Sabtu, 08 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bahkan merak pun tidak riya', mengapa manusia terjangkit narcissism?
Ada tiga perkara yang membinasakan yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan diri [HR Ath-Thabrani dan Anas] Barangsiapa yang membanggakan diri sendiri dan berjalan dengan angkuh (memamerkan sesuatu yang dibanggakan olehnya berkeliling pada banyak manusia atau mengumum-umumkannya), maka ia akan menghadap Allah dan Allah murka kepadanya [HR Ahmad] Pujian, sanjungan, atau mempertunjukkan kelebihan seseorang kepada khalayak ramai atau sekedar kepada seorang lainnya, hendaknya dilakukan dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Setiap lisan kata atau tatap mata kekaguman ibarat anak panah beracun yang mengincar perasaan-hati yang dipuji untuk membusukannya dengan keangkuhan, merusak perilakunya dengan kesombongan. Terhadap anak misalnya, seringkali orangtua lalai sebatas mana pujian atau perbandingan dengan dengan anak lain dapat memberinya semangat berbuat lebih banyak kebaikan, dan pada batas mana pujian kepadanya mesti ditahan agar si anak tak menjadi bangga-kagum terhadap kebaikan-kebaikan dirinya sendiri. Begitu pula, memamerkan kebaik-hebatan diri lewat lomba, kontes, aneka panggung seminar, mimbar atau sekedar memajang warna-warni kebagus-cantikan wajah pada media kultur selebritas sosialita ruang maya, sungguh dapat dan sangat mudah membenam-tenggelamkan manusia ke dalam kubangan lumpur bangga-diri atau ke dasar hitam jurang kesombongan. Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah: "...dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan 'aqalnya" (QS 10:100) [Taufik Thoyib].18 Rajab 1431 / 1 Juli 2010Orang yang dikagumi (selebriti) ada dalam bahaya
Orang-orang memujimu karena apa yang mereka sangka pada dirimu. Maka celalah diri karena apa yang kau ketahui ada pada dirimu. [Ibn Atha'illah] Orang yang dikagumi (selebriti sesungguhnya) ada dalam bahaya karena ia mungkin menganggap dirinya sebagai orang yang benar-benar memiliki sifat yang disanjungkan. (Padahal, haqiqatnya) segala sifat yang terpuji hanya milik Allah, sedangkan diri sebenarnya hina dan jahat. Salik (penempuh jalan ruhani menuju Allah--Admin) yang waspada mengagungkan-Nya ketika ia dipuji oleh orang lain dan menyangkal pujian tersebut dengan melihat secara cermat dirinya yang mempunyai kelemahan dan kesalahan yang melekat. Kadangkala hanya warna-Nya yang tercermin pada diri kita, yang dilihat oleh orang lain. [Ulasan dari Syekh Fadhlalla Haeri] Dikutip dari Al Hikam, Ibn Atha'illah, Rampai Hikmah Serambi, 2003, hal 210. Rasulullah s.a.w. mengajarkan agar "menabur pasir ke wajah" orang yang memuji dan menyatakan pula bahwa pujian, sesungguhnya adalah "penyembelihan" (sangat berbahaya, karena dapat membunuh sikap rendah-hati orang yang sedang dipuji). Kebaikan apa pun yang ada pada manusia, sesungguhnya adalah anugerah Allah baginya atas kualitas penghambaannya. Dengan cara itu Allah memuliakan si hamba di antara manusia; ibarat Allah memasang-pakaikan baju kemuliaan dan keterpujian bagi si hamba. Bagi yang tak waspada, ia akan menilai dan merasa bahwa dirinya sungguh-sungguh telah baik, mulia, dan terpuji, lalu terbuai menikmatinya. Akhirnya merasa memiliki dan menguasai segala pujian itu. Akibatnya, jika tidak diperhatikan, tidak disanjung-dimuliakan, tidak dielu-elukan manusia, ia kecewa, putus asa, atau marah. Bila mendapatkannya, ia bangga dan takabur. Begitulah ia terhijab oleh kerangkeng penjara kemuliaan (karomah) semu buatan manusia. Ia terhenti untuk meneruskan perjalanannya menuju Rabb. Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati. Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya: "Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin". Itulah esensinya. Manusia berkodrat penuh dengan catat-kekurangan. Esensi itu ibarat titik atau butir pasir yang "ditaburkan ke wajah" yang sedang berpulas kekaguman. Tak lain, agar selamat baik yang memuji maupun yang dipuji. [Taufik Thoyib]. 15 Rajab 1431 / 28 Juni 2010Para nabi dan rasul tidak mengikuti asas mayoritas (selebritas)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan- mu dari jalan Allah... (QS 6:116). Seluruh nabi dan rasul tidaklah mengikuti masyarakat manusia dengan asas kebenaran mayoritas (yang suaranya terbanyak dipandang benar, atau kebenaran relatif yang esensinya berubah-ubah mengikuti yang menguasai pemaknaannya), akan tetapi para nabi dan rasul berjuang sungguh-sungguh untuk mentaati perintah dan menegakkan kalimat Allah. Mereka menyampaikan kebenaran Allah selaku Al Haqq yang bersifat mutlak, yang sebenarnya sekaligus merupakan rahmat kasih-sayang Allah bagi manusia agar hidup manusia selamat. Sayangnya, kebanyakan manusia menyambut para nabi dan rasul dengan bantahan, dan bahkan permusuhan!Ganjaran perbuatan ingin dipuji, dikagumi, terkenal, dan dikenang (RIYA')
Rasulullah Muhammad s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling pertama diadili pada hari kiamat adalah: [1] orang yang mati syahid, maka didatangkanlah ia dan diperlihatkan akan nikmat-Nya kemudian ia tahu akan nikmat-nikmat-Nya. Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan (amalkan) di dalamnya?’ Ia menjawab, ‘Saya berperang di jalan-Mu hingga mati syahid’, Allah berfirman, ‘Kamu dusta, tetapi kamu berperang supaya dikatakan pemberani, maka telah dikatakan’; Kemudian ia diperintahan lalu diseret wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. [2] Dan orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Quran, maka didatangkannya, lalu diperlihatkan nikmat-Nya kepadanya, kemudian ia tahu akan nikmat-nikmat-Nya, lalu Allah bertanya, ‘Maka apa yang kamu lakukan (amalkan) di dalamnya?’ Ia menjawab, ‘Saya belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Quran untuk-Mu, Allah berfirman, ‘Kamu dusta, tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Quran supaya kamu dikatakan ‘alim (berilmu) dan pembaca Al Quran, dan telah dikatakan’, Kemudian ia diperintahkan dan diseret wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. [3] Dan orang yang diluaskan rizkinya oleh Allah dan Allah memberinya semua bentuk harta benda seluruhnya, maka didatangkannya lalu diperlihatkan padanya akan nikmat-nikmat-Nya, Allah bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan (amalkan) di dalamnya?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau senangi untuk berinfaq, kecuali aku berinfaq di dalamnya untuk-Mu’, Allah berfirman, ‘Kau dusta, tetapi kamu kerjakan itu semua supaya dikatakan dermawan’, maka dikatakan: ‘Kemudian ia diperintahkan dan diseret wajahnya kemudian dilemparkan ke dalam neraka." (H.R. Muslim no.1905, Imam Nasa’i dalam Kitabul Jihad 2/23&24, Ahmad dalam Musnadnya 2/322) Maka budaya, kultur, atau dorongan nafsu mencari ketenaran (celebrity culture) yang diedar-luaskan lewat media massa, ruang maya, aneka panggung seminar, lomba, dan berbagai peradaban pop lainnya, hendaknya sangat diwaspadai, karena dengan sangat kuat dan mudahnya, dapat menyeret-gelincirkan manusia untuk bersikap riya', takabur, dan angkuh, memamer-sombongkan kelebihan-kelebihannya, baik secara terus-terang maupun tersembunyi di bathinnya.Hakikat selebritas: disukai manusia karena Allah mencintainya
Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memanggil Jibril dan berkata: Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan maka cintailah dia! Jibril pun mencintainya. Kemudian dia menyeru para penghuni langit: Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia! Para penghuni langitpun mencintainya. Kemudian dia pun diterima di bumi. Dan apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berkata: Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah pula dia! Jibril pun membencinya. Kemudian dia menyeru para penghuni langit: Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah kepadanya. Para penghuni langit pun membencinya. Kemudian kebencianpun merambat ke bumi."(HR Abu Hurairah ra) Salah satu impian-angan manusia adalah selebrasi atas dirinya, dielu-elukan, dipuji-puji, disukai, dicintai oleh sesamanya, bahkan tak jarang, berkhayal untuk menjadi pujaan (idola) komunitasnya. Hadits qudsi di atas memberikan kejelasan, apa sebenarnya esensi disukai atau dicintai masyarakat. Jika seseorang disukai bahkan dicintai sesamanya, itu semata-mata karunia penghargaan dari Allah atas kecintaan si hamba kepada-Nya! Itulah yang terjadi atas pribadi Rasulullah Muhammad s.a.w.Budaya Selebritas: Ingin Terkenal dan Dipuji-puja Manusia
