Apakah ciri ke-Fir'aun-an? Penindasan kaum lemah untuk menumpuk kekuasaan mutlak lewat jalur pengetahuan, kekuatan politik, dan harta. Fir'aun didukung penuh oleh para tukang sihir dengan ilmu dan pengetahuannya, pasukan Hamam, dan Qarun pengumpul harta. Para tukang sihir menipu-daya, kekuatan politik menteror, dan harta menguasasi penghidupan (termasuk membeli simpati-suara rakyat). Apa yang dijelaskan Al Qu'an bukanlah (hanya) sejarah, tetapi juga amtsal untuk diambil hikmah pelajarannya sampai akhir zaman. Pelajaran dari kehidupan Fir'aun dan kaumnya antara lain ialah bahwa fithrah manusia tak sesuai
dengan pola hidup gemerlap-mewah atau glamur. Mengapa kita tak mau mengambilnya sebagai pelajaran? Tak perlukah Al Qur'an disyukuri sebagai petunjuk? Jika ya, mengapa keadaan tak dapat diubah ummat muslim di negeri ini? Meski kenyataannya demikian, pasti ummat muslim menolak jika dikatakan telah melecehkan Al Qur'an!
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS 25:30).
Fithrah Manusia tidak Hidup Gemerlap-Mewah sebagaimana Fir’aun dan Kaumnya

mmat Islamlah yang dapat memperbaharui secara mendasar kehidupan global yang penuh ketimpangan –bahkan kehidupan bersemesta. Arah yang dituju bukan hidup materialistik bergelimang kegemerapan dan kemewahan. Tapi hidup dengan kesederhanaan nan bersahaja. Fithrah manusia bukanlah makhluk materialistik (saja). Tetapi juga makhluk ruhaniyah. Mengapa manusia terjebak materialisme fir’auniah yang ditawarkan Yhd? Mengapa ummat Islam menyandarkan kebangkitan pada Yhd yang telah dilaknat Allah?
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS 3:110).
Hakikatnya, kebangkitan ummat atau kebangkitan bersemesta ada di tangan ummat Islam yang beriman sejati. Demikianlah Allah menetapkan pada ketetapan yang tidak dapat diubah-ubah bahwa orang-orang beriman adalah sebaik-baik ummat. Meskipun dunia menganggap bahwa kebangkitan dimulai dari Barat --bahkan dianggap telah berhasil-- tapi itu tidak lebih dari anggapan yang nisbi. Selama di muka bumi ini belum muncul ummat Islam yang beriman sejati, selama itu pula kebangkitan tidak akan pernah terjadi. Meskipun kegemerlap-mewahan tampak menghiasi kehidupan, namun haqiqinya itu bukan bukti kebangkitan, tetapi lebih tepat bila dikatakan itulah pertanda sedang berlangsungnya kebodohan yang mengundang kehancuran.
Kemewah-gemerlapan yang ada saat ini di tengah-tengah kehidupan ummat manusia, muncul dengan terpaksa karena ulah rekayasa khayalan. Buktinya, pada akhirnya selalu menjadi puing-puing kehancuran. Padahal sudah menjadi sunatullah, apabila sesuatu dimunculkan dengan paksa dan direkayasa melalui khayalan, pasti muncul cuatan pemberontakan. Itulah langkah awal datangnya kehancuran. Boleh saja kegemerlapan dan kemewahan dipandang sebagai bukti kebangkitan, jika itu berasal dari tangan ummat Islam yang beriman sejati. Contohnya adalah peradaban yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s., yang hingga saat ini belum ada yang dapat menandingi. Bila tidak, pasti sifat gemerlap dan mewah itu hanya palsu dan menipu.
