Korupsi bukan hanya merajalela, tetapi sudah mulai menjadi mentalitas bangsa! Akan tinggal diamkah ummat Islam? Kebangkitan yang diidam-idamkan ummat Islam, mustahil bersandar pada keunggulan peradaban Yhd yang pasti penuh kepalsuan. Yhd menolak kegaiban, dan terlnaknat sepanjang masa, bahkan dimurkai (al maghdhuub). Satu-satunya jalan ialah Al Qur'an. Sayangnya, Al Qur'an hanya dijadikan bacaan-indah, terutama di Bulan Ramadhaan. Bukan digali-kaji dan diterapkan kandungan nilai-nilai keilmuannya untuk mengawali dan meyelenggarakan perbaikan mendasar!
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS 25:30).
Membaca Al Qur’an: Menggali Nilai-Nilai Keilmuannya untuk Kebangkitan Ummat?

ejarah telah membuktikan, bahwa setiap Allah mengutus seorang rasul di tengah-tengah kegelapan dan kebodohan hidup, pasti kebangkitanlah yang ditawarkan, dan kebangkitan itu mutlaq harus terjadi. Dalam hal ini, tidak satupun yang dapat menghalangi munculnya suatu kebangkitan. SETIAP MUNCUL PERLAWANAN UNTUK MENGHALANGI MUNCULNYA KEBANGKITAN, PASTI KEHANCURAN MENDASAR TERJADI, barulah kemudian muncul kebangkitan.
Perlu diingat, bahwa setiap kehancuran hampir mencapai melanda kehidupan bersemesta, sebelumnya Allah datangkan para rasul terlebih dahulu untuk menyelamatkan orang-orang yang Allah kehendaki dari kehancuran. Yaitu, orang-orang yang hak-hak kehidupannya tertindas namun hati mereka tetap teguh dengan Allah. Itulah orang-orang yang akan diselamatkan oleh rasul yang telah Allah utus, yang kemudian mereka pulalah yang akan tampil sebagai pengganti kaum yang telah Allah hancurkan. Dalam hal ini kebangkitan memang menjadi satu-satunya harapan ketika kehancuran telah dekat masanya, khususnya harapan bagi makhluq-makhluq bukan hanya manusia, melainkan juga sebagian besar makhluq semesta yang hak-haknya sudah sangat lama tertindas. Untuk itu sangat disayangkan sekali, rahasia kebangkitan yang sebenarnya ada ditangan ummat Islam nyaris tidak diketahui dengan jelas dan tidak pula dapat diwujudkan dalam kehidupan ini. Akhirnya ummat Islam hanya berulang terbuai oleh perubahan-perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Yhd+Nsr. Boleh jadi menurut pandangan mereka, perubahan-perubahan yang sedang diupayakan adalah dalam rangka menuju kebangkitan hidup. Tidak disadarinya, jika perubahan yang diupayakan oleh Yhd+Nsr adalah dalam rangka menuju kehancuran hidup bersemesta.
Sudah demikian jauh nurani manusia menuntut adanya suatu kebangkitan dan perubahan dalam kehidupan. Tetapi belum juga muncul kesadaran untuk kembali kepada Al Qur’an, khususnya di kalangan ummat Islam. 
Inilah bukti bahwa ummat Islam sudah semakin jauh dari Al Qur’an. Meskipun Al Qur’an masih sempat terbaca, tetapi membaca bukan dalam artian menggali keilmuannya. Al Qur’an dibaca sebagai bacaan yang dicetak, atau unsur tulis penanda bunyi bertanda baca yang membentuk kalimat. Dan hanya kalimat-kalimat itulah yang dibaca --dengan pengeras suara dan bahkan dilombakan-- tanpa sedikitpun tertimba keilmuannya. Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS 25:30). Memang tidak mudah menanamkan keyaqinan ke dalam hati sekian banyak muslim, bahwa kebangkitan dan perubahan itu hanya ada di tangan ummat Islam. Mereka yang tidak sadar itu telah termabuki oleh perubahan yang dilakukan orang-orang Yhd+Nsr. Sehingga dalam pandangan muslim yang tidak sadar, untuk mengadakan gerakan menuju kebangkitan dan perubahan, ilmunya hanya dapat dikaji dan dipelajari dari mereka.
