Sabtu, 08 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bahkan merak pun tidak riya', mengapa manusia terjangkit narcissism?
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah: "...dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan 'aqalnya" (QS 10:100)
[Taufik Thoyib].18 Rajab 1431 / 1 Juli 2010
Orang yang dikagumi (selebriti) ada dalam bahaya
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya: "Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin". Itulah esensinya. Manusia berkodrat penuh dengan catat-kekurangan. Esensi itu ibarat titik atau butir pasir yang "ditaburkan ke wajah" yang sedang berpulas kekaguman. Tak lain, agar selamat baik yang memuji maupun yang dipuji. [Taufik Thoyib]. 15 Rajab 1431 / 28 Juni 2010
Para nabi dan rasul tidak mengikuti asas mayoritas (selebritas)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan- mu dari jalan Allah... (QS 6:116). Seluruh nabi dan rasul tidaklah mengikuti masyarakat manusia dengan asas kebenaran mayoritas (yang suaranya terbanyak dipandang benar, atau kebenaran relatif yang esensinya berubah-ubah mengikuti yang menguasai pemaknaannya), akan tetapi para nabi dan rasul berjuang sungguh-sungguh untuk mentaati perintah dan menegakkan kalimat Allah. Mereka menyampaikan kebenaran Allah selaku Al Haqq yang bersifat mutlak, yang sebenarnya sekaligus merupakan rahmat kasih-sayang Allah bagi manusia agar hidup manusia selamat. Sayangnya, kebanyakan manusia menyambut para nabi dan rasul dengan bantahan, dan bahkan permusuhan!
Ganjaran perbuatan ingin dipuji, dikagumi, terkenal, dan dikenang (RIYA')
Hakikat selebritas: disukai manusia karena Allah mencintainya
Budaya Selebritas: Ingin Terkenal dan Dipuji-puja Manusia
Bahkan induk ayam pun seolah-olah dihadirkan Allah untuk ikut memberikan tamsil bagi kaum wanita. Kecuali wajah dan ujung kakinya, semua tertutup bulu!
Apakah yang mengganggu kaum wanita yang tidak/belum berjilbab? Nafsu syahwat yang tumbuh dari mata dan telinga. Sedangkan nafsu syahwat adalah tunggangan syaithaan/kejahatan (QS 12:53 “…innanafsa laa ammaratum bisuu’). Keadaan wadag seorang wanita muslimah yang dilihat wanita lain yang muslimah, pun dilarang untuk diperbincangkan kepada lelaki mana pun karena dapat menyebabkan si lelaki berangan-angan syahwati. Dengan sendirinya, yang bukan muslimah tak dibenarkan melihat wadag seorang muslimah, karena dapat dipastikan ia tak akan melaksanakan hadits ajaran Nabi Muhammad s.a.w. yang tidak ia percayai/imani membawa ajaran yang benar, baik, dan indah. Kultur TV/radio/media masa/internet masa kini adalah bukti yang sangat jelas; bahkan dengan bahasa yang sangat kasar, di antaranya ada yang bisa dikatakan "menjual aurat mereka sebagai tontonan". Hal itu bertolak-belakang dengan maksud “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (QS 33:59)”. Yaitu, tak menjadikan tubuhnya ("perhiasan- nya", termasuk lekuk-detil/bentuk/bayangannya; bukan hanya sekedar tertutup kulit dan rambutnya) sebagai sasaran jangkauan mata (yang kemudian bisa menjadi buah pembicaraan) yang menumbuhkan syahwat.
Berjilbab adalah agar “supaya mereka (muslimah) lebih mudah untuk dikenal” (QS 33:59), dan sebetulnyalah menjadi kewajiban bagi seluruh muslim untuk melindunginya. Lewat hadits/sunnahnya, Nabi s.a.w. juga mengajarkan, seorang istri (muslimah) yang sedang ditinggalkan suaminya untuk berjihad di jalan Allah, hendaknya didudukkan sebagai ibu bagi kaum muslimin. Ia wajib melindunginya dari gangguan apa pun. Betapa luhur Islam mengajarkan tata-pergaulan masyarakat, dan betapa tinggi Islam mendudukan posisi wanita!
Hal lain yang mengganggu kaum wanita yang tidak/belum berjilbab adalah rentannya nafsunya terhadap sikap ‘ujub atau mengagumi dirinya (wadag/tubuh) sendiri. Sangat boleh jadi, nafsu syahwati dari lawan jenisnya, akan muncul sangat halus, yaitu dalam nuansa pandangan mata atau ungkapan lisan yang menjadikannya perhatian khusus, terungkap lewat pujian bahkan pujaan.
Bunga sepatu pun tak ketinggalan menyajikan tamsil bagi wanita. Warna merah menyalanya menarik perhatian, tambahan lagi ada benang sarinya yang sangat ditonjol-tonjolkannya. Namun umur kembang sepatu sangat singkat, dan yang terbanyak ternyata hidup di pinggir halaman rumah, di tepi jalan bagaikan sedang menanti siapa saja yang memuji-puji penampilan cantiknya. Berapakah harga bunga sepatu? Hampir-hampir tak berharga!