Sifat gemerlap dan mewah yang hanya palsu-menipu adalah yang ada pada Fir’aun. Pada akhirnya, kegemerlap-mewahan itu hanya menghantarkan Fir’aun beserta pasukannya menuju kehancuran hidup. Dengan kata lain, kegemerlapan dan kemewahan justru menenggelamkan hidupnya. Yang ada pada Nabi Sulaiman a.s. justru menjadikan seluruh semesta bertekuk lutut di bawah kekuasaannya. Buktinya, Ratu Balqis bertekuk-lutut. Begitu pula para jin dan makhluq alam lainnya seperti semut. Berarti kegemerlap-mewahan yang ada pada Nabi Sulaiman a.s. justru membawa dirinya pada puncak kekholifahan. Begitlah, bukan berarti Islam tidak memperbolehkan ummatnya hidup dengan kegemerlapan dan kemewahan, tetapi yang sesuai dengan fithrah manusia dan fithrah semesta sebenarnya adalah kemakmuran dalam kersahajaan. Buktinya, dari dua puluh lima nabi pembawa syariah, hanya Nabi Sulaiman a.s.-lah yang hidup dalam gelimang kegemerlapan dan kemewahan. Itu pun oleh Nabi Sulaiman a.s. dinyatakan bahwa kegemerlapan dan kemewahan yang ada pada dirinya tidak lebih dari pada sekedar ujian bagi dirinya. Apakah semakin bertambah bersyukur atau sebaliknya malah menjadi kufur? Kesimpulannya, tidak mudah manusia menjaga amanah hidup gemerlap-mewah. Manusia lebih mudah hidup selaras fithrahnya, yaitu hidup dalam kesederhanaan yang bersahaja. Yang pernah berhasil meraih puncak kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja ialah Muhammad Rasulullah s.a.w.
Keberhasilan yang telah diraih oleh Muhammad Rasulullah s.a.w. ditandai dengan munculnya kebangkitan di seluruh aspek kehidupan yang sifatnya bersemesta. Kebangkitan tidak saja dirasakan manusia, tetapi oleh seluruh isi semesta. Intelektualitas dan dan spiritualitas berhasil pula mencapai puncak keseimbangan dan kesejajarannya. Pada jaman sebelumnya, kebangkitan juga muncul --bagi setiap nabi pasti datang membawakan kebangkitan pada ummatnya-- tetapi sifat kebangkitan itu berbeda-beda. Ada kebangkitan yang bersifat spiritual saja dan ada pula yang hanya bersifat intelektual saja, bahkan yang bersifat kemakmuran saja juga ada. Yang pernah memunculkan kebangkitan bersifat menyeluruh hanya Muhammad Rasulullah s.a.w. Itulah puncak kejayaan Islam.
Keadaan demikian hanya beberapa abad saja, lalu perlahan-lahan hilang dan tenggelam --laksana mentari yang mencapai titik kulminasi, kemudian hilang dan tenggelam di ufuk Barat. Itu menggambarkan kehidupan ummat Islam di abad sekarang yang hilang dan tenggelam karena hanyut ditelan pola kehidupan Yahudi. Secara fisik ummat Islam memang tidak tampak demikian, bahkan sebagian ummat Islam di bumi persada tanah air Indonesia ini tampak sedang hidup gemerlapan dan mewah. Sebagian ummat Islam tak menyadari jika yang menjadi sandaran, adalah jenis kegemerlapan dan kemewahan Fir’aun --yang hanya akan menghantarkan kehidupan mereka masuk ke dalam belanga kehancuran.
Yang perlu diingat dan disadari ialah bahwa secara isi, konsep, maupun idea, ummat Islam di abad sekarang ini --khususnya di bumi persada tanah air ini-- nyata-nyata telah hilang dan tenggelam di dalam gelombang pola kehidupan Yhd. Persis yang terjadi pada kaum Fir’aun. Meskipun kegemerlapan dan kemewahan tampak secara mata kepala telah berhasil diraih Fir’aun dan pengikutnya, itu bukanlah kejayaan abadi yang tidak dapat tergoyahkan. Itu haqiqinya justru kehancuran, sebagai balasan dari keberhasilan meraih kegemerlapan dan kemewahan hidup rekayasa hasil merampas hak kaum lemah. Kehancuran itu telah dekat. Fir’aun Indonesia dan pengikutnya sama sekali tidak menyadari, jika dirinya sedang digiring masuk dalam perangkap jebakan. Hal itu sama dengan Fir’aun di zaman Nabi Musa a.s.
