Minggu, 05 Agustus 2012

Fithrah Manusia tidak Hidup Gemerlap-Mewah sebagaimana Fir’aun dan Kaumnya


Apakah ciri ke-Fir'aun-an? Penindasan kaum lemah untuk menumpuk kekuasaan mutlak lewat jalur pengetahuan, kekuatan politik, dan harta. Fir'aun didukung penuh oleh para tukang sihir dengan ilmu dan pengetahuannya, pasukan Hamam, dan Qarun pengumpul harta. Para tukang sihir menipu-daya, kekuatan politik menteror, dan harta menguasasi penghidupan (termasuk membeli simpati-suara rakyat). Apa yang dijelaskan Al Qu'an bukanlah (hanya) sejarah, tetapi juga amtsal untuk diambil hikmah pelajarannya sampai akhir zaman. Pelajaran dari kehidupan Fir'aun dan kaumnya antara lain ialah bahwa fithrah manusia tak sesuai dengan pola hidup gemerlap-mewah atau glamur. Mengapa kita tak mau mengambilnya sebagai pelajaran? Tak perlukah Al Qur'an disyukuri sebagai petunjuk? Jika ya, mengapa keadaan tak dapat diubah ummat muslim di negeri ini? Meski kenyataannya demikian, pasti ummat muslim menolak jika dikatakan telah melecehkan Al Qur'an!

Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS 25:30).


Fithrah Manusia tidak Hidup Gemerlap-Mewah sebagaimana Fir’aun dan Kaumnya





mmat Islamlah yang dapat memperbaharui secara mendasar kehidupan global yang penuh ketimpangan –bahkan kehidupan bersemesta. Arah yang dituju bukan hidup materialistik bergelimang kegemerapan dan kemewahan. Tapi hidup dengan kesederhanaan nan bersahaja. Fithrah manusia bukanlah makhluk materialistik (saja). Tetapi juga makhluk ruhaniyah. Mengapa manusia terjebak materialisme fir’auniah yang ditawarkan Yhd? Mengapa ummat Islam menyandarkan kebangkitan pada Yhd yang telah dilaknat Allah?

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS 3:110). Hakikatnya, kebangkitan ummat atau kebangkitan bersemesta ada di tangan ummat Islam yang beriman sejati. Demikianlah Allah menetapkan pada ketetapan yang tidak dapat diubah-ubah bahwa orang-orang beriman adalah sebaik-baik ummat. Meskipun dunia menganggap bahwa kebangkitan dimulai dari Barat --bahkan dianggap telah berhasil-- tapi itu tidak lebih dari anggapan yang nisbi. Selama di muka bumi ini belum muncul ummat Islam yang beriman sejati, selama itu pula kebangkitan tidak akan pernah terjadi. Meskipun kegemerlap-mewahan tampak menghiasi kehidupan, namun haqiqinya itu bukan bukti kebangkitan, tetapi lebih tepat bila dikatakan itulah pertanda sedang berlangsungnya kebodohan yang mengundang kehancuran.

Kemewah-gemerlapan yang ada saat ini di tengah-tengah kehidupan ummat manusia, muncul dengan terpaksa karena ulah rekayasa khayalan. Buktinya, pada akhirnya selalu menjadi puing-puing kehancuran. Padahal sudah menjadi sunatullah, apabila sesuatu dimunculkan dengan paksa dan direkayasa melalui khayalan, pasti muncul cuatan pemberontakan. Itulah langkah awal datangnya kehancuran. Boleh saja kegemerlapan dan kemewahan dipandang sebagai bukti kebangkitan, jika itu berasal dari tangan ummat Islam yang beriman sejati. Contohnya adalah peradaban yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s., yang hingga saat ini belum ada yang dapat menandingi. Bila tidak, pasti sifat gemerlap dan mewah itu hanya palsu dan menipu.

