Merapi, 2010. Dipahamikah sebagai peringatan dari sisi Allah terhadap kehidupan bangsa ini? Dari mana kita harus memulai meraih ampunan Allah yg disajikan Sang Ramadhan?
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 62:2)
Curahan Kasih Allah Sucikan Hati Hamba dari Hijab Nilai

alam kehidupan sehari-hari, sering kali terdengar seseorang pendidik mengatakan: “Si A baik, si B itu begini dan begitu”. Berbagai macam bentuk penilaian dilontarkan. Namun jarang disadari bahwa sikap demikian itu menggambarkan bahwa “diri si penilai lebih baik dari pada yang dinilai”. Sudahkah diketahui dengan pasti ukuran baik dan salahnya atau benar tidaknya? Apabila seseorang telah berani menjatuhkan penilaian, berarti dirinya telah memiliki pedoman yang pasti tentang ukuran penilaian.
Apakah dapat seseorang dikatakan baik, bila ucap katanya manis memikat, sikapnya menunjukkan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, ditambah lagi tindak perbuatannya penuh dihiasi dengan sifat kasih sayang, jika pada hatinya terselip maksud-maksud kerusakan dan kejahatan? Begitu pula terhadap para pendidik, baik itu orang tua maupun para pendidik formal. Dapatkah mereka mengatakan dengan pasti jika anak didiknya baik atau kurang baik --jika dasar penilaiannya adalah besarnya nilai biji-biji angka yang diperoleh oleh anak didik dari hasil mengutip dan mengulang dengan sempurna apa-apa yang telah disampaikan fihak pendidik? Bisa saja di satu sisi anak yang dipandang baik terbelenggu dalam kebejatan akhlaq. Gambaran demikian tersebut tidak melanda satu dua anak didik.
Di zaman sekarang ini, tidak sedikit baik fihak pendidik maupun yang dididik sama-sama memiliki kecerdasan tinggi, tapi juga sama-sama terperosok dalam kubangan kerusakan akhlaq. Masihkah anak didik maupun si pendidik dikatakan sebagai orang yang baik? Bagaimana menilainya? Betapa rendahnya ukuran nilai kebaikan di mata mereka yang suka menilai. Mereka hanya dapat menilai dari satu sisi, sedangkan di sisi lain mereka buta. Tetapi mereka telah begitu berani menjatuhkan vonis penilaian. Ini bukan berarti manusia dilarang menilai, tetapi layakkah menilai jika dasar penilaian itu belum dapat diketahui secara menyeluruh dan pasti? Baik bukan saja dipandang dari satu sisi penilaian. Sesuatu baru bisa dinilai baik jika sifat penilaiannya menyeluruh. Sedangkan yang tahu secara pasti dan menyeluruh tentang sesuatu itu baik hanyalah Allah. Jika manusia hendak mencoba memberikan penilaian, mengapa tidak mau bertanya kepada Allah?
Kesombongan dalam menilai banyak berbuah dalam diri manusia. Belum lagi buah kesombongan lainnya. Dapatlah direnungkan, pantaskah manusia jika dari waktu ke waktu hanya menampilkan buah keombongan, sementara ia terus menilai orang-orang di luar dirinya. Padahal, apa yang dipandang baik dan dinilai baik itu belum tentu benar-benar baik di mata Allah. Boleh jadi apa yang dipandang baik dan dinilai baik oleh si pendidik, justru bernilai buruk bahkan lebih buruk di mata Allah. Contoh: fihak pendidik menilai baik terhadap anak didiknya semata-mata karena ia telah berhasil mengutip dan mengulang dengan sempurna ajaran si guru, tanpa menyoroti kerusakan akhlaqnya. Penilaian demikian itu di mata Allah bisa jadi justru merupakan penilaian yang paling buruk.