Perhatikanlah penjelasan Allah dalam Al Qur’an, bagaimana cara Nabi Musa a.s. menggiring Fir’aun masuk dalam perangkap jebakan. Musa memancing Fir’aun untuk mengejarnya ke tengah lautan. Dalam anggapan Fir’aun, Musa-lah yang berhasil digiringnya masuk dalam perangkap jebakan. Tak sedikitpun terfikirkan oleh Fir’aun bahwa Allah berkuasa terhadap apa saja. Lautan yang semula dipandang Fir’aun sebagai alat pengepung untuk menghancurkan Musa, malah mengepung dan sekaligus mengakhiri kehidupan Fir’aun dan para pengikutnya. Akan kita saksikan, apa yang terjadi di tanah air ini. Wujud perangkap jebakan untuk Fir’aun dan para pengikutnya, bisa saja berupa lautan harta yang dikuras dari hak-hak milik rakyat lemah tak berdaya. Di dalam lautan harta itulah Fir’aun dan para pengikutnya terjebak dan berakhir hidupnya. Jika itu yang terjadi, maka berakhir pula pola kehidupan gemerlap dan mewah di tanah air ini. Yang akan tampil adalah pola kehidupan makmur dalam kesederhanaan namun utuh dalam kesahajaan. Itulah fithrah kehidupan bumi persada tanah air ini.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/12/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan. -Admin
Minggu, 05 Agustus 2012
Fithrah Manusia tidak Hidup Gemerlap-Mewah sebagaimana Fir’aun dan Kaumnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
saya seorang guru yang berada di persimpangan berfikir. saya tahu saya mengajarkan sesuatu yang jauh dari nilai Islam. namun sementara ini yang saya fikir adalah ini jalan rejeki saya, jalan dimana saya insyaallah bisa berbagi.apa yang harus saya lakukan sementara diri saya sendiripun dalam perjalanan berproses yang kadang mundur pula.bahkan juga tidak menutup kemungkinan belum pernah maju
BalasHapusAsswrwb,.
BalasHapusJazaakumullah tanggapan bapak/ibu. Untuk mengajarkan yg Haqq, perlu persiapan sangat panjang dan banyak, karena seluruh sistem (keilmuan, pendidikan, dan institusinya) sekarang boleh dikatakan tenggelam dalam lumpur pengaruh buruk Yhd. Yg dapat dikerjakan PERTAMA dan TERUTAMA adalah MEMBINA AKHLAQ anak didik.
Dimulai dari akhlaq kepada Allah swt, kepada ortu, kepada guru, kpd lingkungan (misalnya membuat gerakan kelestarian lingkungan di pelataran sekolah, dll).
Sementara itu bapak/ibu juga intensif membenahi ibadah pribadi dengan murni bersandarkan Al Qur'an dan AlHadits. Awali dari sholat yg baik (jika memungkinkan, sampai dengan tahajud lengkap dan kontinu), kemudian meluas ke amal ibadah lain. Insya Allah, pasti ada celah perbaikan kehidupan yg ditunjukkan Allah kepada bapak/ibu.
Catatan akhir: lebih baik kita selalu berupaya mengadakan perbaikan, dari pada merasa TELAH MAJU/BAIK. Walal akhirotu khoirullaka minal uulaa, yang akhir (mesti) lebih baik daripada yg terdahulu. Yakinlah Allah selalu memperbaiki kita. Selamat berjang tegakkan Kebenaran Islam, merdekakan negeri kita dan generasi mudanya dari cengkeraman kebathilan Yhd.
Taufik Thoyib