Allah ta'alaa berfirman: "Dan ucapkanlah alhamdulillaah" (segala puji bagi Allah QS 17:111) Nabi s.a.w. berkata: "Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan memuji kepada Allah maka tidak sempurnalah perbuatan itu." (HR Abu Daud dari Abu Hurairah) Abu Ishaq Al Fazari berkata: "Sesungguhnya di antara manusia ada yang suka dipuji, dan ia di sisi Allah nilainya lebih ringan dari satu sayap nyamuk". Bisyr bin Harits berkata: "Merasa tenteram dengan pujian dan menerimanya dengan sepenuh jiwa lebih dahsyat daripada maksiat". Dikutip dari Al-Muhaimid, Shalih bin Abdul Aziz, 2006, '1000 Hikmah Ulama Salaf, Pustaka eLBA [La Raiba Bima Amanta], Surabaya Jika sebagian besar warga muda di perkotaan kini gandrung dengan jaringan sosial di ruang maya, maka seyogyanya bersikap sangat berhati-hati. Sangatlah tipis batas antara [1] menjalin silaturahmi untuk kemanfaatan dan [2] saling unjuk selebritas, saling pamer pujian dari pihak lain, atau paling tidak saling mengemis perhatian dalam kemudharatan. Kurangkah perhatian dari Allah, selaku Ar-Rahiim Yang Maha Pengasih-sayang?Doa Tak Dikabulkan, karena Matinya Hati
Ketika ditanya orang-orang, Ibrahim bin Azham menjelaskan bahwa doa tak terkabulkan, karena matinya hati si peminta oleh sepuluh perkara:Penghuni Kubur yang Masih Bepergian
Makanan yang paling bermanfaat bagi hati ialah makanan imani dan obat yang paling bermanfaat baginya adalah obat qur'ani. Keduanya merupakan makanan dan obat bagi hati. Hati yang sehat selalu sadar bahwa dirinya datang dan hadir ke dunia sebagai orang asing yang sekedar mencari dan memperoleh apa yang dibutuhkan.Rahasia Zuhud
Seorang lelaki datang menemui Hasan al-Basri seraya bertanya: "Apa saja rahasia zuhudmu di dunia?" Ia menjawab: "Ada empat hal:Dunia menyerahkan dirinya padamu?
Celaka, bila engkau berbuat mengikuti ahli neraka mengharap surga. Atas perbuatan ini, sesungguhnya engkau rakus tidak pada tempatnya. Jangan terpedaya oleh ketelanjangan dunia yang engkau sangka terjadi atasmu. Dalam waktu dekat, hal itu niscaya akan tercabut darimu. Allah akan menelanjangi kehidupanmu hingga engkau tunduk. Kutipan dari Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, Halaqah Shufiyah (terjemahan), Pustaka Setia, 2003, halaman 111. .. ..Dunia, diibaratkan wanita pelacur yang kejam
Nabi 'Isyaa a.s. pernah melihat dunia dalam rupa nenek pikun. "Berapa banyak suamimu?" tanya 'Isyaa. Jawabnya: "Tak terbilang banyaknya". "Adakah mereka mati meninggal- kanmu atau mereka menceraikan- mu?", lanjut 'Isyaa. Jawabnya: "Justru aku yang membunuh dan menghan- curkan mereka". Kata 'Isyaa a.s.: " Sungguh mengherankan, kau dan kejahatanmu. Begitukah perbuatanmu atas keluargamu. Padahal mereka begitu cinta padamu dan karenamu, mereka saling menumpahkan darah. Mereka tak dapat mengambil pelajaran dari orang-orang yang telah berlalu". Kutipan dari Al Ghazali, Nasihat bagi Penguasa (terjemahan), Mizan, 1967, halaman 42.Jelmaan Fir'aun pasti tega mengorbankan rakyat
"Kalau aku membiarkan seekor kambing kurus dan berkudis di tepi sungai, aku khawatir ini dipertanyakan kepadaku di hari kiamat". Tauladan dari Umar bin Khattab r.a. itu, sangat jelas menunjukkan bahwa perhatian seorang pemimpin adalah pada seluruh makhluk (termasuk flora-fauna, dan alam) di wilayah tanggung-jawabnya selaku wali negeri (wali adalah yang melindungi wilayah dan rakyatnya, bukan penguasa semena-mena yang tak mau tahu nasib rakyat dan negeri, karena telah terlalu nyaman duduk di singgasana kezhaliman nan mewah). "Toh itu hanya sebagian kecil..." kata sang penguasa zhalim, ketika menyasikan rakyatnya dianiaya di negeri lain.
Pemimpin Jahat
"Apabila para pemimpinmu adalah orang-orang yang terbaik di antaramu, dan orang-orang kaya di antaramu adalah orang-orang yang murah hati, dan urusanmu (selalu) dimusyawarahkan di antaramu, maka hidup adalah lebih baik bagimu dari pada mati. Dan apabila para pemimpinmu itu adalah orang-orang yang jahat, dan orang-orang kaya di antaramu itu adalah orang-orang yang bakhil, dan urusanmu diserahkan kepada kaum wanita, maka mati itu lebih baik bagimu dari pada hidup" (HR At-Tirmidzi)Pemimpin bersifat terbuka, bukan penipu rakyatnya
"Tidak seorang hambapun yang Allah angkat sebagai pemimpin suatu rakyat, yang dia mati pada saatnya mati sedang dia tidak bersikap TERBUKA terhadap rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan syurga baginya (HR Muttafaq'alaih)"
Bangsa ini tak dipimpin untuk mengikuti kaum Fir'aun
► [Masukkan kursor ke dalam gambar untuk jalankan animasi] Di atas adalah gambar burung elang penjelmaan Ra, dewa tertinggi peradaban Mesir Kuno. Para fir'aun adalah penguasa politik, ilmu (disokong para tukang sihir untuk memanipulasi fakta dan data sehingga mereka dapat menguasai pola pikir), militer (dibantu tangan besi Haman), dan ekomomi (didukung keserakahan pengumpul harta, Qarun). Mereka nyaris berkuasa mutlak atas masyarakat, kaum lemah, atau secara umum, menguasai rakyat di wilayah kekuasaannya. Kekuasaan fir'auniyah adalah keterpaduan kekuasaan budaya-ilmu-politik-ekonomi yang dibangun dengan kedengkian dan kecurangan. Yang dimaksud budaya adalah dalam arti luas: mentalitas, pola ruhaniyah, pola pikir, atau millah [ada tanya-jawab dan komen tentang hal di atas, silakan klik ini untuk mengikutinya]. Bangsa ini sangat pantas untuk mensyukuri Ramadhan dengan cara secara serempak membersihkan diri dari sifat-keadaan kaum Fir'aun. Tentang ini, Syekh Abdul Qadir Jailani pernah meninggalkan renungan: "Engkau lebih memilih mengikuti jejak Fir'aun, Hamam, Qarun, Syaddad, 'Aad, dan orang-orang yang seumpama dengan mereka, yang telah dibinasakan oleh Allah lantaran terpedaya oleh dunia dan terpesona oleh angan-angan. Mereka telah melupakan Allah dan berbuat sekehendak hati, seolah-olah perbuatan mereka itu akan berlalu begitu saja tanpa ada pembalasan dari-Nya. Betapa banyak istana yang mereka bangun di atas penderitaan dan kesengsaraan orang lain; betapa banyak kehormatan dan harta benda orang lain mereka rampas; betapa banyak orang miskin dan terlantar mereka hinakan dan mereka jadikan lebih sengsara; betapa banyak orang kaya dan terhormat mereka jadikan jatuh miskin dan hilang kehormatan; dan betapa banyak bid'ah serta tradisi jelek yang mereka wariskan. Maka, Allah s.w.t. pun melenyapkan mereka beserta semua kekuasaan, kemegahan, kekayaan, kemewahan, dan kedudukan duniawi yang mereka miliki, lalu menggantinya dengan kebalikannya dari semua itu. Kemudian Ia mintakan pertanggung-jawaban dari semua pengkhianatan yang mereka perbuat. Mereka mendapat balasan yang amat berat dari-Nya yang tak terbayangkan oleh oleh mereka sama sekali. Mereka dipanggang dengan api dalam keadaan kedua tangan dan kaki terbelenggu, diberi makan dari buah zaqqum dan dhari', serta diberi minum dengan air hamim yang kesemuanya bagaikan bara api dan lahar yang mendidih, yang akan membuat tubuh mereka meleleh bila menelannya. Ingatlah! Betapa banyak doa dan rintihan di kesunyian malam yang dipanjatkan oleh orang-orang yang teraniaya karena ulah mereka, mengadukan kezhaliman yang mereka saksikan dari penguasa yang zhalim. Allah s.w.t. pun mengabulkan permohonan mereka. Ia berfirman: "Maka engkau tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka" (QS 69:8). Maka sebagian dari mereka ada yang ditenggelamkan Allah, ada yang ditelan bumi, ada yang dibunuh, ada yang diubah bentuk fisiknya menjadi kera, ada juga yang dimatikan hatinya lalu dicap dengan kemusyrikan dan kekufuran sehingga tidak bisa lagi dimasuki oleh Islam dan iman. Bukan itu saja, di akhirat kelak mereka juga mendapatkan adzab yang bersangatan dari-Nya. Ia berfirman: "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain" (QS 4:56). Mereka akan hidup selama-lamanya di dalam neraka dalam keadaan disiksa, dan tidak pernah keluar darinya. Allah s.w.t. berfirman: "Tinggallah kalian dengan hina di dalamnya, dan janganlah kalian berbicara dengan Aku" (QS 23: 108). Maka berhati-hatilah engkau wahai orang yang malang, dari mengikuti jejak mereka! Jika tidak, maka engkau pun akan turut celaka seperti mereka." Dikutip dari Abdul Qadir Jailani, Al-Ghuniyyah li Thalibi Thriq al-Haqq, terjmahan Bahasa Indonesia, Sahara Intisains, Jakarta, 2005, hal. 117-118. [huruf tebal pada kutipan di atas adalah dari kami. Admin, Glagah Nuswantara] 13 Sya'baan 1431H / 25 Juli 2010.