Mengapa dikatakan penilaian yang paling buruk? Sebab pendidik telah menjadikan anak didik tertipu: mereka telah merasa menjadi anak yang baik, tanpa menyadari kerusakan akhlaqnya. Maka tidak salah mereka yang suka dan berkecimpung dalam dunia penilaian, merenung benarkah sudah penilaian yang diberikan kepada mereka yang dinilai? Anak kandung atau anak didik sering didudukkan sebagai objek penderita bahkan seringkali terancam penilaian pendidik.
Pihak pendidik tampaknya sudah biasa menilai siapa saja yang ada di luar dirinya khususnya mereka yang sedang dididiknya. Tetapi yang perlu diketahui pula, mereka tidak satu pun yang bisa menilai dirinya dengan tepat. Ini terjadi karena mereka beranggapan dirinya sudah lebih baik dibanding dengan fihak yang dididik. Demikian itulah kebanyakan manusia suka menilai baik dan buruk, tetapi haqeqat baik dan buruk itu sendiri belum dapat diketahui secara pasti.
Kebanyakan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, baik dan buruk disorot melalui mata kepala. Padahal berapa banyak pandangan mata kepala sering tidak tepat. Sesuatu yag tadinya ternilai baik, setelah didekati ternyata tidak lebih laksana ular berbisa. Begitu pula dalam pandangan mata kepala, ketika sesuatu itu terlihat buruk, tetapi setelah didekati dan dikaji ternyata mengandung nilai untaian mutiara yang sangat mahal harganya dan tidak semua orang dapat memilikinya. Dalam hal ini baik dan buruk yang ditampilkan secara mata kepala antara orang beriman dan orang kafir munafiq tidaklah sama.
Banyak orang munafiq berpenampilan lahiriyah penuh dengan kebaikan terhadap orang beriman, tetapi sebenarnya terkandung bermaksud untuk membunuh. Dengan demikian ukuran penilaian baik, tidak dapat disoroti melalui satu sisi tampilan lahir saja, tetapi yang menjadi titik berat atau pusat penilaian yang baik itu adalah hati. Apabila hati itu baik, maka seluruhnya akan menjadi baik, begitu sebaliknya, apabila hati itu buruk maka seluruhnya akan menjadi buruk. Mengapa hati yang menjadi pusat penilaian? Karena di hatilah semua unsur potensi ketenagaan manusia bertemu untuk beranjangsana, dengan kata lain HATI MENJADI PUSAT KEGIATAN BAGI UNSUR-UNSUR POTENSI KETENAGAAN MANUSIA.
Begitu pula Aku Allah dalam menilai manusia, yang menjadi sorotan pertama atau yang dititik beratkan adalah hati. Sebagaimana yang diisyaratkan:
Dari Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda menyampaikan apa yang diterimanya dari Tuhannya Alloh ‘azza wa jalla. Dia berfirman, “Sesungguhnya Alloh mencatat semua amal kebaikan dan keburukan”. Kemudian Dia menjelaskan. “Maka barang siapa telah berniat untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi tidak melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal kebaikan. Jika ia berniat baik lalu ia melakukannya, maka Alloh mencatatnya berupa sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan masih dilipatgandakan lagi. Dan barang siapa berniat amal keburukan namun tidak melakukannya, Alloh akan mencatatnya sebagai amal kebaikan yang utuh, dan bila ia berniat dan melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal keburukan.” (HR. Bukhori dan Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya dengan redaksi tersebut)
Dalam Hadits tersebut yang dititik beratkan adalah niat. Sedangkan yang namanya niat itu adalah suatu siratan yang melintas di hati, dengan kata lain niat itu sama halnya dengan gerak lintasan hati. Dari pernyataan Hadits tersebut jelaslah bahwa ukuran baik itu adalah hati.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 23/11/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan. Lanjutannya insya Allah dipublikasikan pekan depan --Admin
Jumat, 20 Juli 2012
Curahan Kasih Allah Sucikan Hati Hamba dari Hijab Nilai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.