Selasa, 18 Mei 2010

...QS 42:30...

Bumi Tanah Subur, Makmurlah Rakyat dan Luhurlah Peradabannya

...drop capital Y...

ahudi melakukan berbagai cara tipu daya untuk mendapatkan buah dari kesuburan bumi tanah yang terhampar di luar hamparan kehidupan mereka. Tanpa melakukan tipu daya terhadap masyarakat atau bangsa yang mendiami bumi tanah yang subur, akan sangat sulit bagi mereka untuk melangsungkan hidupnya. Maksud mereka melancarkan tipu daya, tidak lain agar dapat memperoleh hasil dari kesuburan bumi tanahnya dengan murah dan mudah, khususnya bahan baku kandungan tanah. Bagaimana mereka sebagai para penjajah memperebutkan ummat Islam termasuk di negeri ini, telah diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. lewat sebuah hadits:

“Nyaris tiba saatnya banyak ummat yang memperebutkan kalian (ummat Islam), seperti orang-orang makan yang memperebutkan hidangannya. Maka, ada seseorang bertanya: “Apakah karena sedikitnya kami (ummat Islam) pada hari (zaman) itu?” Beliau menjawab: “Justru jumlah kalian banyak pada waktu itu, tetapi ibarat buih di atas air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan penyakit wahn”. Seseorang bertanya: “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati” (HR Ahmad dan Abu Daud).


...Bahan baku itulah yang diolah dan direkayasa oleh kaum atau bangsa Yhd sebagai modal utama untuk melangsungkan kehidupannya. Di situlah letak ke-Maha Pemurah-an Allah, meskipun masyarakat atau suatu bangsa tetap melangsungkan hidup dengan cara hina lagi tercela, bukan berarti mereka tidak mendapatkan hak hidup di muka bumi. Dalam hal ini mereka tetap mendapatkan hak hidup. Tetapi hak hidup yang mereka miliki sangat tergantung pada masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur. Dengan demikian, mereka masih diberi kesempatan untuk mendaya-manfaatkan hasil kesuburan tanah, khususnya bahan baku untuk diolah untuk melangsungkan kehidupan. Sebetulnya mereka hanya diberi kesempatan untuk mengolah hasil, bukan untuk mengkaji keadaan bumi tanah yang subur, sebab sampai kapan pun mereka tidak akan bisa memiliki ilmu yang pasti tentang itu. Meskipun kesempatan telah diberikan, bukan berarti mereka leluasa bersikap semau sendiri untuk mengambil hasil dari bumi tanah yang subur. Kesempatan itu mestinya hanya diberikan selama mereka patuh dan tunduk pada peraturan yang ditegakkan oleh masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur.

Sudah barang tentu peraturan yang ditegakkan itu peraturan yang tidak terlepas dari kebenaran. Jika kaum atau bangsa yang telah Allah tetapkan berkehidupan di bumi tanah subur menjadikan pola atau pandangan bangsa Yhd sebagai contoh kehidupan, boleh jadi bumi tanah itu akan menjadi bumi tanah yang tandus. Bumi tanah itu terkena imbas bumi tanah yang ditempati kaum atau bangsa Yhd. Tandus tidaknya hamparan bumi tanah sangat tergantung pada sikap manusia: mau menerima dan memanfaatkan ni’mat Allah dengan sikap baik atau tidak. Hanya dengan ni’mat Allah sajalah, hati dan khususnya bumi tanah tandus, dapat berubah menjadi bumi tanah subur.

Siapa pun manusia, kelompok masyarakat atau bangsa, pasti tidak berkeinginan menempati bumi tanah tandus sebagai hamparan kehidupan. Untuk itulah, manusia selalu berupaya mencari tempat hamparan kehidupan di bumi tanah yang subur. Sejak dahulu, kehidupan masyarakat di tanah air kita telah dikenal sebagai masyarakat yang bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah tempat. ...Sikap hidup berpindah-pindah, menunjukkan bahwa yang diinginkan fithrah-jiwa manusia adalah hamparan bumi tanah yang subur. Karena tingkat peradaban mereka pada saat itu, maka mereka mengukur kemakmuran sebatas suburnya tanah untuk tanaman.Demikianlah, yang selalu mereka cari adalah hamparan bumi tanah yang dapat ditumbuhi tanaman. Manusia lebih suka menjadikan bumi tanah yang subur sebagai tempat hamparan hidup, karena itulah modal untuk meningkatkan taraf kemakmuran hidup dan peradaban masyarakat atau bangsanya. Bumi tanah yang subur juga menjadi ukuran tingginya tingkat kemakmuran dan peradaban suatu masyarakat dan bangsa.