Bagai bintang, tajam menembus zaman
Kehidupan para tani dengan tanamannya tidaklah berbeda jauh dengan kehidupan pemimpin sejati dengan bangsanya. Betapa sulit dan lelahnya pemimpin sejati menata kehidupan bangsanya agar memperoleh kehidupan yang diwarnai keselamatan dan kebahagiaan haqiqi. Setiap langkah kehidupan bangsa selalu diupayakan agar selaras dengan idea-pemikiran yang laras-lurus Kebenaran. Apapun rintangan dan hadangan selalu dihadapi dengan gigih. Tidak peduli, apakah dirinya menjadi sasaran ejekan dan cemoohan, bahkan tidak sedikit fitnah dilemparkan pada dirinya, yang penting bangsa dapat diselamatkan dengan meraih bahagia. Buah derita perjalanan hidup pemimpin sejati adalah keselamatan dan kebahagiaan bangsa. Hidup dan kehidupan pemimpin sejati hanya diperuntukkan pada bangsa. Bangsa laksana tanaman di mata para tani. Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira pemecahan masalah dan pemberi peringatan arah perjalanan hidup bangsa-nya. Pemimpin sejati bukan sekedar politikus yang hanya mempedulikan kepentingan dirinya atau kelompok golongannya sendiri. Bukan pula mengejar kehormatan pangkat kedudukan diri, apalagi menumpuk harta kekayaan demi anak keturunan. Pemimpin sejati menyajikan pemikiran-pemikiran tentang inti suatu kehidupan, mereka berpengelihatan jauh menembus zamannya. (Dikutip-sunting dari buku Ki Moenadi MS, 'Pemuda Pembangkit Pembaha- ruan Meraih Kemenangan Negeri dan Bangsa', Yayasan Badiyo, 1421H). [Taufik Thoyib] 8 Sya'ban 1431 / 20 Juli 2010.Menerima jabatan bukan karena berpamrih atasnya
Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut (berpamrih atas) suatu jabatan. Sesungguhnya jika (kamu) diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya (urusan itu) (HR Bukhari dan Muslim). Kami tidak mengangkat orang yang berambisi (berpamrih meraih) kedudukan (HR Muslim).Wanita sebagai pemimpin
Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin (HR Abu Na’im). Semua dari kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepe- mimpinannya. Seorang imam (adalah) pemimpin dan bertanggung-jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung-jawab atas kepemim- pinannya. Seorang istri (adalah) pemimpin dan bertanggung-jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan, pegawai) bertanggung-jawab atas harta maji- kannya. Seorang anak bertanggung- jawab atas harta ayahnya (HR Bukhari dan Muslim).Memilih pemimpin dengan asas mayoritas (selebritas/ popularitas)?
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan- mu dari jalan Allah... (QS 6:116). Telah kami tulis bahwa seluruh nabi dan rasul tidaklah mengikuti masyarakat manusia dengan asas kebenaran mayoritas (yang suaranya terbanyak dipandang benar, atau kebenaran relatif yang esensinya berubah-ubah mengikuti yang menguasai pemaknaannya). Akan tetapi para nabi dan rasul berjuang sungguh-sungguh untuk mentaati perintah dan menegakkan kalimat Allah. Mereka menyampaikan kebenaran Allah selaku Al Haqq yang bersifat mutlak, yang sebenarnya sekaligus merupakan rahmat kasih-sayang Allah bagi manusia agar hidup manusia selamat. Sayangnya, kebanyakan manusia menyambut para nabi dan rasul dengan bantahan, dan bahkan permusuhan! Bahkan bukan hanya permusuhan, tetapi juga fitnah dan penjungkir-balikan nilai. Yang sebenarnya haqq menjadi ternilai dan tampak salah, sedangkan yang bathil disiasatkan (di-politisir) dan disebar-luaskan sebagai kebenaran. Mereka membolak-balik nilai, karena menguasai media informasi global sehingga fakta-fakta mudah dikabur-palsukan untuk akhirnya diputar haqq dan bathilnya. Itulah politik terhalus yang seringkali menjerumuskan ummat manusia. Itulah maksud dari ”menguasai pemaknaan” sesuatu objek telaahan. Pemutar-balikan kenyataan seperti ini sudah diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: ”Dan bila dikatakan kepada mereka: ’Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ’Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’” (QS 2:11). Rasulullah s.a.w. pun sudah memberi isyarat bahwa yang beliau takutkan di zaman sesudahnya ialah banyaknya orang munafik yang pandai berolah kata. Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010 Jika rakyat menjadi pencinta dunia dan karenanya tega menzhalimi sesama manusia dan merusak alam lingkungan huniannya, dari siapakah tauladan itu?Penguasa, kalian adalah guru bagi rakyat
"...[W]atak dan perangai rakyat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai para pemimpinnya. Sebab keburukan yang dilakukan orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan mereka. Orang awam belajar dari mereka, meniru watak dan kebiasaan mereka" "Tahukan baginda, jika terdapat kemajuan pada sebagian negeri, dan penduduknya merasa aman dan tenteram, ini menjadi bukti bahwa sang raja adil, cerdas, ulet, dan memiliki komitmen yang baik terhadap rakyat dan seluruh penduduk negeri. Dan ini tidak bermula pada rakyat." Kutipan dari Al Ghazali, Nasihat bagi Penguasa (terjemahan), Mizan, 1967, halaman 137 dan 139.Pengorbanan pemimpin untuk rakyatnya
Riwayat di bawah memberi ketauladanan bagaimana seorang pemimpin rela mengorbankan nafsunya (dan dengan sendirinya jasadnya) yang tengah sangat menderita, demi keutuhan jama'ah (atau dalam skala lebih luas, rakyatnya) Al-Musawwar bin Mukhramah r.h. menceritakan bahwa ia menjumpai Umar bin Khattab r.a. pada malam tertikamnya (ditikam oleh Abu Lu'lu'ah). Ia membangunkannya untuk shalat subuh. Pada saat itu Umar sebagai pemimpin negara, sementara kondisinya luka parah dan kritis sekali. Namun shalat subuh tidak ditunda. Apa jawaban Umar bin Al-Khaththab pada saat dibangunkan Al-Musawwar bin Mukhramah r.h? Dia berkata,"Ya, tidak akan mendapatkan keuntungan sedikitpun dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat." Padahal waktu itu darah segar masih mengalir dari lukanya. Karenanya, Abdullah bin Umar r.a. berkata,"Apabila ada seseorang yang tidak ikut berjama'ah shalat subuh, hal ini dapat membuat kita berprasangka buruk padanya. Bisa jadi ada yang menimpa diri atau agamanya!" (HR. Malik Al-Muwaththa'). .. ..Khalifah: melayani kaum lemah
