Menyambut-syukuri Tahun Baru Hijriyah 1432H, kami menyajikan lanjutan dari bahan renungan sebelum ini. Siapakah yang mengadakan pembaharuan? Bagaimana semestinya muslim menanggapinya?

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 2:29)
iapakah penentu pembaharuan? Tentu, sejatinya adalah manusia. Pembaharuan dinyatakan berlangsung secara paksa, apabila terlebih dahulu diawali oleh bencana kehancuran yang dilangsungkan alam semesta. Secara fithrah alam semesta tidak akan melakukan penghancuran, karena keberadaannya telah diamanatkan sepenuhnya kepada manusia (QS.2:29). Jika kenyataan secara mata kepala tampak alam semesta justru melakukan penghancuran terhadap kehidupan manusia, hal demikian itu bukan berarti alam semesta berbuat-bertindak semena-mena. Tetapi itulah sikap teguran halus yang dilangsungkan alam semesta terhadap manusia yang telah berbuat-bertindak semena-mena terhadap alam semesta. Bidikan-sasaran pertama penghancuran oleh alam semesta adalah azas-pondasi pola-idea keilmuan yang melahirkan kegiatan-perbuatan mengusik-rusak kelangsungan-kesetimbangan hidup alam semesta. Cara alam semesta menegur manusia sangat halus, bukan manusianya yang langsung dihancurkan, tetapi yang mula pertama diserang adalah pola-idea keilmuannya; manusia akan menjumpai mata-rantai kesulitan dan kegagalan.
Apabila isyarat-tegas tersebut belum juga diperhatikan manusia untuk melakukan pembaharuan pola-idea keilmuan, maka bidikan-sasaran penghancuran dilangsungkan oleh alam semesta kepada para pelakunya, yaitu manusia, dengan cara berantai menimpakan bencana. Apakah berarti seluruh manusia akan ditumpas? Tentu tidak! Tetapi, selamatkah kita? Secara tidak langsung, dzat ketenagaan hidup semesta tampil ke depan memimpin-melangsungkan pembaharuan. Gerak-kegiatannya model cara paksa terhadap pola-idea keilmuan, peradaban dan manusianya (yang telah mengusik-rusak kelangsungan-kesetimbangan hidup alam semesta) pasti disingkirkan dari tengah-tengah kehidupan alam semesta. Pembaharuan berlangsung secara paksa, bukan berarti seluruh manusia dihancur-musnahkan, melainkan tersisihkan sebagian kecil mereka yang beriman murni sejati. Dzat ketenagaan hidup mereka menjadi sandaran dan harapan bagi kelangsungan hidup makhluq alam semesta. Sebaliknya pembaharuan berlangsung secara tidak dipaksakan, apabila dari manusia itu sendiri muncul kesadaran untuk membawa kehidupan berkesemestaan pada jenjang kemuliaan-kesempurnaan, dengan mewujudkan perbuatan-kegiatan melalui keilmuan yang langsung Allah ilhamkan ke dalam perasaan-hati manusia. Adapun maksud Allah menetapkan pembaharuan atas fithrah kehidupan khususnya fithrah kehidupan manusia, tidak lain dalam rangka menghantar-pertahankan kesatuan rajutan kehidupan berkesemestaan di bawah kekholifahan manusia pada jenjang kemuliaan-kesempurnaan dengan perwujudan-nyata jalinan kehidupan santun-berkesetimbangan. Ke arah kemuliaan-kesempurnaan itulah tujuan berproses tumbuh-berkembang dzat ketenagaan hidup makhluq.
