Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #7
Mensyukuri Fitrah, Berkedudukan Khalifah
Marilah kita luangkanlah sedikit waktu untuk merenung-perhatikan tanaman rumput (lihat QS. 35:9 yang dikutip juga sebagai Ayat Pembuka Tulisan Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #6 di bawah). Meskipun bentuk jasadnya hancur di bawah sorotan sinar matahari maupun di atas kerasnya tanah yang ditempati. Di saat hujan turun membasahi bumi, rumput mati dapat memanfaatkannya. Artinya rumput mensyukuri keberadaan hujan untuk bangkit dari kehancur-matian dan menggelar kesegaran dan kesuburan hidup. Kesyukuran sikaplah yang telah mendorong sang rumput untuk bangkit dari kehancur-matian. Meskipun pada akhirnya kesegaran dan kesuburan sang rumput hanya dihabisi oleh hewan gembalaan tidak beraqal, bukan berarti membuat sang rumput mundur dari kebangkitan menyajikan kesegaran dan kesuburan. Justru hal itu semakin mendorong semangat rumput untuk terus mengembangkan kesegaran dan kesuburannya dengan cara mensyukuri, mendaya-manfaatkan keberadaan air hujan. Demikian itulah kemuliaan sikap hidup telah berhasil diraih-capai oleh sang rumput dengan melalui langkah mensyukur-daya-manfaatkan keberadaan air hujan.
Yang dapat menyajikan buah kemakmuran hidup hanyalah orang-orang yang mempunyai derajat kemuliaan di sisi Allah --bukan di sisi makhluk. Meskipun makhluk sejagad memberikan sederetan mata rantai julukan derajat kemuliaan, bila Allah belum memberikannya maka derajat kemuliaan yang dipasangkan makhluk, bisa jadi justru kehinaan mendasar di sisi Allah. Itulah sebabnya orang arif lagi bijak tidak pernah mau menerima apalagi bergeming-hati terhadap pemberian derajat kemuliaan dari sesama makhluk. Kemakmuran baru dapat terwujud bila keberadaan manusia dapat merajut seluruh unsur dzat ketenagaan hidup bersemesta tetap dalam keadaan hidup-tumbuh-berkembang tanpa ada satupun fihak yang dirugikan keberadaannya. Jika demikian, apa yang perlu ditumbuh-kembangkan terlebih dahulu?
Sudah barang tentu unsur daya potensi-bakat pada manusia harus terlebih dahulu berkeadaan hidup-tumbuh-berkembang secara santun-berkesetimbangan, karena yang memimpin gerak perputaran dzat ketenagaan hidup sesuatu di alam semesta adalah unsur dzat ketenagaan hidup pada manusia. Itulah artinya, manusia dapat meraih, dan menobat-abadikan mahkota kekholifahannya. Jika berhasil mewujudkannya, itulah yang dimaksudkan bahwa keberadaan kholifah di atas bumi adalah rahmat bagi kehidupan semesta, sebagaimana keberadaan Rasulullah Muhammad saw selaku rahmatan lil ‘alamin.
Untuk mengikuti tauladan Nabi saw selaku rahmatan lil ‘alamin, terutama hal yang Allah perbaiki lebih dahulu adalah pola berfikir, karena yang telah merusak-hancurkan tatanan rajutan kehidupan bersemesta adalah pola berfikir manusia yang lepas-bebas dari ketentuan kaidah Qur’ani. Semua itu merupakan perwujudan nyata atas karunia-rahmat yang Allah pancingkan kepada para hamba-Nya yang sejati, untuk membangun kesadaran agar bangkit dari kematian panjang. Sejak ummat Islam berhasil dijebak oleh Yhd masuk ke dalam lubang kemunduran dan kebodohan berfikir, sangat sedikit ummat Islam menyadari bahwa pola berfikir dan pandangan hidup Yhd yang berlangsung dan berkembang saat ini telah merusak-hancurkan tatanan rajutan kehidupan. Akibatnya, keberadaan bumi yang sebenarnya tempat menghidup-tumbuh-kembangkan kemakmuran telah gagal diusaha-upayakan manusia. Saksikanlah kerusakan alam pada skala bumi maupun tanah air pertiwi Indonesia!
Hal demikian itu terjadi karena kemunduran dan kebodohan berfikir mengikuti pola Yhd yang menjauhkan manusia dari Allah. Sejujurnya, marilah kita jawab, apakah ilmu-ilmu “modern” yang disiarkan oleh Yhd menjadikan kita makin dekat Allah? Bukankah yang ada hanyalah pola fikir berdasarkan dugaan dan penuh perkiraan. Alangkah rendahnya nilai suatu keyakinan jika sang penetapnya adalah anggapan-perkiraan. Meskipun telah nyata kerusakan dan kematian yang dihasilkan dari anggapan-perkiraan, tetap saja anggapan manusia menanamkan keyakinan padanya, bahwa segala langkah-kegiatan yang berkaitan bidang ilmu dianggap sebagai amal sholeh dan disangka berpahala lipat ganda. Salah satu bentuk kemunduran dan kebodohan berfikir ummat Islam: sesuatu yang belum diketahui kepastiannya “dipasti-pastikan dengan anggapan-perkiraan” dirinya. “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS 10:36).
Sebagai penutup, marilah kita renungkanlah firman Allah ini:
Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah), dan orang-orang yang mati (hatinya), akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nya-lah mereka dikembalikan. (QS. 6:36).
Tulisan di atas merupakan bagian dari penjelasan Ki Moenadi MS (alm) pada kesempatan kajian keilmuan di Yayasan Badiyo, 08/2000, dengan penyesuaian redaksional dari Taufik Thoyib. Tulisan di atas sekaligus mengakhiri Seri Ramadhan Indonesia Merdeka. Wa taqabballaahu minna wa minkum, minal 'aidiin wal faiziin, seluruh jajaran aktifis Kajian Budaya Ilmu memohon maaf bathiniyah dan lahiriyah, selamat Hari Raya Fithri 1432H –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.