Wahai kaum wanita, jujurlah! Bukankah kalian sangat senang jika penampilan kalian dipuji-puji? Itulah perangkap pertama syaithaan untuk menumbuhkan sikap ‘ujub dan kemudian, angkuh-sombong atas keindahan jasadiyah kalian, takabur terhadap wanita lain yang menurut pandangan kalian berpenampilan lebih buruk, serta akhirnya menjadikan tiap wanita berlomba-lomba untuk menjadi yang terindah di komunitasnya masing-masing, cinta dunia dan takut mati (kehilangan keindahannya); bahkan, tak jarang akhirnya seorang wanita menjadi pecinta dirinya sendiri! Syaithaan sebagai guru kaum industrialis-kapitalis yang hanya mengejar keuntungan materi duniawi, mengilhami mereka untuk memanfaatkan keadaan itu. Bisa kita hitung berapa banyak uang yang dapat dikeruk, mengalir dari dompet kaum muslimah di dunia hanya untuk mempercantik jasad mereka dengan produk modis-kosmetis-musiman nan mewah. Jangan salah, berdandan yang sesuai tuntunan syari'ah, tak berlebihan dengan bersih, rapi-serasi dan bersahaja-indah, sangat berbeda dengan bersolek indah dan bermewah-mewah. Yang jasadiyah itu bukankah pasti renta dan ditinggalkan jika manusia telah terbaring busuk di liang lahat? Apakah tidak lebih baik uang untuk mempercantik diri itu dimanfaatkan untuk mereka yang masih jarang tidur dengan perut kenyang? Atau membiayai pengajaran Al Qur’an, agar mereka yang masih buta-huruf qur’ani (termasuk sebagian kaum intelektual-kampus di kota) mengenal lebih baik Islam? Apakah belum tiba saatnya untuk lebih mempedulikan kaum lemah, karena Allah ada di balik kaum lemah dalam segala pengertian (lemah secara sosial, ekonomi, politik, bodoh tak kenal agama, miskin tak layak penghidupannya, fakir tak punya kesempatan bekerja, dst).
Jilbab sesungguhnya adalah bentuk kemurahan Allah bagi manusia (tak hanya muslim) agar kaum lelaki terhindar dari kebodohan memperturuti syahwatnya, dan agar kaum wanita terlindungi dari segala gangguan termasuk jebakan kesombongan mengandalkan/ mengagumi keindahan dirinya. Siapakah yang paling indah? Bagi yang telah berma’rifat (mengenal) Allah, tentu akan menjawab bahwa Allah-lah selaku Al Jamaal Yang Maha Indah. Wanita yang sadar akan sangat malu untuk merasa dirinya indah. Hatinya telah melihat bahwa tak ada sesuatu pun yang indah kecuali Allah. Itulah tauhid dalam berkeindahan. Kalau diri seorang wanita (atau segala sesuatu ciptaan Allah) tampak indah, pastikanlah bahwa itu hanyalah pancaran/ percikan dari kemurahan Allah padanya. Pantaskah dibaku-lomba-sombongkan? Jika merasa tak pantas, hatinya terjaga dari nafsu syahwati bukan hanya dari lawan jenis, juga dari syahwat dirinya untuk bersikap ’ujub. Itu akan sangat mempermudahnya mengenal sifat-sifat Allah. Allah tak akan pernah dapat didekati mereka yang masih terbelenggu sikap dan sifat ’ujub serta sombong.
[Taufik Thoyib]
Doa Tak Dikabulkan, karena Matinya Hati
Penghuni Kubur yang Masih Bepergian
Rahasia Zuhud
Dunia menyerahkan dirinya padamu?
