Ketika Hati Tak Lagi Mencintai Dunia
Dalam satu Hadist Qudsi Allah menyatakan: “Kami Allah sangat cemburu pada seorang hamba yang sangat cinta terhadap sesuatu”. Itulah sebabnya bila Allah telah menaruhkan cinta pada seorang hamba, Allah datangkan berbagai kegagalan di dalam hidup. Kekecewaan terhadap sesuatu berulang-ulang kali pula Allah datangkan. Hingga pada saatnya tiba, hati tidak lagi suka dengan sesuatu. Tetapi ketidak-sukaan hati terhadap sesuatu tidak sama pengertiannya dengan kebencian. Maksudnya, segala sesuatu diserahkan penyelesaiannya kepada ‘aqal, bukan kepada nafsu. Bila sesuatu diserahkan penyelesaiannya kepada nafsu, pasti tatanan kehidupannya akan porak-poranda. Itulah sebabnya Rasul s.a.w. mengatakan: “Ya Robb-ku janganlah hendaknya Kau serahkan penyelesaiaan sesuatu kepada nafsuku, meskipun hanya sekejap mata”.
Bila hati sudah terlanjur dipenuhi oleh sesuatu, dipastikan sayang dan kecintaan Allah tidak akan pernah dapat dirasakan hati karena terhalang oleh keberadaan sesuatu di dalam hati. Haqiqinya, kecintaan yang paling tepat bagi hati adalah cinta kepada Allah. Tetapi karena cinta kepada Allah sulit digapai oleh hati, maka sesuatulah yang menjadi tempat curahan hati. Mengapa? Karena sifat haqiqi dari pada hati itu sendiri adalah sayang dan bercinta. Dengan kata lain, hati semua insan sama ingin disayang dan dicinta. Pertanyaannya: sudah adakah kesiapan diri manusia bila Allah menjatukani cinta pada hatinya? Mudah untuk menjawab “siap”. Namun lebih dahulu pastikanlah, sudah lepaskah sesuatu dari dalam hati?
Haqiqat sifat hati adalah disayang dan dicinta. Maka, dalam hal menentukan dari mana hati memperoleh kasih dan cinta tersebut, itu adalah hak diri manusia. Bila diri manusia justru berbalik menyerahkan hatinya untuk disayang dan dicinta dunia atau sesuatu, maka jadilah sesuatu disayang dan dicinta oleh hati. Alangkah hinanya hati manusia yang sebenarnya indah sebagaimana yang Allah ungkapkan lewat Hadits “hati itu istana Allah”, bila ternyata hanya bisa menyayangi dan mencintai sesuatu. Padahal sesuatu itu sendiri pada haqiqatnya tidak memiliki rasa sayang dan cinta terhadap hati manusia. Bahkan keberadaan sesuatu di dalam hati justru malah memporak-porandakan bangunan hati, karena rasa sayang dan cinta, hakikatnya mutlak hanya Allah yang mempunyainya. Dalam hal ini berhati-hatilah terhadap tipuan-rekayasa Iblis. Bagaimana tipudayanya?
Iblis hanya bisa meniru-niru pengertian sayang dan cinta tanpa sedikit pun iblis dapat memberikan rasa sayang dan cinta. Perhatikanlah kehidupan manusia yang hatinya belum dan tidak memperoleh sayang dan cinta dari Kami Allah. Pasti ia tidak akan pernah dapat merasakan sayang dan cinta kecuali berkata sayang dan cinta untuk menipu diri. Itulah sebabnya kehidupan yang terjadi adalah kehidupan yang penuh dengan segala macam bentuk kejenuhan yang dapat melanda seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk kejenuhan berkeilmuan yang tidak pernah membawa perubahan lebih baik bagi kehidupan. Dengan demikian dapatlah disimpulkan barang siapa yang mudah merasakan jenuh dalam segala hal dan pengertian, itulah pertanda dirinya belum pernah mendapatkan sayang dan cinta dari Allah. Kebanyakan manusia yang hatinya tidak dan belum mendapatkan cinta dari Allah pasti tidak memiliki rasa. Sekalipun sayang dan cinta dapat dirasa tetapi sayang dan cinta yang dirasa itu adalah rasa sayang dan cinta nafsiyah yang suatu saat pasti akan menemui titik kejenuhan!
Keadaan rasa sayang dan cinta seperti itulah yang paling banyak dirasakan manusia hidup berumah tangga. Itulah rasa nafsiyah. Cirinya adalah kehambaran atau kejenuhan. Bila keadaan itu tidak memperoleh penyelesaian jalan keluar, maka berjangkit penyakit mati rasa, baik mati rasa nafsiyah maupun mati rasa ruhaniyah. Itulah perlunya mempergantikan sesuatu yang telah sekian lama tinggal di dalam hati dengan iman sejati. Tidak banyak kesempatan yang diperoleh iman sejati untuk tumbuh-subur di dalam diri manusia khususnya di dalam diri kehidupan ummat Islam, karena kehidupan dari saat kesaat senantiasa berputar. Bagaikan mencari sebutir mutiara yang tercampak ditengah genangan lumpur hitam, begitulah sulitnya mencari iman sejati di tengah-tengah kehidupan ummat Islam selama ini. Kata “iman” hampir setiap saat meluncur dari bibir yang bermadu —bahkan agar kata-kata iman tampak lebih memikat dan begitu indah terdengar pada ketaatan maka kata “iman” sering digandeng dengan kata-kata “taqwa”, menjadi “iman dan taqwa”.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/10/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan. Lanjutannya insya Allah dipublikasikan pekan depan --Admin
Rabu, 09 November 2011
Ketika Hati Tak Lagi Mencintai Dunia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
ASSALAMU'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH,,,MEMANG TIDAK MUDAH MELEPASKAN SEMUA YANG SUDAH LAMA BERCOKOL DI HATI,,,,TERLEBIH BILA TERUS MENERUS DIDERA SERANGAN NAFSU DIRI YANG TIAP SAAT TERGODA-RAYU KERAGUAN JALANKAN HIDUP BENAR,,,BELUM LAGI BANYAKNYA TEROR NAFSU DARI LUAR YANG TURUT SERTA MELAKUKAN BUJUK RAYU KERAGUAN,,,LENGKAPLAH SUDAH BANGUNAN KERAGUAN DIRI,,,,TOLONG PAK TAUFIK BERI Saran diri ini agar semakin yakin terbuka sambut kebenaran sejati.heru Samarinda
BalasHapusWa'alaikum salam wr. wb., mohon maaf lama sekali baru menjawab, pak Heru. Notofikasi e-mail ini tertumpuk di bawah email yg lebih baru.
HapusMarilah kita bertanya kepada diri kita: dari siapakah ketenagaan diri kita, yang kita pakai untuk hidup sehari-hari? Siapa pencipta diri kita? Selanjutnya: untuk apakah kita hidup? Benarkah untuk mengabdi Allah? Atau mengabdi diri? Iyyakana'budu wa iyyaka nasta'iin. Sudah tegakkah kalimat itu dalam diri kita?
Jika belum, marilah kita gencar-tegakkan kalimat istighfar kita, dalam arti jangan kita ulangi kesalahan masa lalu, baik dalam niyat, apalagi dalam tindakan-nyata. Marilah kita fokuskan langkah harian kita, bahwa tujuan hidup (yang amat singkat ini) adalah mengabdi Allah. Lambat laun, nafsu akan bisa mengikuti derap langkah itu.