Al-Auza'i berkata bahwa Umar bin Khattab r.a. pernah keluar di tengah kegelapan malam, lalu dilihat oleh Thalhah. Umar memasuki sebuah rumah lalu masuk ke rumah lainnya. Pada keesokan harinya Thalhah pergi ke rumah itu, ternyata terdapat seorang nenek yang buta dan lumpuh. Ia bertanya: 'Mengapa orang itu datang kepadamu?'Nenek itu menjawab: 'Ia secara rutin mendatangiku sejak begini dan begini, untuk mengurusku dan mengeluarkan kotoranku'. Lalu Thalhah bergumam sendiri: 'Mampuslah kau Thalhah, apakah engkau hendak mencari-cari kesalahan Umar?'Dikutip dari Al-Muhaimid, Shalih bin Abdul Aziz, 2006, '1000 Hikmah Ulama Salaf, Pustaka eLBA [La Raiba Bima Amanta], Surabaya 'Ada lima perkara yang harus kalian waspadai... Aku (Muhammad Rasulullah s.a.w.) berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian. [1] Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka. [2] Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan diadzab dengan paceklik, kesusahan hidup, dan kezaliman penguasa. [3] Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat melainkan mereka akan dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan tak akan diturunkan. [4] Tidaklah para pemimpin mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh menguasai mereka, lalu merampas sebagian (kekayaan negeri) dari apa yang ada di tangan mereka. [5] Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka' [HR Ibn Majah]Tauladan Menggempur Takabur
Sayidina Umar bin Khattab, r.a. tidak berbangga dan sangat menjaga hatinya ketika menjadi khalifah. Pada satu ketika dia mengangkut air di belakang badannya. Maka beliau ditegur oleh sahabat-sahabatnya, “Hai Amirul Mukminin, mengapa tuan sendiri yang memikul air ini?” Jawabnya, “Aku merasa bahwa diriku telah merasa takabur, lalu kupikul air ini untuk menundukkannya.” Beliau sangat menganjurkan rakyatnya hidup berdikari. Sayidina Umar pernah berkata, “Pelajarilah hidup susah, karena mungkin engkau kelak akan menderita dengan kesusahan.” Beliau juga pernah berpesan, “Pekerjaan yang kelihatannya rendah lebih mulia dari sikap meminta-minta.” Semoga pemimpin negara kita dapat mewujudkan bangsa mandiri dan berkedaulatan, bukannya meminta-minta walaupun dalam bentuk bantuan atau kata lain berhutang. Di sisi lain apa yang dicontohkan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menegakkan keadilan di dalam pemerintahannya. Penguasa-penguasa yang zalim dipecat dan digantikan dengan orang yang lebih layak untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Yahya Al-Ghassani menceritakan (bahwa) seorang gubernur menulis surat kepada beliau (Umar Bin Abdul 'Aziz): "Wahai amirul mukminin, negeri kami ini telah rusak, alangkah baiknya jika tuan memberi jalan untuk memulihkan negeri kami." Khalifah Umar menjawab surat itu dengan berkata: "Apabila engkau membaca suratku ini hendaklah engkau memagari negerimu dengan keadilan dan bersihkanlah jalan-jalannya dari kezaliman. Sesungguhnya itulah pemulihannya." Dikutip dari Mutiarazuhud Wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.“Tolonglah aku, jika aku benar dan koreksilah aku jika aku salah. Orang-orang yang lemah di antara kalian harus menjadi kuat bersamaku sampai, atas kehendak Allah, haknya telah disyahkan. "Orang-orang yang kuat di antara kalian harus menjadi lemah bersamaku sampai, jika Allah menghendaki, aku akan mengambil apa yang harus dibayarnya”
“Patuhilah aku selama aku patuh kepada Allah dan Rasulullah, bila aku tidak mematuhi Allah dan Rasulullah, jangan patuhi aku lagi. Tidak ada pembicaraan yang baik, jika tidak diarahkan untuk memperoleh ridha Allah swt”
“Tidak ada manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah tidak akan ridha kepadanya selama dia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.”
“Kita menemukan kedermawanan dalam taqwa (kesadaran akan Allah), kekayaan dalam yaqin (kepastian), dan kemuliaan dalam kerendahan hati. Waspadalah terhadap kebanggaan sebab kalian akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan dimakan oleh cacing.”
Ketika beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdoa kepada Allah dan berkata, "Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, dan Aku lebih mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku. Jadikanlah aku lebih baik daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, maafkanlah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan aku bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan.”
“Jika kalian mengharapkan berkah Allah, berbuatlah baik terhadap hamba-hamba-Nya.”
Suatu hari beliau memanggil Umar ra dan menasihatinya sampai Umar menangis. Abu Bakar berkata kepadanya: "Jika engkau memegang nasihatku, engkau akan selamat, dan nasihatku adalah harapkan kematian selalu dan hiduplah sesuai dengannya”.
“Mahasuci Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat pengetahuan mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidak-berdayaan mereka dan tidak ada harapan untuk meraih pencapaian itu”.
Dikutip dari web Embun Kehidupan
Makan dari usaha dan tangan sendiri Nabi Daud a.s.keluar malam dalam penyamaran, agar tak dikenal. Setiap orang yang berjumpa dengannya selalu ditanya tentang dirinya. Lalu Malaikat Jibril a.s. datang dalam bentuk seorang lelaki. Nabi Daud pun bertanya kepada Jibril tentang dirinya. Jibril menjawab: "Benar ia seorang hamba, tetapi ia (pemimpin yang) makan dari harta baitul maal ('kas negara'), tidak dari hasil usaha dan kerajinan tangannya sendiri." Daud segera pulang bergegas menuju mihrab. Ia menangis prihatin. Lalu berdoa: "Ya Allah, beri aku keterampilan, agar aku dapat hidup dan makan dari dari hasil usahaku sendiri." Allah pun memberi Daud a.s. keterampilan membuat baju besi berantai (baju perang).