Dunia, diibaratkan wanita pelacur yang kejam
Jelmaan Fir'aun pasti tega mengorbankan rakyat
Pemimpin Jahat
Pemimpin bersifat terbuka, bukan penipu rakyatnya
Bangsa ini tak dipimpin untuk mengikuti kaum Fir'aun
► [Masukkan kursor ke dalam gambar untuk jalankan animasi] Di atas adalah gambar burung elang penjelmaan Ra, dewa tertinggi peradaban Mesir Kuno. Para fir'aun adalah penguasa politik, ilmu (disokong para tukang sihir untuk memanipulasi fakta dan data sehingga mereka dapat menguasai pola pikir), militer (dibantu tangan besi Haman), dan ekomomi (didukung keserakahan pengumpul harta, Qarun). Mereka nyaris berkuasa mutlak atas masyarakat, kaum lemah, atau secara umum, menguasai rakyat di wilayah kekuasaannya. Kekuasaan fir'auniyah adalah keterpaduan kekuasaan budaya-ilmu-politik-ekonomi yang dibangun dengan kedengkian dan kecurangan. Yang dimaksud budaya adalah dalam arti luas: mentalitas, pola ruhaniyah, pola pikir, atau millah [ada tanya-jawab dan komen tentang hal di atas, silakan klik ini untuk mengikutinya]. Bangsa ini sangat pantas untuk mensyukuri Ramadhan dengan cara secara serempak membersihkan diri dari sifat-keadaan kaum Fir'aun. Tentang ini, Syekh Abdul Qadir Jailani pernah meninggalkan renungan: "Engkau lebih memilih mengikuti jejak Fir'aun, Hamam, Qarun, Syaddad, 'Aad, dan orang-orang yang seumpama dengan mereka, yang telah dibinasakan oleh Allah lantaran terpedaya oleh dunia dan terpesona oleh angan-angan. Mereka telah melupakan Allah dan berbuat sekehendak hati, seolah-olah perbuatan mereka itu akan berlalu begitu saja tanpa ada pembalasan dari-Nya. Betapa banyak istana yang mereka bangun di atas penderitaan dan kesengsaraan orang lain; betapa banyak kehormatan dan harta benda orang lain mereka rampas; betapa banyak orang miskin dan terlantar mereka hinakan dan mereka jadikan lebih sengsara; betapa banyak orang kaya dan terhormat mereka jadikan jatuh miskin dan hilang kehormatan; dan betapa banyak bid'ah serta tradisi jelek yang mereka wariskan. Maka, Allah s.w.t. pun melenyapkan mereka beserta semua kekuasaan, kemegahan, kekayaan, kemewahan, dan kedudukan duniawi yang mereka miliki, lalu menggantinya dengan kebalikannya dari semua itu. Kemudian Ia mintakan pertanggung-jawaban dari semua pengkhianatan yang mereka perbuat. Mereka mendapat balasan yang amat berat dari-Nya yang tak terbayangkan oleh oleh mereka sama sekali. Mereka dipanggang dengan api dalam keadaan kedua tangan dan kaki terbelenggu, diberi makan dari buah zaqqum dan dhari', serta diberi minum dengan air hamim yang kesemuanya bagaikan bara api dan lahar yang mendidih, yang akan membuat tubuh mereka meleleh bila menelannya. Ingatlah! Betapa banyak doa dan rintihan di kesunyian malam yang dipanjatkan oleh orang-orang yang teraniaya karena ulah mereka, mengadukan kezhaliman yang mereka saksikan dari penguasa yang zhalim. Allah s.w.t. pun mengabulkan permohonan mereka. Ia berfirman: "Maka engkau tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka" (QS 69:8). Maka sebagian dari mereka ada yang ditenggelamkan Allah, ada yang ditelan bumi, ada yang dibunuh, ada yang diubah bentuk fisiknya menjadi kera, ada juga yang dimatikan hatinya lalu dicap dengan kemusyrikan dan kekufuran sehingga tidak bisa lagi dimasuki oleh Islam dan iman. Bukan itu saja, di akhirat kelak mereka juga mendapatkan adzab yang bersangatan dari-Nya. Ia berfirman: "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain" (QS 4:56). Mereka akan hidup selama-lamanya di dalam neraka dalam keadaan disiksa, dan tidak pernah keluar darinya. Allah s.w.t. berfirman: "Tinggallah kalian dengan hina di dalamnya, dan janganlah kalian berbicara dengan Aku" (QS 23: 108). Maka berhati-hatilah engkau wahai orang yang malang, dari mengikuti jejak mereka! Jika tidak, maka engkau pun akan turut celaka seperti mereka." Dikutip dari Abdul Qadir Jailani, Al-Ghuniyyah li Thalibi Thriq al-Haqq, terjmahan Bahasa Indonesia, Sahara Intisains, Jakarta, 2005, hal. 117-118. [huruf tebal pada kutipan di atas adalah dari kami. Admin, Glagah Nuswantara] 13 Sya'baan 1431H / 25 Juli 2010.
Bagai bintang, tajam menembus zaman
Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira pemecahan masalah dan pemberi peringatan arah perjalanan hidup bangsa-nya.
Pemimpin sejati bukan sekedar politikus yang hanya mempedulikan kepentingan dirinya atau kelompok golongannya sendiri. Bukan pula mengejar kehormatan pangkat kedudukan diri, apalagi menumpuk harta kekayaan demi anak keturunan. Pemimpin sejati menyajikan pemikiran-pemikiran tentang inti suatu kehidupan, mereka berpengelihatan jauh menembus zamannya.
(Dikutip-sunting dari buku Ki Moenadi MS, 'Pemuda Pembangkit Pembaha- ruan Meraih Kemenangan Negeri dan Bangsa', Yayasan Badiyo, 1421H). [Taufik Thoyib] 8 Sya'ban 1431 / 20 Juli 2010.
Menerima jabatan bukan karena berpamrih atasnya
Wanita sebagai pemimpin
Memilih pemimpin dengan asas mayoritas (selebritas/ popularitas)?
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Jika rakyat menjadi pencinta dunia dan karenanya tega menzhalimi sesama manusia dan merusak alam lingkungan huniannya, dari siapakah tauladan itu?
Penguasa, kalian adalah guru bagi rakyat
Pengorbanan pemimpin untuk rakyatnya
Khalifah: melayani kaum lemah
'Ada lima perkara yang harus kalian waspadai...
Aku (Muhammad Rasulullah s.a.w.) berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian.
[1] Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka.
[2] Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan diadzab dengan paceklik, kesusahan hidup, dan kezaliman penguasa.