Sifat gemerlap dan mewah yang hanya palsu-menipu adalah yang ada pada Fir’aun. Pada akhirnya, kegemerlap-mewahan itu hanya menghantarkan Fir’aun beserta pasukannya menuju kehancuran hidup. Dengan kata lain, kegemerlapan dan kemewahan justru menenggelamkan hidupnya. Yang ada pada Nabi Sulaiman a.s. justru menjadikan seluruh semesta bertekuk lutut di bawah kekuasaannya. Buktinya, Ratu Balqis bertekuk-lutut. Begitu pula para jin dan makhluq alam lainnya seperti semut. Berarti kegemerlap-mewahan yang ada pada Nabi Sulaiman a.s. justru membawa dirinya pada puncak kekholifahan. Begitlah, bukan berarti Islam tidak memperbolehkan ummatnya hidup dengan kegemerlapan dan kemewahan, tetapi yang sesuai dengan fithrah manusia dan fithrah semesta sebenarnya adalah kemakmuran dalam kersahajaan. Buktinya, dari dua puluh lima nabi pembawa syariah, hanya Nabi Sulaiman a.s.-lah yang hidup dalam gelimang kegemerlapan dan kemewahan. Itu pun oleh Nabi Sulaiman a.s. dinyatakan bahwa kegemerlapan dan kemewahan yang ada pada dirinya tidak lebih dari pada sekedar ujian bagi dirinya. Apakah semakin bertambah bersyukur atau sebaliknya malah menjadi kufur? Kesimpulannya, tidak mudah manusia menjaga amanah hidup gemerlap-mewah. Manusia lebih mudah hidup selaras fithrahnya, yaitu hidup dalam kesederhanaan yang bersahaja. Yang pernah berhasil meraih puncak kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja ialah Muhammad Rasulullah s.a.w.

Keberhasilan yang telah diraih oleh Muhammad Rasulullah s.a.w. ditandai dengan munculnya kebangkitan di seluruh aspek kehidupan yang sifatnya bersemesta. Kebangkitan tidak saja dirasakan manusia, tetapi oleh seluruh isi semesta. Intelektualitas dan dan spiritualitas berhasil pula mencapai puncak keseimbangan dan kesejajarannya. Pada jaman sebelumnya, kebangkitan juga muncul --bagi setiap nabi pasti datang membawakan kebangkitan pada ummatnya-- tetapi sifat kebangkitan itu berbeda-beda. Ada kebangkitan yang bersifat spiritual saja dan ada pula yang hanya bersifat intelektual saja, bahkan yang bersifat kemakmuran saja juga ada. Yang pernah memunculkan kebangkitan bersifat menyeluruh hanya Muhammad Rasulullah s.a.w. Itulah puncak kejayaan Islam.

Keadaan demikian hanya beberapa abad saja, lalu perlahan-lahan hilang dan tenggelam --laksana mentari yang mencapai titik kulminasi, kemudian hilang dan tenggelam di ufuk Barat. Itu menggambarkan kehidupan ummat Islam di abad sekarang yang hilang dan tenggelam karena hanyut ditelan pola kehidupan Yahudi. Secara fisik ummat Islam memang tidak tampak demikian, bahkan sebagian ummat Islam di bumi persada tanah air Indonesia ini tampak sedang hidup gemerlapan dan mewah. Sebagian ummat Islam tak menyadari jika yang menjadi sandaran, adalah jenis kegemerlapan dan kemewahan Fir’aun --yang hanya akan menghantarkan kehidupan mereka masuk ke dalam belanga kehancuran.

Yang perlu diingat dan disadari ialah bahwa secara isi, konsep, maupun idea, ummat Islam di abad sekarang ini --khususnya di bumi persada tanah air ini-- nyata-nyata telah hilang dan tenggelam di dalam gelombang pola kehidupan Yhd. Persis yang terjadi pada kaum Fir’aun. Meskipun kegemerlapan dan kemewahan tampak secara mata kepala telah berhasil diraih Fir’aun dan pengikutnya, itu bukanlah kejayaan abadi yang tidak dapat tergoyahkan. Itu haqiqinya justru kehancuran, sebagai balasan dari keberhasilan meraih kegemerlapan dan kemewahan hidup rekayasa hasil merampas hak kaum lemah. Kehancuran itu telah dekat. Fir’aun Indonesia dan pengikutnya sama sekali tidak menyadari, jika dirinya sedang digiring masuk dalam perangkap jebakan. Hal itu sama dengan Fir’aun di zaman Nabi Musa a.s.