Mau tak mau, sebetulnya masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur senantiasa dituntut untuk bisa mengenal dengan dekat, bahkan dapat bersahabat akrab dengan alam yang ada di sekitarnya; khususnya, terhadap kesuburan tanahnya. Sudah semestinya masyarakat itu mengerti lebih jauh jiwa alam, sehingga lebih mudah membawa bangsanya pada tingkat kemakmuran hidup dan peradaban yang lebih tinggi. Masyarakat yang telah mengetahui jiwa alam, tidak akan bersikap perilaku tak senonoh terhadap alam, khususnya pada saat hendak mendaya-manfaatkan kandungannya. Sudah barang tentu untuk mengenal lebih dekat atau bersahabat dengan alam, diperlukan ilmu sebagai jembatan hubung antara manusia dan alam. Tetapi tidak setiap ilmu dapat digunakan. Mengapa? Yang diperlukan manusia adalah ilmu yang dapat mengetahui dengan pasti tentang manusia dan alam.

...Jika ilmu yang dipakai hanya dapat mengetahui salah satunya saja, maka ilmu itu tidak bisa digunakan sebagai jembatan hubung. Bila ilmu hanya mengetahui keinginan manusia sementara keinginan alam tidak dapat diketahui secara pasti maka ilmu itu hanya akan menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan. Pasti timbul jurang pemisah antara kehidupan manusia dengan alam; pasti jalinan persahabatan antara manusia dengan alam akhirnya terputus pula. Bila alam tidak lagi mau bersahabat dengan manusia sebagai masyarakat dan bangsa, itulah awal pertanda bahwa manusia itu akan dihinakan di tengah-tengah kehidupan.

Ketimpangan itu terjadi disebabkan ilmu lebih banyak berpihak pada manusia: hanya membela dan memenuhi keinginan manusia. Alam diperkosa kehidupannya oleh ilmu demi memenuhi segala keinginan manusia. Ilmu yang bersifat demikian adalah ilmu yang lahir dari nafsu manusia. Demikianlah, nafsu pun bisa menciptakan ilmu di tengah-tengah kehidupan. Tetapi, ilmu yang lahir dari nafsu sampai kapan pun tidak akan pernah mengetahui dengan pasti jiwa alam, khususnya tanah. Ilmu yang lahir dari nafsu tidak bisa dijadikan jembatan hubung antara manusia dengan alam karena ilmu itu selalu mempunyai kepentingan. Satu-satunya ilmu yang dapat dijadikan jembatan hubung antara manusia dengan alam adalah ilmu yang tidak terlibat pada kepentingan manusia dan alam. Meskipun ilmu itu tidak berkepentingan terhadap manusia dan alam, tetapi keberadaannya justru untuk merajut kehidupan manusia dan alam pada satu mata rantai yang berkeselarasan. Ilmu itu adalah ilmu pasti. Yaitu, ilmu yang dikaruniakan dari sisi Allah; ilmu yang meliputi kehidupan bersemesta, baik yang tampak menurut mata kepala maupun yang tidak tampak menurut mata kepala; ilmu dari sisi Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS 96:5)





Bersama tulisan berjudul "Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus", tulisan ini merupakan penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari rangkuman kajian pada 29 Shafar 1419H (24 Juni 1998) di Malang, yang disajikan oleh Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin. – Admin.



3 komentar:

  1. Bagaimana hubungan antara bumi tanah subur serta rakyat makmur dengan cinta dunia? Tidakkah tanah subur dan rakyat makmur, cenderung menggiring masyarakat tersebut pada sifat cinta dunia dan takut mati serta melupakan akhirat? (obiya@live.com)

    BalasHapus
  2. Kuncinya pada nafsu. Kalau nafsu manusia mau sedikit berendah hati terhadap penjelasan Islam dari siapa pun, mendengarkan/membaca dengan tenang, tidak selalu punya prasangka buruk dan didahului dengan niyat 'aku akan menyanggah, karena aku seorang kritis dan intelektual', maka nafsu akan mempunyai pengetahuan yang cukup. Nafsu akan jelas apa tujuan hidup, yaitu akhirat dan mau surut dari dunia(tak serakah terhadapnya). Glagah Nuswantara

    BalasHapus
  3. Mohon maaf, bukannya hendak mendebat atau beradu intelektual, saya hanya belum bisa memahami ketersambungan antara konsep kemakmuran duniawi dengan masalah keimanan dan ketaqwaan. (obiya@live.com)

    BalasHapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.