[3] Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat melainkan mereka akan dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan tak akan diturunkan.
[4] Tidaklah para pemimpin mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh menguasai mereka, lalu merampas sebagian (kekayaan negeri) dari apa yang ada di tangan mereka.
[5] Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka'
[HR Ibn Majah]
Tauladan Menggempur Takabur
Wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
“Tolonglah aku, jika aku benar dan koreksilah aku jika aku salah. Orang-orang yang lemah di antara kalian harus menjadi kuat bersamaku sampai, atas kehendak Allah, haknya telah disyahkan. "Orang-orang yang kuat di antara kalian harus menjadi lemah bersamaku sampai, jika Allah menghendaki, aku akan mengambil apa yang harus dibayarnya”
“Patuhilah aku selama aku patuh kepada Allah dan Rasulullah, bila aku tidak mematuhi Allah dan Rasulullah, jangan patuhi aku lagi. Tidak ada pembicaraan yang baik, jika tidak diarahkan untuk memperoleh ridha Allah swt”
“Tidak ada manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah tidak akan ridha kepadanya selama dia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.”
“Kita menemukan kedermawanan dalam taqwa (kesadaran akan Allah), kekayaan dalam yaqin (kepastian), dan kemuliaan dalam kerendahan hati. Waspadalah terhadap kebanggaan sebab kalian akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan dimakan oleh cacing.”
Ketika beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdoa kepada Allah dan berkata, "Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, dan Aku lebih mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku. Jadikanlah aku lebih baik daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, maafkanlah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan aku bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan.”
“Jika kalian mengharapkan berkah Allah, berbuatlah baik terhadap hamba-hamba-Nya.”
Suatu hari beliau memanggil Umar ra dan menasihatinya sampai Umar menangis. Abu Bakar berkata kepadanya: "Jika engkau memegang nasihatku, engkau akan selamat, dan nasihatku adalah harapkan kematian selalu dan hiduplah sesuai dengannya”.
“Mahasuci Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat pengetahuan mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidak-berdayaan mereka dan tidak ada harapan untuk meraih pencapaian itu”.
Dikutip dari web Embun Kehidupan
Makan dari usaha dan tangan sendiri Nabi Daud a.s.keluar malam dalam penyamaran, agar tak dikenal. Setiap orang yang berjumpa dengannya selalu ditanya tentang dirinya. Lalu Malaikat Jibril a.s. datang dalam bentuk seorang lelaki. Nabi Daud pun bertanya kepada Jibril tentang dirinya. Jibril menjawab: "Benar ia seorang hamba, tetapi ia (pemimpin yang) makan dari harta baitul maal ('kas negara'), tidak dari hasil usaha dan kerajinan tangannya sendiri." Daud segera pulang bergegas menuju mihrab. Ia menangis prihatin. Lalu berdoa: "Ya Allah, beri aku keterampilan, agar aku dapat hidup dan makan dari dari hasil usahaku sendiri." Allah pun memberi Daud a.s. keterampilan membuat baju besi berantai (baju perang).
Tanggungjawab atas makhluq Allah di wilayahnya
Tentang Nabi Daud dan Umar bin Khattab di atas, dikutip dari Al-Ghazali, Nasehat bagi Penguasa, Mizan, 1967, halaman 156
Hawa Nafsu
Mawas diri, mengawasi diri, sibuk meneliti aib diri
Menjelang Ramadhan Bulan Ampunan marilah kita renungi, betapa sulitnya mengetahui, apalagi menyadari dosa untuk lanjut memohon ampunan Allah serta bertaubat. Bisa jadi, bak mengusir kutu-busuk di tengkuk. Keluarga orangutan, seperti menyindir manusia, bahwa mereka pun memerlukan sesama untuk membersihkan dirinya masing-masing. Bisakah manusia melihat tengkuknya sendiri? Jika tidak, mengapa ia sulit menerima ridha peringatan dari pihak lain? Bukankah tidak mustahil Allah menggerakkan makhluq-Nya untuk memperingatkan diri kita? Sungguh tak mudah mengetahui dan mengakui kotoran diri.
Maka, tepatlah jika dikatakan: "Manusia-manusia pertama yang sepantasnya banyak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang senantiasa mendapat peringatan tentang dosa-kesalahan, baik yang akan sedang maupun sudah berlangsung" (Ki Moenadi MS, lihat tulisan ini).
Oleh sebab itu, perbuatan mawas diri (muraqabah) dan menghisab diri sendiri (muhasabah) sangat penting dalam rangka mendidik nafsu. Bahkan sebenarnya merupakan terapan olah-lanjut dari bertasbih menjaga pembersihan yang telah Allah langsungkan pada diri. Allah menurunkan kebaikan-kebaikan, sedangkan manusia hanya dapat mensyukurinya dengan menaikan keburukan-keburukan.
Abu Hafas berkata: "Orang yang paling cepat binasa adalah orang yang tak tahu cacat dirinya". Abu Utsman berkata: "Seseorang tak dapat melihat cacat dirinya selama ia menganggap baik dirinya. Hanya dengan mencurigai dirinyalah ia akan dapat melihat cacatnya itu" (dikutip dari Abdul Qadir Jailani, Al-Ghuniyyah li Thalibi).