Tanggungjawab atas makhluq Allah di wilayahnya
Umar bin Khattab r.a. (pada waktu menjadi khalifah -Admin) keluar makan bersama para peronda. Ia menemukan kejanggalan lalu berkata: "Kalau aku membiarkan seekor kambing kurus dan berkudis di tepi sungai, aku khawatir ini dipertanyakan kepadaku di hari kiamat".Tentang Nabi Daud dan Umar bin Khattab di atas, dikutip dari Al-Ghazali, Nasehat bagi Penguasa, Mizan, 1967, halaman 156
Hawa Nafsu
Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala; berhala benda adalah ular, berhala ruhani adalah naga Menghancurkan berhala itu mudah, mudah sekali; namun menganggap mudah mengalahkan nafsu adalah tolol Wahai anakku, jika bentuk-bentuk nafsu ingin kau kenali, bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya Dari hawa nafsu setiap kali bermunculan tipu muslihat; dan dari setiap tipu muslihat, seratus Fir'aun dan bala tentaranya terjerumus Kutipan dari Rumi: Sufi dan penyair, terjemahan Abdul Hadi WM, Pustaka, Bandung, 1985) [Glagah Nuswantara] 17 Sya'ban / 29 Juli 2010Mawas diri, mengawasi diri, sibuk meneliti aib diri
Menjelang Ramadhan Bulan Ampunan marilah kita renungi, betapa sulitnya mengetahui, apalagi menyadari dosa untuk lanjut memohon ampunan Allah serta bertaubat. Bisa jadi, bak mengusir kutu-busuk di tengkuk. Keluarga orangutan, seperti menyindir manusia, bahwa mereka pun memerlukan sesama untuk membersihkan dirinya masing-masing. Bisakah manusia melihat tengkuknya sendiri? Jika tidak, mengapa ia sulit menerima ridha peringatan dari pihak lain? Bukankah tidak mustahil Allah menggerakkan makhluq-Nya untuk memperingatkan diri kita? Sungguh tak mudah mengetahui dan mengakui kotoran diri. Maka, tepatlah jika dikatakan: "Manusia-manusia pertama yang sepantasnya banyak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang senantiasa mendapat peringatan tentang dosa-kesalahan, baik yang akan sedang maupun sudah berlangsung" (Ki Moenadi MS, lihat tulisan ini). Oleh sebab itu, perbuatan mawas diri (muraqabah) dan menghisab diri sendiri (muhasabah) sangat penting dalam rangka mendidik nafsu. Bahkan sebenarnya merupakan terapan olah-lanjut dari bertasbih menjaga pembersihan yang telah Allah langsungkan pada diri. Allah menurunkan kebaikan-kebaikan, sedangkan manusia hanya dapat mensyukurinya dengan menaikan keburukan-keburukan. Abu Hafas berkata: "Orang yang paling cepat binasa adalah orang yang tak tahu cacat dirinya". Abu Utsman berkata: "Seseorang tak dapat melihat cacat dirinya selama ia menganggap baik dirinya. Hanya dengan mencurigai dirinyalah ia akan dapat melihat cacatnya itu" (dikutip dari Abdul Qadir Jailani, Al-Ghuniyyah li Thalibi). Nabi s.a.w. mengajarkan: "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain (HR Adailami). [Taufik Thoyib] 12 Sya'baan 1431 / 24 Juli 2010.Bukan hanya perbudakan jasad, tetapi juga sistem dan mentalitas
Di dalam Al Qur'an, perintah membebaskan perbudakan ada pada Surat 90 Ayat 13: فَكُّ رَقَبَةٍ, yang artinya "Membebaskan perbudakan". Kata bernuansa imbauan itu berlaku untuk sepanjang zaman. Maka, sangat gegabah untuk memahami bahwa perbudakan telah terhapus dari peradaban ummat manusia. Buktinya, tenaga kerja Indonesia di luar negeri berkali-kali diberitakan mengalami penganiayaan sebagaimana yang diderita para budak di zaman dahulu. Indonesia pun makin terkungkung pada sistem politik-ekonomi hutang yang sangat menjerat, dengan akibat negeri ini sangat mudah didikte pihak asing, bahkan tak lagi mempunyai kewibawaan tanda keberadaannya. Lebih parah lagi, hutang dan perbudakan fisik itu disebabkan karena pola pandang bangsa Indonesia sendiri yang berubah (mau diubah pihak asing) menjadi sangat materialistik atau hubbud dunyaa. Dengan demikian perbudakan sesungguhnya bertingkat-tingkat, dari yang paling kasar ke yang sangat halus, sebagai berikut: • perbudakan fisik, • perbudakan sistem (militer, politik-ekonomi, sosial, budaya), dan • perbudakan mentalitas. Makin halus sifat perbudakan itu, justru lebih menindas dan mematikan. Itulah yang terjadi di negeri ini. Tak ada jalan lain, kecuali bangsa ini mesti bertaubat. Yaitu kembali kepada ketetapan Allah untuk masyarakat dan tanah-air ini. Apakah ketetapan itu? Kehidupan seluruh anak-bangsa yang santun berkesetimbangan dengan nuansa negeri nan indah-makmur bersahaja. Bukan sejahtera dalam persaingan saling-tindas meraih kemegah-mewahan dengan kehancuran manusia dan lingkungan alam sebagaimana arah yang dituju, diupayakan, dan hasil yang dicapai selama ini. Insya Allah, tulisan yang akan datang di weblog ini akan menguraikan hal tersebut. [Taufik Thoyib]Dzikirlah kepada Allah, Gempa Bumi Mengisyaratkan Kematian
Dari Sufyan ats-Tsauri: Bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. jika malam mencapai dua per tiganya, beliau bangun untuk melaksanakan sholat maka beliau bersabda: "Wahai manusia, berdzikirlah kalian kepada Allah, ingatlah kalian kepada Allah, jika datang gempa bumi dan diikuti gempa bumi (lagi), seluruhnya akan didatangi kematiannya (HR At-Tir- midzi, hasan shahih)Alam makmur-subur adalah rahmat bagi bangsa terhormat
Apa tolok ukur hidup yang dicontohkan Rasullullah Muhammad s.a.w.? Hidup tidak di atas kemewahan dan kegemerlapan, tetapi tidak pula tampil menjadi ummat pengemis. Renungilah kehidupan berbangsa. Meskipun kehidupan masyarakatnya penuh diliputi kemilau kemewahan tetapi apabila kehidupan alamnya tidak bersahabat, maka tidak dapat dikatakan bangsa tersebut bersandangkan kemakmuran. Sebab apapun bentuknya antara kehidupan masyarakat manusia dengan masyarakat alam-semesta tidak dapat dipisah-pisah. Suatu bangsa baru dapat dikatakan hidup dalam hunian makmur-bersahaja apabila seluruh unsur potensi baik pada masyarakat manusia maupun masyarakat alam semesta tumbuh-berkembang secara harmonis-damai, selaras-serasi dalam satu derap langkah mengikuti ketetapan Allah. Bangsa yang terhormat adalah bangsa yang memang dimuliakan oleh alamnya sendiri. Kemakmuran alam yang ada mengharumkan nama bangsa; kemakmuran yang disumbangkan oleh alam menjadikan bangsa itu hidup bebas tegak-berdiri berdikari tidak terikat-tergantung pada fihak mana pun. Bangsa itu bahkan berperan selaku kusir penentu kehidupan bangsa-bangsa lainnya. Lain halnya bangsa yang hidupnya banyak terikat-tergantung pada fihak lain. Misalnya saja, tergantung pada informasi, keilmuan, teknologi, atau hutang pada bangsa lain. Bagaimana pun pasti akan dipola-tentu-arahkan kehidupannya oleh fihak tempat bergantung. Apalagi bila suatu bangsa banyak hidup bergantung pada pemberian masyarakat bangsa Yhd yang telah nyata Allah tegaskan sebagai bangsa yang penuh dengan segala kedengkian terhadap Islam, maka apapun bentuk pemberiannya pasti berselubungkan motif-motif tertentu untuk menghancurkan. Adapun tanda-tanda ke arah penghancuran telah tampak pada kenyataan bermunculannya:Antara pertolongan dan kesungguhan
Belum banyak diketahui bahwa tak akan terjadi adanya resonansi getaran pertolongan Allah dalam upaya manusia, bila ia tak mendahului dengan kesungguhan. Oleh karena itu dalam segala hal dahulukanlah kesungguhan upaya untuk mengikuti pola Allah, yaitu Islam secara kaffah. Kesungguhan tersebut akan memancing getaran resonansi upaya manusia agar turun pertolongan-Nya. [Ki Moenadi MS] Marilah kita renungkan: "....Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan nafsu (apa yang ada pada diri) mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum (karena kaum itu memilih keburukan), maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS 13:11).Akhlaq: Ukuran Pertama Kepribadian Manusia
Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an
Kepribadian Luhur Bangsa-Negeri Indonesia
Fithrah Manusia: Ingin Mengetahui Yang Haqiqi
Kebodohan Membuat Manusia Buta terhadap Kasih dan Peringatan Allah
Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta
Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka
Kesombongan:Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah
PENGANTAR SERI TULISAN INDONESIA RAYA
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya!
Sadarlah Hatinya, Sadarlah Budinya!
Majulah neg'rinya, Majulah Pandunya
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
Kebangkitan Negeri: Mengangkat Kembali Harkat-Martabat Bangsa
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
Bumi Tanah Subur, Makmurlah Rakyat dan Luhurlah Peradabannya
Negeri Kesayangan dan Ridha Ilaahi (NKRI) Disyukuri dengan Pola Hidup Materialistik?
NKRI: Negara Kleptokrasi Republik Indonesia?
Negeri Kesayangan dan Rahmat Ilaahi (NKRI), Hanya Sesuai dengan Hidup Makmur Bersahaja
Janganlah Membuat Kerusakan di NKRI
Fitrah Manusia Merdeka adalah Bertauhid-Murni, Penuh Syukur atas Rahmat Allah
Besar itu adalah besarnya kekuasaan Allah; Besar itu adalah besarnya kekuatan Allah; Besar itu adalah besarnya kehendak Allah; Di hadapan Allah segalanya menjadi kecil; Jika yang kecil berhadapan dengan yang Besar maka tiada arti sama sekali; Tiadalah arti kehendak yang kecil, karena yang akan terlaksana hanyalah kehendak yang Besar, maka memahabesarkan Allah itu berma’na melenyapkan kehendak diri, diri tidak lagi berkeinginan karena semua keinginan itu tercegah, sedangkan yang akan dan pasti terlaksana hanyalah keinginan Yang Maha Besar.
Assalamu'alaikum wr.wb.