Perhatikanlah penjelasan Allah dalam Al Qur’an, bagaimana cara Nabi Musa a.s. menggiring Fir’aun masuk dalam perangkap jebakan. Musa memancing Fir’aun untuk mengejarnya ke tengah lautan. Dalam anggapan Fir’aun, Musa-lah yang berhasil digiringnya masuk dalam perangkap jebakan. Tak sedikitpun terfikirkan oleh Fir’aun bahwa Allah berkuasa terhadap apa saja. Lautan yang semula dipandang Fir’aun sebagai alat pengepung untuk menghancurkan Musa, malah mengepung dan sekaligus mengakhiri kehidupan Fir’aun dan para pengikutnya. Akan kita saksikan, apa yang terjadi di tanah air ini. Wujud perangkap jebakan untuk Fir’aun dan para pengikutnya, bisa saja berupa lautan harta yang dikuras dari hak-hak milik rakyat lemah tak berdaya. Di dalam lautan harta itulah Fir’aun dan para pengikutnya terjebak dan berakhir hidupnya. Jika itu yang terjadi, maka berakhir pula pola kehidupan gemerlap dan mewah di tanah air ini. Yang akan tampil adalah pola kehidupan makmur dalam kesederhanaan namun utuh dalam kesahajaan. Itulah fithrah kehidupan bumi persada tanah air ini.



Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/12/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan. -Admin

2 komentar:

  1. saya seorang guru yang berada di persimpangan berfikir. saya tahu saya mengajarkan sesuatu yang jauh dari nilai Islam. namun sementara ini yang saya fikir adalah ini jalan rejeki saya, jalan dimana saya insyaallah bisa berbagi.apa yang harus saya lakukan sementara diri saya sendiripun dalam perjalanan berproses yang kadang mundur pula.bahkan juga tidak menutup kemungkinan belum pernah maju

    BalasHapus
  2. Asswrwb,.
    Jazaakumullah tanggapan bapak/ibu. Untuk mengajarkan yg Haqq, perlu persiapan sangat panjang dan banyak, karena seluruh sistem (keilmuan, pendidikan, dan institusinya) sekarang boleh dikatakan tenggelam dalam lumpur pengaruh buruk Yhd. Yg dapat dikerjakan PERTAMA dan TERUTAMA adalah MEMBINA AKHLAQ anak didik.

    Dimulai dari akhlaq kepada Allah swt, kepada ortu, kepada guru, kpd lingkungan (misalnya membuat gerakan kelestarian lingkungan di pelataran sekolah, dll).

    Sementara itu bapak/ibu juga intensif membenahi ibadah pribadi dengan murni bersandarkan Al Qur'an dan AlHadits. Awali dari sholat yg baik (jika memungkinkan, sampai dengan tahajud lengkap dan kontinu), kemudian meluas ke amal ibadah lain. Insya Allah, pasti ada celah perbaikan kehidupan yg ditunjukkan Allah kepada bapak/ibu.

    Catatan akhir: lebih baik kita selalu berupaya mengadakan perbaikan, dari pada merasa TELAH MAJU/BAIK. Walal akhirotu khoirullaka minal uulaa, yang akhir (mesti) lebih baik daripada yg terdahulu. Yakinlah Allah selalu memperbaiki kita. Selamat berjang tegakkan Kebenaran Islam, merdekakan negeri kita dan generasi mudanya dari cengkeraman kebathilan Yhd.

    Taufik Thoyib

    BalasHapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.