Nabi s.a.w. mengajarkan: "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain (HR Adailami).
[Taufik Thoyib] 12 Sya'baan 1431 / 24 Juli 2010.
Bukan hanya perbudakan jasad, tetapi juga sistem dan mentalitas
Dzikirlah kepada Allah, Gempa Bumi Mengisyaratkan Kematian
Alam makmur-subur adalah rahmat bagi bangsa terhormat
Antara pertolongan dan kesungguhan
Akhlaq: Ukuran Pertama Kepribadian Manusia
Kepastian Kepribadian Manusia Hanya Dapat Diukur dengan Al-Qur’an
Kepribadian Luhur Bangsa-Negeri Indonesia
Fithrah Manusia: Ingin Mengetahui Yang Haqiqi
Kebodohan Membuat Manusia Buta terhadap Kasih dan Peringatan Allah
Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta
Jihad Membuang Pola Perasaan dan Pikiran Berduga-Sangka
Kesombongan:Buah Berfikir Duga-Sangka yang Menghancur-Binasakan Unsur Ruhaniyah
PENGANTAR SERI TULISAN INDONESIA RAYA
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya!
Sadarlah Hatinya, Sadarlah Budinya!
Majulah neg'rinya, Majulah Pandunya
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
Kebangkitan Negeri: Mengangkat Kembali Harkat-Martabat Bangsa
Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus
Bumi Tanah Subur, Makmurlah Rakyat dan Luhurlah Peradabannya
Negeri Kesayangan dan Ridha Ilaahi (NKRI) Disyukuri dengan Pola Hidup Materialistik?
NKRI: Negara Kleptokrasi Republik Indonesia?
Negeri Kesayangan dan Rahmat Ilaahi (NKRI), Hanya Sesuai dengan Hidup Makmur Bersahaja
Janganlah Membuat Kerusakan di NKRI
Fitrah Manusia Merdeka adalah Bertauhid-Murni, Penuh Syukur atas Rahmat Allah
Ma'na Allahu Akbar
Penulis: Lutfi Fauzan, Dosen di FIP Universitas Negeri Malang
Besar itu adalah besarnya kekuasaan Allah; Besar itu adalah besarnya kekuatan Allah; Besar itu adalah besarnya kehendak Allah; Di hadapan Allah segalanya menjadi kecil; Jika yang kecil berhadapan dengan yang Besar maka tiada arti sama sekali; Tiadalah arti kehendak yang kecil, karena yang akan terlaksana hanyalah kehendak yang Besar, maka memahabesarkan Allah itu berma’na melenyapkan kehendak diri, diri tidak lagi berkeinginan karena semua keinginan itu tercegah, sedangkan yang akan dan pasti terlaksana hanyalah keinginan Yang Maha Besar.
Assalamu'alaikum wr.wb.
Ketika Sang Ramadhan meninggalkan kita tahun kemarin, sebuah pertanyaan tersisa: benarkah kita selaku pribadi dan selaku kesatuan kaum mu'minun, baik pada skala bangsa Indonesia maupun pada skala ummat Islam global, telah meraih kemenangan? Bila ya, tentu telah terajut-kembali seluruh unsur daya potensi ketenagaan dalam diri kita sehingga nyata, terhidupkan lagi fungsi fitrah kita.Tak hanya demikian. Jika fitrah masing-masing teraih kembali, pasti teranyam pula masyarakat kaum beriman sebagaimana ditauladankan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat setianya. Ada kesamaan pandangan, untuk mengadakan persiapan dan melangkah-nyata dengan teguh dan kokoh. Ada kebersamaan mengolah-lanjut potensi masyarakat dan alam di masing-masing lingkungan hunian kita, sesuai dengan apa yang digaris-tetapkan oleh Allah selaku Sang Maha Pencipta. Indonesia pasti akan bangkit dari keterpurukan panjangnya. Demikian pula negeri saudara-saudara muslim di seluruh dunia.
Jika hal itu belum tercapai, berarti sebagai bahagian dari bangsa Indonesia, kita ummat muslim, sama sekali tak dapat menilai-diri berhasil meraih kemenangan yang dibawa-sajikan oleh Sang Ramadhan. Namun paling tidak, semoga Ramadhan ini menjadikan kita makin gigih dan tetap bersemangat untuk terus berupaya penuh kesungguhan mengadakan perbaikan diri, masyarakat, bangsa, dan negeri.
Untuk saudara-saudara pembaca di luar negeri, anda semua pun termasuk dalam rajutan ikatan hati dengan kami di Indonesia. Saran dan masukan anda untuk peningkatan weblog ini senantiasa kami tunggu di email kami [kajianbudayailmu@yahoo.com]. Akhirnya, ijinkan kami mengucapkan:Taqabballaahu minna wa minkum, minal 'aidiin wal faiziin, seluruh jajaran aktifis Kajian Budaya Ilmu memohon maaf bathiniyah dan lahiriyah, selamat Hari Raya Fithri 1433H,
Wasalamu'alaikum wr. wb.,
Admin/Taufik Thoyib

Assalamu'alaikum wr.wb.