Ketika Sang Ramadhan meninggalkan kita tahun kemarin, sebuah pertanyaan tersisa: benarkah kita selaku pribadi dan selaku kesatuan kaum mu'minun, baik pada skala bangsa Indonesia maupun pada skala ummat Islam global, telah meraih kemenangan? Bila ya, tentu telah terajut-kembali seluruh unsur daya potensi ketenagaan dalam diri kita sehingga nyata, terhidupkan lagi fungsi fitrah kita.Tak hanya demikian. Jika fitrah masing-masing teraih kembali, pasti teranyam pula masyarakat kaum beriman sebagaimana ditauladankan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat setianya. Ada kesamaan pandangan, untuk mengadakan persiapan dan melangkah-nyata dengan teguh dan kokoh. Ada kebersamaan mengolah-lanjut potensi masyarakat dan alam di masing-masing lingkungan hunian kita, sesuai dengan apa yang digaris-tetapkan oleh Allah selaku Sang Maha Pencipta. Indonesia pasti akan bangkit dari keterpurukan panjangnya. Demikian pula negeri saudara-saudara muslim di seluruh dunia.
Jika hal itu belum tercapai, berarti sebagai bahagian dari bangsa Indonesia, kita ummat muslim, sama sekali tak dapat menilai-diri berhasil meraih kemenangan yang dibawa-sajikan oleh Sang Ramadhan. Namun paling tidak, semoga Ramadhan ini menjadikan kita makin gigih dan tetap bersemangat untuk terus berupaya penuh kesungguhan mengadakan perbaikan diri, masyarakat, bangsa, dan negeri.
Untuk saudara-saudara pembaca di luar negeri, anda semua pun termasuk dalam rajutan ikatan hati dengan kami di Indonesia. Saran dan masukan anda untuk peningkatan weblog ini senantiasa kami tunggu di email kami [kajianbudayailmu@yahoo.com]. Akhirnya, ijinkan kami mengucapkan:Taqabballaahu minna wa minkum, minal 'aidiin wal faiziin, seluruh jajaran aktifis Kajian Budaya Ilmu memohon maaf bathiniyah dan lahiriyah, selamat Hari Raya Fithri 1433H,
Wasalamu'alaikum wr. wb.,
Admin/Taufik Thoyib
Assalamu'alaikum wr.wb.
Meskipun Ramadhan merupakan thariqah Ilaahiyah menuju terjalinnya hubungan cinta antara Allah dengan hamba, pada dasarnya sebagian besar dari rangkaian ibadah puasa merupakan jalan pembentukan jalinan hubungan kasih di antara sesama. Sejak dari amaliah puasa, menahan lapar-dahaga adalah bagian dari proses pembelajaran menumbuhkan rasa kebersamaan dengan sesama, ikut-serta merasakan penderitaan yang kesulitan; begitu pula himbauan berzakat merupakan bagian dari proses ikut berbagi kenikmatan dari yang berlimah kepada yang kekurangan, sekaligus sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Dengan Puasa dan zakat itu lebur-bersatulah keberbedaan keadaan di antara sesama, sehingga terbentang hunian permadani kehidupan dalam naungan kedamaian.Bagaimana uraian dan kejelasannya? Silakan unduh Khutbah dari Ustadz Lutfi Fauzan di atas dengan meng-klik tombol-unduh:
versi ringkasan (134KB) atau
versi lengkap-nya (147KB).
Semoga bermanfaat --Admin
"Mungkin hasil yang diraih orang yang berpuasa hanya lapar dan dahaga; dan mungkin hasil yang diraih seorang yang shalat malam hanyalah berjaga" (HR Imam Ahmad).
Shiyam adalah keikhlasan terhadap Allah swt untuk diampuni, diperbaiki, dan dibebaskan dari dosa. Shiyam di Bulan Ramadhan bukanlah berlaku di siang hari saja, sedangkan malam harinya dipergunakan untuk melampiaskan segala nafsu duniawi.Bersatu di atas pondasi kekuatan kaki sendiri
Bagi hati yang sudah tersibak dosanya, akan melihat kedatangan Ramadhan bukanlah suatu kunjungan rutinitas ibadah menahan lapar-dahaga. Tanda keberadaan Ramadhan berhasil didaya-manfaatkan adalah lebih kokohnya kebersamaan dari ragam-keberbedaan menyatu, kokoh hantarkan sikap hidup bersatu di atas pondasi kekuatan kaki sendiri. Hal ini berlaku baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Wujud kebangkitan mencuat adalah ketekatan bersama membebaskan hidup dan kehidupan dari segala bentuk ketergantungan. (Dari buku Ki Modenadi MS, “Rukun-Bersatu dalam Wadah Nilai Meng-Esa-Tauhid-kan Allah”, Yayasan Badiyo, Malang, 1423H (2002).Sadarilah samudra rahmat Allah
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244). "Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).Berlayarlah di samudera rahmat-karunia Ramadhan
Dalam kehidupan ini hanya ada dua samudra yang dapat dilalui. Namun sebenarnya, hanya ada satu samudra yang diperuntukkan kepada manusia. Sedangkan samudra yang satu telah diperuntukkan untuk makhluk ciptaan Allah yang paling tidak suka dengan kelurusan dan keteraturan tatanan kehidupan, yaitu iblis laknatullah. Terhadap iblis Allah sediakan samudra laknat. Bukan Allah yang mengharuskan iblis berjalan di atas samudra laknat, tetapi itulah yang menjadi pilihan iblis. Sedangkan bagi manusia serta isi alam semesta kecuali iblis, Allah sediakan samudra nan sangat luas tanpa batas, yaitu samudra rahmat dan karunia, yang karunianya terwujudkan secara nyata di Bulan Ramadhan ini. Mengapa? Fithrah manusia dan alam semesta hanya dapat berjalan di atas samudra rahmat dan karunia. Jika manusia dan alam semesta keluar dari samudra rahmat dan karunia, pasti yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran hidup di muka bumi ini. Bukankah ini yang terjadi? Dengan demikian bukankah semakin jelas sebenarnya bahwa Allah telah bersikap yang sebaik-baiknya kepada manusia dan memberikan yang terbaik bagi manusia, yaitu tempat kehidupan yang sesuai fitrahnya. Tetapi kebanyakan sikap manusia tidak menyambut baik kebaikan yang Allah berikan. Manusia lebih suka menolak atau menantang keinginan fithrahnya. Buktinya, manusia lebih suka memakai paksa baju akhlak tercela. Bagi makhluk ciptaan sebenarnya hanya ada satu samudra yang Allah sediakan, yaitu samudra rahmat dan karunia. Tetapi karena iblis meminta dan memaksakan diri untuk keluar dari samudra rahmat dan karunia maka Allah sediakan baginya samudra laknat. Marilah kita renungi firman Allah: Barang siapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barang siapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan), (QS. 30:44) Dikutip dari rangkuman kajian Ki Moenadi MS 10 Sya'ban 1418H, dokumentasi Taufik Thoyib. 18 Agustus 2010 (8 Ramadhan 1431H)Bersifatlah Pema'af, Bagai Bumi
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS 3:133-134). Aisyah r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w. tidak pernah (berusaha untuk) menang ketika dizhalimi, selagi hal itu tidak menyebabkan terlanggarnya larangan-larangan Allah s.w.t. Namun bila larangan-larangan itu dilanggar, beliau sangat marah dan tegas menyikapinya" (HR Muslim). Rasulullah s.a.w. dengan kelapangan dada yang tiada tara memaafkan Wahsyi, yaitu orang yang membunuh Hamzah bin Abdul-Muthalib, ketika Wahsyi telah memeluk Islam. Rasulullah s.a.w. hanya memalingkan muka seraya berkata: "Wahai Wahsyi menjauhlah dariku dan aku tak ingin melihatmu setelah hari ini". Ketika Perang Uhud, yang menyebabkan wajahnya terluka dan giginya patah, Rasul s.a.w. menolak permintaan para sahabat untuk berdoa supaya orang-orang kafir Quraisy mendapat celaka. Nabi justru berkata: "Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai tukang laknat. Tetapi aku diutus untuk menjadi juru dakwah dan penyebar kasih sayang". Dan ia berdoa: "Yaa Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tak punya pengetahuan". Setelah merebut Kota Mekkah kembali, Rasul s.a.w. pun tak membalas sikap permusuhan