengah kehidupan manusia dan semesta tidak lain sebagai contoh-tauladan yang sempurna sebagaimana diisyarat-tegaskan pada firman-Nya QS.33:21.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari qiyamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.33:21)
Rasulullah Muhammad s.a.w. menghimbau-ajak ummat keluar dari segala bentuk kegelap-bodohan berfikir atau tampil dengan berkepribadian Qur’ani. Dari gelap terbitlah terang, dari pola-tradisi jahiliyah yang serba terbelenggu kegelap-bodohan berfikir, beralih menuju hidup berkepastian berfikir. Itulah yang tampaknya menjadi tujuan utama Allah menurunkan Al-Qur’an serta mengutus Rasul-Nya Nabi Muhammad s.a.w. ke seluruh ummat manusia bahkan semesta, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya QS.14:1 yang tersaji di atas. Maka, atas kesediaan Rasulullah Muhammad s.a.w. ditampilkan selaku panutan ummat dan semesta dengan berbagai rangkaian derita pengorbanan, tiada kata yang patut dan dapat diungkapkan dari kedalaman lubuk-hati sekaligus sebagai tanda ungkapan penghargaan atas jasa besar beliau yang telah mengeluar-entaskan hidup dan kehidupan manusia dari belenggu kejahilan selain ungkapan-kata: “Salam-shalawat kami haturkan kepada Nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad s.a.w. kekasih Allah”.
Meskipun berjarak-jauh dari zaman kerasulan Nabi Muhammad s.a.w., namun ketauladanan beliau tidak pernah tenggelam ditelan masa, justru tampak semakin berakar dan berkekekalan. Sekalipun orang-orang kafir membencinya, bahkan selalu berupaya memadamkan ketauladanan cahaya kebenaran yang ditampilkan Allah pada pribadi Nabi Muhammad s.a.w., namun hal itu tidak akan pernah terjadi. Salah satunya yang senantiasa diperjuangkan Rasulullah Muhammad s.a.w. ialah mengajak ummat manusia tampil di tengah-tengah kehidupan semesta selaku makhluq “berbudi-budaya” yang luhur. Dalam hal ini budaya dan budi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya terangkai-ikat dalam wadah kepribadian. Adapun budi dapat dikatakan sebagai alat pengikat-kendali pertumbuhan suatu budaya. Budaya yang tidak diikat-kendali oleh budi akan melahirkan budaya biadab, lepas dari segala nilai-nilai kemanusiaan; sifatnya cenderung merusak-hancurkan tatanan kehidupan bersemesta.
Budaya yang lepas dari kendali budi tidak akan pernah melahirkan keilmuan pasti, yang ada hanyalah pengetahuan yang belum tentu bernilai kepastian. Dalam hal ini budi terlahir dari akhlaq-pekerti yang indah-terpuji, kemudian berkembang menjadi budaya berkepribadian, baik dalam pengertian budaya masyarakat maupun budaya bangsa. Budaya yang tumbuh-berakar dari budi akan membentuk kepribadian bangsa yang luhur. Apabila arah perjalanan hidup bangsa tetap lurus di atas nilai kepribadiannya, tidak mustahil negeri-bangsa Indonesia ini akan menjadi negeri yang besar dalam arti berkemakmuran. Kehidupan masyarakatnya rukun-damai-bersahaja karena terikat oleh tali kesatuan yang bernilai tauhid. Hanya pribadi yang mengenal dengan pasti kepribadian bangsanya yang bernilai Qur’anilah, yang dapat mengeluarkan kehidupan bangsa ini dari jerat-kesulitan. Selanjutnya pribadi itu baru dapat membawa-hantarkan hidup dan kehidupan masyarakat-bangsanya meraih kemakmuran hidup yang bersahaja.
Bagian ini merupakan bagian ke-3 sekaligus menutup penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari Muqaddimah buku “Ukuran (Pasti) Kepribadian Manusia” (1422H) buah pena Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin. Untuk sajian lengkap ketiganya, lihat dan/atau unduh e-book "Akhlaq Pribadi Terdidik Ilaahi Rabbi: Kajian Pengantar Ukuran (Pasti) Kepribadian Manusia" – Admin.
Rabu, 05 Mei 2010
Kepribadian Luhur Bangsa-Negeri Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.