Iman dan Taqwa?
Secara susunan kata atau kalimat, “iman dan taqwa” berhasil dinobatkan sebagai azas kehidupan. Sebatas slogan, terpukaulah seluruh mata dan telinga orang yang awam atau bodoh. Tetapi orang-orang yang mata hatinya telah tersingkap (yang imannya iman sejati) mendengar dan menyaksikan penobatan atau perumusan iman dan taqwa sebagai landasan atas kehidupan, hanya dengan ekor mata. Sementara hatinya pedih, seakan tersayat melihat kata-kata iman dan taqwa hanya dijadikan topeng-topengan menipu diri dan menipu berjuta-juta ummat yang bodoh.
Iman dan taqwa yang dinyatakan oleh mereka yang hatinya telah tersingkap, adalah suatu kenyataan. Itu tak dapat diingkari secara pandangan mata kepala. Apalagi bila dilihat dengan mata hati. Berbeda dengan yang dinyatakan oleh perkiraan atau sangkaan. Tidak sedikitpun kata-kata iman dan taqwa yang telah berhasil dibobatkan sebagai azas kehidupan, berhasil pula diwujudkan-nyatakan dalam sikap perilaku hidup sehari-hari. Semakin gencar kata-kata iman dan taqwa digalakkan dalam setiap arena dan kesempatan semakin banyak kebohongan yang dipertontonkan pada perilaku. Tidakkah cukup bukti bahwa iman yang dilontarkan adalah iman menipu diri dan menipu berjuta-juta ummat yang bodoh? Cukuplah sudah kata-kata iman dikorbankan sebagai alat penipu diri dan penipu berjuta-juta ummat. Kini tiba saatnya, iman yang selama ini dijadikan alat pembungkus penipuan, akan menyingkap segala tindak penipuan.
Penyingkapan terhadap penipuan yang selama ini dibungkus dengan kata-kata iman dan taqwa sudah barang tentu hanya dapat dilakukan oleh iman sejati. Meskipun selama ini hanya segelintir iman sejati yang berhasil tumbuh di dalam diri manusia, tetapi keberadaan iman sejati yang segelintir itu telah cukup untuk dijadikan tiang Islam. Namun ada yang perlu diketahui. Jangan disangka segelintir iman sejati yang berhasil tumbuh dapat menikmati pertumbuhannya dengan segala keleluasaan atau kemudahan. Tidak sedikit penganiayaan dan penyiksaan yang dilancarkan kepada segelintir iman sejati yang baru saja merangkak tumbuh. Bahkan terorpun senantiasa dihadapkan kepada segelintir iman sejati yang sedang mengadakan pertumbuhan, sejak dari teror pembunuhan terhadap lahan tempat iman sejati tumbuh (dirinya sendiri) sampai kepada teror pembunuhan terhadap lahan-lahan yang dikasihi yaitu orang-orang yang sangat dicintai.
Bukan saja sebatas teror pembunuhan, nyawapun menjadi korban atau modal untuk kesuburan tumbuhnya iman sejati. Demikian itulah yang dipertaruhkan oleh segelintir iman sejati untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini keberadaan tindak penganiyaan, penyiksaan maupun pembunuhan tidak mengubah gerak getar pertumbuhan iman sejati, karena akar dari iman sejati itu sendiri telah tertancap dan berakar di lorong hati yang tak mampu disidik mata kepala. Di lorong hati itu pulalah iman sejati tumbuh dengan berselimutkan keridhaan Allah. Bagi seorang hamba yang di dalam hatinya telah berakar iman sejati, tidak ada lagi yang terpandang dan tidak ada lagi yang terasa kecuali hanya keridhaaan Allah. Sekalipun penganiayaan dan penyiksaan terus menerus menteror dirinya, tetapi rasa dianiaya ataupun rasa disiksa tidak pernah terasa di hatinya. Mengapa? Karena iman sejati telah tampil selaku tameng atau pelindung bagi dirinya. Keadaan seorang hamba yang demikian ini seirama dengan pernyataan firman Allah yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Kami Allah atau dengan kata lain ada orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk mempersiapkan diri hanya untuk menerima keridhaan Kami Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” QS.2:207. Kepada mereka-mereka inilah Allah mempercayakan tegak-kokohnya tiang kelangsungan ruh Islam untuk hidup dan tumbuh secara berlanjut dan berkesinambungan, hingga berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Dalam pandangan mata kepala, seorang hamba yang dipercaya Allah untuk menegak-kokohkan tiang kelangsungan kehidupan ruh Islam, kehidupannya lebih banyak diterpa penderitaan dari pada diterpa kebahagiaan. Benarkah? Tidak. Karena dalam pandangan mata kepala, kebahagian yang dimaksud kebahagian nafsiyah. Sedangkan haqiqinya, kebahagian ruhaniyah itulah yang telah menjadi pengayom dalam langkah kehidupannya.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/10/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian akhir dari tiga tulisan. --Admin
Rabu, 16 November 2011
Iman dan Taqwa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.