penduduknya. Beliau berkata: "Saya menyampaikan ucapan yang pernah disampaikan saudaraku Yusuf a.s.: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang" (QS 12:92). Ia juga berkata: "Barang siapa mau memberi maaf di saat ia mampu (membalas), Allah akan mengampuni dosa-dosanya esok di hari yang penuh kesulitan" (HR Bukhari). Ramadhan adalah bulan rahmat dan ampunan. Tak ada yang lebih pantas dari menyambutnya dengan memasang atau membangun sikap pemurah. Pemaaf, adalah sebagian dari kepemurahan itu. Bangsa ini sangat perlu mengambil sikap tepat dan bijak. Pelanggaran hukum, bagaimanapun perlu ditindak tegas. Namun banyak pula perkara antar ummat muslim (mulai dari skala rumah tangga hingga negara) yang dapat diselesaikan dengan saling memberi maaf, bukan saling meminta hak. Hanya dengan kesatuan langkah itulah, ummat Islam di negeri ini dapat maju mempelopori perbaikan dan kebangkitan. Para pemimpin negeri ini hendaknya belajar dari bumi. Ketika cangkul upaya melangsungkan hidup jujur diayunkan ke punggungnya, ibarat lebih dari sekedar memaafkan, bumi justru membalas manusia dengan tanaman pangan dan buah berlimpah. Namun ketika dijarah keserakahan menjualnya pada pihak yang licik-tamak, bumi pertiwi tak akan diam lagi. Bukan amarah, tetapi sekedar menjalankan hukum alam kekuasaan Allah atas perilaku manusia yang berbuat kerusakan dan semena-mena di atas punggungnya. Bencana, bencana, dan bencana. Tulisan dengan font abu-abu disarikan oleh Taufik Thoyib dari Abdul Mun'im al-Hasyimi, 2009, Akhlaq Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, Gema Insani, Jakarta, halaman 357-365. 6 Ramadhan 1431H / 16 Agustus 2010Perasaan-hati kotor karena terikat dunia (hubbud-dunyaa)
Ahad pagi 10 Syawwal 545H, di Ma'had, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. berkata dengan mensitir sabda Nabi s.a.w.: "Barang siapa baginya dibukakan pintu kebaikan, hendaklah ia dapat mencapai peluang itu, karena tidak diketahui kapan pintu itu akan ditutup baginya". Wahai manusia, capailah dan peliharalah pintu hidup selagi terbuka. Mungkin dalam waktu dekat ini akan tertutup kembali bagimu. Jagalah perbuatanmu yang baik, selagi engkau masih mampu melakukannya. Peliharalah pintu taubat, masuklah ke lorong-lorongnya selagi masih terbuka bagimu. Peliharalah pintu doa, karena pintu itu terbuka bagimu, peliharalah pintu ke temanmu yang baik, sesungguhnya pintu itu masih terbuka lebar untukmu. Wahai manusia, bangunlah dirimu dari sesuatu yang menggoncang- kanmu. Sucikan dirimu dari sesuatu yang mengotorimu. Perbaikilah dirimu dari sesuatu yang merusakmu. Jernihkan keruh kotormu, tahanlah dirimu dari kesukaan yang engkau ambil, kembalilah kepada Robbmu dari perselisihan dengan orang-orang di sekitarmu, yang engkau jadikan pelarianmu. Wahai hamba, di sana tiada apapun, kecuali Dzat Sang Pencipta Azza wa Jalla. Oleh karena itu, jika engkau merasa bahwa keberadaanmu bersama Dia berarti engkau adalah hamba-Nya. Jika keberadaanmu bersama makhluk, berarti engkau yang menjadi hamba mereka (perasaan-hati hendaknya terikat ketat kepada Allah karena terpikat asma-indah-Nya, sedangkan fikiran-'aqal tetap penuh daya juang memanfaatkan isi dunia sebagai bekal perjalanan menuju keselamatan di akhirat -Admin). Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (QS 3:14). Wahai hamba, engkau jangan bermalas-malasan karena sifat malas itu membuat sesal dalam penghambaan ini. Permurahlah tingkah dan perbuatanmu karena Al Haqq telah bermurah terhadapmu di dunia dan di akhirat. Wahai hamba, jadikanlah doamu sebagai pengikat, kembalikan pada kerelaan. Sesekali jangan engkau berdoa dengan mulutmu, sedang hatimu menerawang berpaling dari-Nya. Di hari kiamat seluruh manusia akan mengakui setiap perbuatan yang pernah dilakukan di dunia, baik yang bagus ataupun yang buruk. Di sana sesalmu tiada berguna dan ingatanmu tidak berfungsi. Di hari itu, tidak berguna pula mengingat kerja berat sebelum mati. Ingat, kebun halaman dan persemaian biji itulah saat perhitungan manusia dimulai secara total. Jauh sebelumnya Nabi Muhammad s.a.w. memperingatkan: "Dunia adalah ladang tempat bercocok tanam untuk akhirat; maka barang siapa yang bercocok tanam yang baik, niscaya ia akan menerima hasilnya dengan rasa puas; dan barang siapa bercocok tanam buruk, niscaya akan menuai sesal". Apabila datang kematian, barulah engkau bangun sadar, tetapi waktu itu kebangunanmu tak berguna. "Wahai Allah, bangunkanlah kami dari tidur melalaikan Engkau, jagakan kami dari ketumpulan yang melupakan Engkau". Amiin. Kutipan dari Abdul Qadir Jailani, Petunjuk Jalan Menuju Makrifatullah, terjemahan KH. Habib Abdullah Zakiy al-Kaaf, Pustaka Setia, Bandung, 2003. Ayat, gambar ilustrasi, huruf tebal dan keterangan dalam kurung dari kami, Admin. [Taufik Thoyib] 20 Sya'ban 1431H / 1 Agustus 2010
Manusia Makhluq yang Sok Menilai
Ketika manusia menilai sesama, apakah diri si penilai lebih baik dari pada yang dinilai? Kelemahan ummat Islam ialah menilai baik perbuatannya sendiri sehingga merasa golongannya telah baik dan kehilangan semangat perbaikan Sudahkah diketahui dengan pasti tolok ukur baik, benar, dan indah ketika mns menilai sesama? Apabila seseorang telah berani menilai, mestinya ia telah memiliki pedoman pasti Dapatkah menilai baik seseorg, jika pada hatinya terselip maksud kerusakan dan kejahatan? Dapatkah ortu/guru mengatakan anak atau anak-didiknya baik jika dasar menilainya hanyalah rapor? Benarkah rapor/transkrip dapat menilai akhlaq yang disandang anak/anak-didik? Dapatkah kita menilai pendidik dan anak didik yg sama cerdas itu baik, jika sama-sama terperosok ke dlm kerusakan akhlaq? Kita baru bisa menilai sesuatu jika sifat penilaiannya menyeluruh. Yang tahu pasti-menyeluruh tentang sesuatu hanyalah Allah. Jika manusia hendak menilai sesama, mengapa tidak bertanya kepada Al Qur’an Kitab Allah? Kesombongan dalam menilai banyak dialami manusia. Belum lagi buah kesombongan lainnya. Jika manusia menilai sesama, apa yang dipandang dan dinilai baik belum tentu sama di sisi Allah Boleh jadi apa yang dipandang dan dinilai baik oleh guru, justru bernilai buruk di sisi Allah Guru sering menilai baik anak didiknya hanya karena ia telah berhasil membeo ajaran si guru Apakah guru menilai dgn menyoroti akhlaqnya? Jika tidak, di sisi Allah bisa jadi penilaian itu buruk Guru bisa sebabkan anak didik tertipu: mereka merasa baik, tanpa menyadari kerusakan akhlaqnya. Tugas Budaya tiap MuslimPengertian umum "budaya" yang beredar di kalangan masyarakat pengguna Bahasa Indonesia adalah "tradisi", "kebiasaan", "keadaan suatu mentalitas". Contoh "budaya korupsi". Namun secara mendasar, pengertian "budaya" adalah pola fikir, yang menghantarkan manusia pada kebenaran yang diyakininya. Bagi muslim, tentu saja kebenaran hakiki yang diyakininya adalah yang dijelaskan dan dibawakan Islam. Itulah kebenaran hakiki, kebenaran dari Allah yang disampaikan-Nya pada ummat manusia lewat para nabi. Sebagai tuntunan, kebenaran hakiki itu mesti mencermin pada segala perbuatan manusia: mulai dari per- buatan bathiniyah, perbuatan pikir, perbuatan lisan, sampai dengan perbuatan lahiriyahnya. Keselu- ruhannya, bersama-sama pribadi-pribadi lain dalam struktur dan sistem kermasyarakatannya secara berkesinambung-lanjutan, membentuk "kebudayaan". Sinambung