Meskipun Ramadhan merupakan thariqah Ilaahiyah menuju terjalinnya hubungan cinta antara Allah dengan hamba, pada dasarnya sebagian besar dari rangkaian ibadah puasa merupakan jalan pembentukan jalinan hubungan kasih di antara sesama. Sejak dari amaliah puasa, menahan lapar-dahaga adalah bagian dari proses pembelajaran menumbuhkan rasa kebersamaan dengan sesama, ikut-serta merasakan penderitaan yang kesulitan; begitu pula himbauan berzakat merupakan bagian dari proses ikut berbagi kenikmatan dari yang berlimah kepada yang kekurangan, sekaligus sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Dengan Puasa dan zakat itu lebur-bersatulah keberbedaan keadaan di antara sesama, sehingga terbentang hunian permadani kehidupan dalam naungan kedamaian.Bagaimana uraian dan kejelasannya? Silakan unduh Khutbah dari Ustadz Lutfi Fauzan di atas dengan meng-klik tombol-unduh:
versi ringkasan (134KB) atau
versi lengkap-nya (147KB).
Semoga bermanfaat --Admin
"Mungkin hasil yang diraih orang yang berpuasa hanya lapar dan dahaga; dan mungkin hasil yang diraih seorang yang shalat malam hanyalah berjaga" (HR Imam Ahmad).
Bersatu di atas pondasi kekuatan kaki sendiri
Sadarilah samudra rahmat Allah
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Berlayarlah di samudera rahmat-karunia Ramadhan
Bersifatlah Pema'af, Bagai Bumi
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS 3:133-134).
Aisyah r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w. tidak pernah (berusaha untuk) menang ketika dizhalimi, selagi hal itu tidak menyebabkan terlanggarnya larangan-larangan Allah s.w.t. Namun bila larangan-larangan itu dilanggar, beliau sangat marah dan tegas menyikapinya" (HR Muslim).
Rasulullah s.a.w. dengan kelapangan dada yang tiada tara memaafkan Wahsyi, yaitu orang yang membunuh Hamzah bin Abdul-Muthalib, ketika Wahsyi telah memeluk Islam. Rasulullah s.a.w. hanya memalingkan muka seraya berkata: "Wahai Wahsyi menjauhlah dariku dan aku tak ingin melihatmu setelah hari ini".
Ketika Perang Uhud, yang menyebabkan wajahnya terluka dan giginya patah, Rasul s.a.w. menolak permintaan para sahabat untuk berdoa supaya orang-orang kafir Quraisy mendapat celaka. Nabi justru berkata: "Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai tukang laknat. Tetapi aku diutus untuk menjadi juru dakwah dan penyebar kasih sayang". Dan ia berdoa: "Yaa Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tak punya pengetahuan".
Setelah merebut Kota Mekkah kembali, Rasul s.a.w. pun tak membalas sikap permusuhan penduduknya. Beliau berkata: "Saya menyampaikan ucapan yang pernah disampaikan saudaraku Yusuf a.s.: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang" (QS 12:92).
Ia juga berkata: "Barang siapa mau memberi maaf di saat ia mampu (membalas), Allah akan mengampuni dosa-dosanya esok di hari yang penuh kesulitan" (HR Bukhari).
Ramadhan adalah bulan rahmat dan ampunan. Tak ada yang lebih pantas dari menyambutnya dengan memasang atau membangun sikap pemurah. Pemaaf, adalah sebagian dari kepemurahan itu. Bangsa ini sangat perlu mengambil sikap tepat dan bijak. Pelanggaran hukum, bagaimanapun perlu ditindak tegas. Namun banyak pula perkara antar ummat muslim (mulai dari skala rumah tangga hingga negara) yang dapat diselesaikan dengan saling memberi maaf, bukan saling meminta hak. Hanya dengan kesatuan langkah itulah, ummat Islam di negeri ini dapat maju mempelopori perbaikan dan kebangkitan. Para pemimpin negeri ini hendaknya belajar dari bumi.
Ketika cangkul upaya melangsungkan hidup jujur diayunkan ke punggungnya, ibarat lebih dari sekedar memaafkan, bumi justru membalas manusia dengan tanaman pangan dan buah berlimpah. Namun ketika dijarah keserakahan menjualnya pada pihak yang licik-tamak, bumi pertiwi tak akan diam lagi. Bukan amarah, tetapi sekedar menjalankan hukum alam kekuasaan Allah atas perilaku manusia yang berbuat kerusakan dan semena-mena di atas punggungnya. Bencana, bencana, dan bencana.
Tulisan dengan font abu-abu disarikan oleh Taufik Thoyib dari Abdul Mun'im al-Hasyimi, 2009, Akhlaq Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, Gema Insani, Jakarta, halaman 357-365. 6 Ramadhan 1431H / 16 Agustus 2010
Perasaan-hati kotor karena terikat dunia (hubbud-dunyaa)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (QS 3:14).