Kesimpulannya, meskipun tampaknya orang-orang kafir (Yhd+Nsr) berupaya maksimal bangkit meraih kesempurnaan hidup, namun haqiqinya upaya yang dilakukan itu tidak lebih dari pada sekedar jebakan kehancuran. Untuk itulah, suatu perjuangan besar yang sebenarnya harus dilakukan ummat Islam jika benar-benar hendak mewujudkan munculnya kebangkitan di tanah air ini. Sedangkan perjuangan pertama yang harus dilakukan ialah memberikan kesadaran dalam berfikir ummat Islam, bahwa kebangkitan itu hanya akan terjadi dan terlaksana jika ummat Islam mau melepaskan dirinya dari pola kehidupan orang-orang kafir (Yhd+Nsr). Kebangkitan itu berada di tangan ummat Islam yang mau kembali secara utuh kepada Al-Qur’an --bukan di tangan orang-orang kafir (Yhd+Nsr), sebagaimana anggapan yang melekat pada diri ummat Islam saat ini. Dalam hal ini, sudah terlalu lama Al-Qur’an ditinggalkan oleh ummat Islam. Padahal satu-satunya modal kebangkitan adalah kembali kepada Al-Qur’an secara utuh.
Al-Qur’an bukanlah sekedar dibaca dengan memperindah nada-lagu bacaannya, melainkan untuk digali dan ditimba isinya! Itulah sebenar-benarnya modal kebangkitan. Jika kesadaran itu telah tumbuh dalam masing-masing pribadi ummat Islam, maka akan sangat mudah untuk mewujudkan kebangkitan. Sulitnya kebangkitan diwujudkan, karena tidak adanya kesadaran pada masing- masing pribadi ummat Islam. Padahal masa kehancuran itu benar-benar sudah berada di depan mata ummat Islam. Dalam hal ini tinggal menanti, adakah ummat Islam yang akan tampil menyambut kehancuran dalam arti siap mengadakan kebangkitan dan pembaharuan secara menyeluruh? Jika ada sekelompok ummat Islam yang sudah siap tampil menyambut kehancuran, maka kehancuran itu akan terjadi. Tetapi disayangkan, ummat Islam belum juga menyadarinya, bahkan masih juga terbuai oleh perubahan-perubahan yang sedang diupayakan oleh orang-orang kafir (Yhd+Nsr).
Dalam hal ini, antara kehancuran dan kebangkitan letaknya sangat berdekatan sekali namun keduanya memiliki tabir pemisah yang sangat tebal. Meskipun letaknya sangat berdekatan tidak pernah saling bertemu. Dalam hal ini yang muncul pasti salah satunya, di saat kehancuran terjadi seketika muncul kebangkitan. Begitu pula sebaliknya, ketika kebangkitan mendesak untuk muncul, turun kehancuran. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh ummat Islam ialah PERJUANGAN UNTUK MEMBANGKITKAN KESADARAN UMMAT ISLAM TIDAK AKAN PERNAH TERJADI, JIKA PERJUANGAN TERSEBUT DILAKUKAN TIDAK DENGAN AL-QUR’AN. Yang dimaksud perjuangan dengan Al-Qur’an adalah perjuangan untuk menggali kembali isi Al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan pada firman, yang artinya: “...dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur'an dengan jihad yang besar” (QS. 25:52). Pada ayat tersebut dinyatakan perjuangan atau jihad yang dilakukan adalah perjuangan atau jihad yang besar, berarti bukan perjuangan atau jihad sambil lalu atau setengah-setengah. Sekali kaki dilangkahkan ke arena perjuangan, tinggal pilih satu antara dua: maju terus sampai kemenangan diraih, atau mati di saat memperjuangkan. Dalam hal ini, tidak ada lagi istilah berfikir-fikir ulang untuk mundur melangkah karena cemas, takut, khawatir. Kapan tersirat hasrat untuk mundur melangkah, berarti mengundang hadirnya kehancuran menimpa diri. Pertanyaannya, mengapa perjuangan atau jihad membangkitkan kesadaran ummat Islam diperlukan dengan Al-Qur’an? Karena ummat Islam itu sendiri sudah terlalu lama meninggalkan Al-Qur’an. Maka mereka yang sudah terlalu lama pergi meninggalkan Al-Qur’an mesti diseru terlebih dahulu untuk kembali kepada Al-Qur’an.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 7/12/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan. Bagian pertamanya adalah Nurani Manusia Menuntut Kebangkitan untuk Meraih Puncak Kesempurnaan Hidup) -Admin
Kamis, 02 Agustus 2012
Membaca Al Qur’an: Menggali Nilai-Nilai Keilmuannya untuk Kebangkitan Ummat?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.