Pada saat proses penciptaan makhluq, serpihan-serpihan nilai-nilai sifat kemuliaan-kesempurnaan Allah, disandang-letakkan-Nya pada gerak sifat-perilaku perasaan-hati (dzat ketenagaan hidup makhluq untuk dijadikan sebagai bakat-potensi ketenagaan makhluq). Artinya serpihan-serpihan kemuliaan-kesempurnaan yang Allah sandang-letakkan pada gerak sifat-perilaku perasaan-hati menjadi jalan tempat menumbuh-kembangkan bakat-potensi kemuliaan-kesempurnaan makhluq. Apabila serpihan bakat-potensi kemuliaan-kesempurnaan dapat tumbuh-berkembang baik, khususnya pada dzat ketenagaan hidup manusia (gerak sifat-perilaku perasaan-hati), maka itulah yang menjadi wadah tempat Allah menaruh-teteskan cinta dan bemain cinta dengan makhluq ciptaan. Sebelumnya mesti terbukti terlebih dahulu bahwa kemuliaan-kesempurnaan tampil selaku pemimpin gerak sifat-perilaku perasaan-hati, kemudian membentuk pula pada gerak sifat-perilaku nafsu. Nyatalah sudah Allah mencipta manusia bukan bermaksud untuk disia-siakan dan disiksa, melainkan dimuliakan, disempurnakan, dan dicintai-Nya. Hal demikian itu merupakan bentukan perwujudan nyata dari sikap Allah yang penuh kasih-sayang terhadap makhluq ciptaan khususnya manusia. Tertutupilah kehinaan makhluq berkat sikap Allah meletak-sandangkan serpihan sifat kemuliaan-kesempurnaan-Nya. Satu-satunya makhluq ciptaan yang tidak mau ditutupi kehinaannya bahkan kehinaan itu dijadikannya sebagai sandangan kesombongan adalah iblis. Iblis sangat tidak suka bila kesempurnaan-kemuliaan Allah disandangkan-Nya pada alam semesta, khususnya manusia. Maka segala upaya dilakukan iblis untuk melepaskan dan mencampakkan kemuliaan-kesempurnaan yang Allah sandangkan.
Untuk mempertahan-lestarikan kemuliaan-kesempurnaan pada kehidupan makhluq (semesta dan manusia) dilangsungkanlah pembaharuan baik secara terpaksa maupun tidak terpaksa. Satu hal yang perlu diketahui: “Pembaharuan merupakan salah-satu agenda-kegiatan hidup berkehidupan yang telah direncana-laksanakan oleh fithrah kehidupan”. Pertanyaan: “Siapakah fithrah kehidupan yang merencana-laksanakan kegiatan pembaharuan?” Tidak lain adalah dzat ketenagaan hidup secara berkesemestaan termasuk dzat ketenagaan hidup manusia. Salah satu hal yang telah ditetapkan Allah atas tujuan gerak perputaran dzat ketenagaan hidup laras-lurus berkesetimbangan, adalah menghasilkan pembaharuan; juga menghasilkan bentukan-bentukan berupa makhluq-makhluq kehidupan. Apabila dzat ketenagaan hidup pada diri manusia tidak atau belum dapat bersatu dengan dzat ketenagaan hidup sesuatu di semesta dalam rangka menyongsong-langsungkan pembaharuan, maka yang mengambil alih gerak perputaran menyongsong-langsungkan pembaharuan adalah dzat ketenagaan hidup sesuatu di semesta. Gerak perputaran itu berada di bawah aba-aba sekelompok dzat ketenagaan hidup manusia yang bebas dari jajahan nafsu. Siapakah sekelompok dzat ketenagaan hidup manusia yang bebas dari jajahan nafsu? Itulah dzat ketenagaan hidup orang-orang mu’min sejati baik yang telah berpisah maupun yang masih menyatu dengan jasadiyah. Di samping itu, ada pula dzat ketenagaan hidup pada diri manusia ialah ruh, rasa, hati dan ‘aqal sedang berada dalam jajahan nafsu. Dengan bergeraknya dzat ketenagaan hidup sesuatu di semesta di bawah aba-aba dzat ketenagaan hidup orang-orang mu’min sejati untuk menyongsong-langsungkan pembaharuan baik terpaksa maupun suka-rela atau tidak terpaksa, maka manusia-manusia yang mempertahankan kehidupannya dengan segala kekuatan dan kekuasaan pasti akan musnah diputar oleh gerak perputaran dzat ketenagaan hidup. Proses demikian itulah yang dinamakan musibah kehancuran bagi orang-orang zhalim. Bukankah di dalam wahyu, Allah menyatakan: “Musibah menimpa dan terjadi karena perbuatan manusia itu sendiri?” Artinya apa-apa yang diperbuat manusia akan kembali secara utuh kepada dirinya sendiri tanpa kurang sedikit pun.
Dikutip dengan beberapa pengubahan redaksional oleh Taufik Thoyib dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul ”Menghimbau-Bangkit Kesadaran”, yang merupakan bagian pertama dari buku "Pemuda Pembangkit Pembaharuan...", terbitan Yayasan Badiyo, Malang, 1421H.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.