menyangkut ruang (geografi), lanjut menyangkut waktu (sejarah). Apa beda budaya Islami dan budaya Barat (Yhd)? Budaya yang haq (Islami) sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan budaya yang bathil. Konsepsi budaya Barat adalah konsepsi YHD, yang dibangun dari pengertian colere (Latin) atau culture (Inggris; dalam Bhs Belanda adalah "kultuur"). Itu pasti bathil, karena YHD tidak memposisikan Allah s.w.t. sebagai awal dan muasal budaya. Telah tegas dan jelas pula bahwa sifat-asma Allah adalah Al Mubdi'u, atau yang Maha Mengawali. Dalam bahasa Indonesia (yang Kamus Besar Bahasa Indonesia-nya --KBBI-- belum tentu dibuat secara murni-konsekuen dengan pedoman pengertian Al Qur'an), konsepsi budaya yang dimaksudkan lebih dekat dengan, atau bahkan sekedar terjemahan dari pengertian "culture" yang konotasinya adalah "cult" (pemujaan), "culture" (pembudi- dayaan tanaman yang terutama bertujuan mendapatkan HASIL-MATERIAL-nya dengan berlipat, dalam tempo sesingkat-singkatnya, dengan cara semudah-mudahnya dan dengan modal/pengorbanan sekecil-nya). Itulah ciri khas pandangan kaum materialistik yang atau lebih dikenal dengan kapitalisme yang MEMUJA MATERI (hubbud-dunyaa). Bukankah KBBI adalah bukti autentik tentang bagaimana YHD menentukan pola pikir bangsa Indonesia yang mayoritasnya muslim dan yang semestinya berpedoman hidup --termasuk mengkonsepsikan bahasanya-- dengan nilai-nilai qur'ani? Sekali lagi, YHD tidak menjajah Indonesia secara fisik, tetapi secara millah ("agama" sebagai ajaran pola pikir, bukan formalitas keagamaan). Bahkan sejak renesans, boleh dikatakan YHD menjajah dunia (termasuk ummat kristiani) dengan cara mendikte-doktrinkan pola pikir materialisme-individualisme mereka. DEMOKRASI adalah ajaran mereka (lihat tulisan di bawah "Ide Islami Diperangi"). Karenanya, kita sendirilah yang harus memaknai "budaya", agar masyarakat Indonesia di masa depan tak kehilangan nilai-nilai hakiki (Islami) dalam semua upaya pengembangan kebudayaannya. "Arti yang terkandung dalam budaya bangsa", tak lain adalah inti kandungan pola pikir yang ada dalam tradisi masyarakat bangsa yang sangat majemuk. Pola pikir yang tidak sesuai dengan esensi ajaran Islam, mesti dipergantikan dengan yang Islami. Untuk itu diperlukan bahasa kaum sebagaimana yang Allah tuntunkan kepada para rasul-Nya (QS 14:4). Dengan demikian, sampai akhir jaman, dalam rangka memperbaiki budaya kelompok-kelompok ummat manusia, Islam (dengan kandungan nilai-nilai hakiki atau UNIVERSALITAS yang bersifat TETAP) berfungsi selaku petunjuk yang mengarah-tentukan manusia (dengan peradaban berkandungan nilai-nilai LOKALITAS baik yang berskala pribadi, sangat lokal maupun global dan yang kesemuanya pasti bersifat hanya SEMENTARA, bahkan tak jarang berkandungan nilai-nilai yang bathil). Al Qur'an adalah petunjuk bagi manusia ("hudalinnaas"), baik yang ridha memeluk Islam sebagai muslim ataupun yang menolaknya. Akhirnya perlu ditegaskan TUGAS BUDAYA setiap muslim. Membedakan antara budaya yang haq dan budaya yang bathil sebenarnya adalah baru perkara pertama yang mesti disusul dengan perkara lain. Tak ada gunanya hanya mencaci-cela pihak lain atau MENGKAFIR-KAFIRKAN. Ada tiga tindakan untuk menghadapinya. Pertama, yang terpenting adalah dapat memahami dengan pasti, jelas, dan terang tentang YANG HAQ dan YANG BATHIL. Harap diingat bahwa kemampuan mem-"furqaan" adalah karunia Allah pada seorang hamba setelah yang bersangkutan membuktikan kesetiaan pengabdiaan; ia adalah hamba-setia Allah (lihat QS 25:1). Membedakan haq-bathil mustahil dilandaskan pada kemampuan logika-nafsu-subjektifitas manusia yang pasti tak bebas dari kesombongan, kedengkian, dan pamrih diri Kedua, mengupayakan penuh kesungguhan (berjihad-fii-sabilillaah) agar kekafiran itu tak merebak-menjalar-mengganas makin luas merusak manusia dan alam. Ketiga, menghijrahkan apa dan siapa yang tidak atau belum Islami menuju Islam. Itulah yang dimaksud dengan memerangi kekafiran. Utamanya perang ide dulu, lalu perang siasah atau strategi untuk menerapkan ide tersebut, dan baru mewajibkan-diri menggelar perang fisik jika diperlukan. Misalnya, jika hak suatu masyarakat di suatu daerah untuk mendapatkan informasi tentang Islam dihalang-halangi secara fisik oleh para penguasanya, maka bagi orang-orang-beriman sejati, penguasa dan seluruh anasir pendukungnya wajib diperangi secara fisik pula. Bila keadaan sesorang muslim tidak terpanggil dan tidak berani menegakkan yang hak dan memerangi yang bathil, belum atau bahkan tidak ber-amar ma'ruf nahi munkar, itulah bukti kekeroposan iman-nya. Berjihad-fii-sabilillaah demikian itu sudah menjadi kewajiban bagi tiap muslim sebagai bukti keterpanggilan dan KEBERPIHAKAN-nya pada Allah dan rasul-Nya. Tentu saja, upaya itu diwujud-nyatakan menurut kemampuan-kesempatan yang sesuai dengan diri dan kodrat tiap pribadi. Kemusliman seseorang bukan hanya dipamerkan lewat ibadah-ibadah formal atau yang kasat mata saja. Iman, letaknya di hati, dan pasti nyata-berbukti. Dan perasaan hati pasti mencuat dalam tataran perbuatan bathiniyah, pikir, lisan, sampai dengan lahiriyah [Taufik Thoyib]--16/09/2011.Ide Islami Diperangi
Jika benar para ulama, intelektual, maupun mereka yang merasa dirinya beriman telah dapat memahami fenomena dengan tepat dan pasti, tentulah guncangan kehancuran berkepanjangan tidak melanda kehidupan tanah air ini. Konsep “musyawarah” yang merupakan ajaran Islam --bahkan diabadikan Allah sebagai nama salah satu surat Al Qur’an, yaitu Surat ke-42, Surat Asy-Syuraa-- digantikan oleh konsep “demokrasi”; konsep “muslim” yang merupakan konsep manusia-sosial yang damai, serba menghargai dan menjaga hak hidup pihak lain termasuk alam semesta, digantikan konsep “demokrat”. Seolah menjadi umum bila dikatakan, makin seseorang bertoleransi makin demokratlah dia, dan makin "modern" atau "beradab"-lah dia. Bahkan dalam hal tertentu, konsep demokrat langsung maupun tak langsung sebenarnya mengimbau untuk mengabur-campurkan haq dan bathil. Jelas ada pihak yang ingin membumi-hanguskan nilai-nilai kebenaran Islam yang telah ditanam dalam budaya bangsa Indonesia! Bagi yang telah terpanggil menyebar-luaskan nilai-nilai Islam, bukan membeda-tegaskan haq-bathil saja yang penting, tetapi terutama justru langkah menyelamatkan atau menghijrahkan pelaku, sifat dan keadaan yang bathil menuju yang haq-lah yang menjadi tujuan. Ikuti lengkap tulisan ini.Berbondong-bondong kaum beriman mendatangi tanah lapang dan masjid-masjid yang dimuliakan lengkap berpakaian serba indah dan baru. Lisan-lisan kaum beriman bergetar basahkan bibir perdengarkan merdu ungkapan dzikir: takbir, tahlil dan tahmid. Demikian suasana ritual rutinitas yang selalu terjadi di setiap 1 Syawal. Sesaat indah-gembira suasana tampak mata kepala memandang seakan riuh-gemuruh meriahnya pesta kemenangan. Namun tidak demikian sorotan-pandang tatapan nurulllah, pilu menyayat qalbu yang dirasakan. Dalam bahasa lisan terungkap-ucap: sangat disayangkan tidak setiap jiwa insan yang diliputi suasana suka-cita di hari Fithri adalah mereka yang memperoleh kemenangan meraih nikmat kebaikan yang dibawakan oleh Ramadhan. Sebagaimana disinyalir dalam hadits: Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi. Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.