Wahai hamba, engkau jangan bermalas-malasan karena sifat malas itu membuat sesal dalam penghambaan ini. Permurahlah tingkah dan perbuatanmu karena Al Haqq telah bermurah terhadapmu di dunia dan di akhirat.
Wahai hamba, jadikanlah doamu sebagai pengikat, kembalikan pada kerelaan. Sesekali jangan engkau berdoa dengan mulutmu, sedang hatimu menerawang berpaling dari-Nya. Di hari kiamat seluruh manusia akan mengakui setiap perbuatan yang pernah dilakukan di dunia, baik yang bagus ataupun yang buruk. Di sana sesalmu tiada berguna dan ingatanmu tidak berfungsi. Di hari itu, tidak berguna pula mengingat kerja berat sebelum mati. Ingat, kebun halaman dan persemaian biji itulah saat perhitungan manusia dimulai secara total. Jauh sebelumnya Nabi Muhammad s.a.w. memperingatkan: "Dunia adalah ladang tempat bercocok tanam untuk akhirat; maka barang siapa yang bercocok tanam yang baik, niscaya ia akan menerima hasilnya dengan rasa puas; dan barang siapa bercocok tanam buruk, niscaya akan menuai sesal".
Apabila datang kematian, barulah engkau bangun sadar, tetapi waktu itu kebangunanmu tak berguna. "Wahai Allah, bangunkanlah kami dari tidur melalaikan Engkau, jagakan kami dari ketumpulan yang melupakan Engkau". Amiin.
Kutipan dari Abdul Qadir Jailani, Petunjuk Jalan Menuju Makrifatullah, terjemahan KH. Habib Abdullah Zakiy al-Kaaf, Pustaka Setia, Bandung, 2003. Ayat, gambar ilustrasi, huruf tebal dan keterangan dalam kurung dari kami, Admin.
[Taufik Thoyib] 20 Sya'ban 1431H / 1 Agustus 2010
Manusia Makhluq yang Sok Menilai
Tugas Budaya tiap MuslimPengertian umum "budaya" yang beredar di kalangan masyarakat pengguna Bahasa Indonesia adalah "tradisi", "kebiasaan", "keadaan suatu mentalitas". Contoh "budaya korupsi".
Namun secara mendasar, pengertian "budaya" adalah pola fikir, yang menghantarkan manusia pada kebenaran yang diyakininya. Bagi muslim, tentu saja kebenaran hakiki yang diyakininya adalah yang dijelaskan dan dibawakan Islam. Itulah kebenaran hakiki, kebenaran dari Allah yang disampaikan-Nya pada ummat manusia lewat para nabi. Sebagai tuntunan, kebenaran hakiki itu mesti mencermin pada segala perbuatan manusia: mulai dari per- buatan bathiniyah, perbuatan pikir, perbuatan lisan, sampai dengan perbuatan lahiriyahnya. Keselu- ruhannya, bersama-sama pribadi-pribadi lain dalam struktur dan sistem kermasyarakatannya secara berkesinambung-lanjutan, membentuk "kebudayaan". Sinambung menyangkut ruang (geografi), lanjut menyangkut waktu (sejarah). Apa beda budaya Islami dan budaya Barat (Yhd)?
Budaya yang haq (Islami) sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan budaya yang bathil. Konsepsi budaya Barat adalah konsepsi YHD, yang dibangun dari pengertian colere (Latin) atau culture (Inggris; dalam Bhs Belanda adalah "kultuur"). Itu pasti bathil, karena YHD tidak memposisikan Allah s.w.t. sebagai awal dan muasal budaya. Telah tegas dan jelas pula bahwa sifat-asma Allah adalah Al Mubdi'u, atau yang Maha Mengawali.
Dalam bahasa Indonesia (yang Kamus Besar Bahasa Indonesia-nya --KBBI-- belum tentu dibuat secara murni-konsekuen dengan pedoman pengertian Al Qur'an), konsepsi budaya yang dimaksudkan lebih dekat dengan, atau bahkan sekedar terjemahan dari pengertian "culture" yang konotasinya adalah "cult" (pemujaan), "culture" (pembudi- dayaan tanaman yang terutama bertujuan mendapatkan HASIL-MATERIAL-nya dengan berlipat, dalam tempo sesingkat-singkatnya, dengan cara semudah-mudahnya dan dengan modal/pengorbanan sekecil-nya). Itulah ciri khas pandangan kaum materialistik yang atau lebih dikenal dengan kapitalisme yang MEMUJA MATERI (hubbud-dunyaa).
Bukankah KBBI adalah bukti autentik tentang bagaimana YHD menentukan pola pikir bangsa Indonesia yang mayoritasnya muslim dan yang semestinya berpedoman hidup --termasuk mengkonsepsikan bahasanya-- dengan nilai-nilai qur'ani? Sekali lagi, YHD tidak menjajah Indonesia secara fisik, tetapi secara millah ("agama" sebagai ajaran pola pikir, bukan formalitas keagamaan). Bahkan sejak renesans, boleh dikatakan YHD menjajah dunia (termasuk ummat kristiani) dengan cara mendikte-doktrinkan pola pikir materialisme-individualisme mereka. DEMOKRASI adalah ajaran mereka (lihat tulisan di bawah "Ide Islami Diperangi").
Karenanya, kita sendirilah yang harus memaknai "budaya", agar masyarakat Indonesia di masa depan tak kehilangan nilai-nilai hakiki (Islami) dalam semua upaya pengembangan kebudayaannya. "Arti yang terkandung dalam budaya bangsa", tak lain adalah inti kandungan pola pikir yang ada dalam tradisi masyarakat bangsa yang sangat majemuk. Pola pikir yang tidak sesuai dengan esensi ajaran Islam, mesti dipergantikan dengan yang Islami. Untuk itu diperlukan bahasa kaum sebagaimana yang Allah tuntunkan kepada para rasul-Nya (QS 14:4). Dengan demikian, sampai akhir jaman, dalam rangka memperbaiki budaya kelompok-kelompok ummat manusia, Islam (dengan kandungan nilai-nilai hakiki atau UNIVERSALITAS yang bersifat TETAP) berfungsi selaku petunjuk yang mengarah-tentukan manusia (dengan peradaban berkandungan nilai-nilai LOKALITAS baik yang berskala pribadi, sangat lokal maupun global dan yang kesemuanya pasti bersifat hanya SEMENTARA, bahkan tak jarang berkandungan nilai-nilai yang bathil). Al Qur'an adalah petunjuk bagi manusia ("hudalinnaas"), baik yang ridha memeluk Islam sebagai muslim ataupun yang menolaknya.
Akhirnya perlu ditegaskan TUGAS BUDAYA setiap muslim. Membedakan antara budaya yang haq dan budaya yang bathil sebenarnya adalah baru perkara pertama yang mesti disusul dengan perkara lain. Tak ada gunanya hanya mencaci-cela pihak lain atau MENGKAFIR-KAFIRKAN. Ada tiga tindakan untuk menghadapinya.
Pertama, yang terpenting adalah dapat memahami dengan pasti, jelas, dan terang tentang YANG HAQ dan YANG BATHIL. Harap diingat bahwa kemampuan mem-"furqaan" adalah karunia Allah pada seorang hamba setelah yang bersangkutan membuktikan kesetiaan pengabdiaan; ia adalah hamba-setia Allah (lihat QS 25:1). Membedakan haq-bathil mustahil dilandaskan pada kemampuan logika-nafsu-subjektifitas manusia yang pasti tak bebas dari kesombongan, kedengkian, dan pamrih diri
Kedua, mengupayakan penuh kesungguhan (berjihad-fii-sabilillaah) agar kekafiran itu tak merebak-menjalar-mengganas makin luas merusak manusia dan alam.
Ketiga, menghijrahkan apa dan siapa yang tidak atau belum Islami menuju Islam. Itulah yang dimaksud dengan memerangi kekafiran. Utamanya perang ide dulu, lalu perang siasah atau strategi untuk menerapkan ide tersebut, dan baru mewajibkan-diri menggelar perang fisik jika diperlukan. Misalnya, jika hak suatu masyarakat di suatu daerah untuk mendapatkan informasi tentang Islam dihalang-halangi secara fisik oleh para penguasanya, maka bagi orang-orang-beriman sejati, penguasa dan seluruh anasir pendukungnya wajib diperangi secara fisik pula. Bila keadaan sesorang muslim tidak terpanggil dan tidak berani menegakkan yang hak dan memerangi yang bathil, belum atau bahkan tidak ber-amar ma'ruf nahi munkar, itulah bukti kekeroposan iman-nya.
Berjihad-fii-sabilillaah demikian itu sudah menjadi kewajiban bagi tiap muslim sebagai bukti keterpanggilan dan KEBERPIHAKAN-nya pada Allah dan rasul-Nya. Tentu saja, upaya itu diwujud-nyatakan menurut kemampuan-kesempatan yang sesuai dengan diri dan kodrat tiap pribadi. Kemusliman seseorang bukan hanya dipamerkan lewat ibadah-ibadah formal atau yang kasat mata saja. Iman, letaknya di hati, dan pasti nyata-berbukti. Dan perasaan hati pasti mencuat dalam tataran perbuatan bathiniyah, pikir, lisan, sampai dengan lahiriyah [Taufik Thoyib]--16/09/2011.
Ide Islami Diperangi
Pecut-Kasih Ramadhan Hantarkan Fithrah Jiwa Insani di Puncak Kenik- matan Serambi Cinta Ilaahi
Penulis: Lutfi Fauzan, Dosen di FIP Universitas Negeri Malang
Berbondong-bondong kaum beriman mendatangi tanah lapang dan masjid-masjid yang dimuliakan lengkap berpakaian serba indah dan baru. Lisan-lisan kaum beriman bergetar basahkan bibir perdengarkan merdu ungkapan dzikir: takbir, tahlil dan tahmid. Demikian suasana ritual rutinitas yang selalu terjadi di setiap 1 Syawal. Sesaat indah-gembira suasana tampak mata kepala memandang seakan riuh-gemuruh meriahnya pesta kemenangan. Namun tidak demikian sorotan-pandang tatapan nurulllah, pilu menyayat qalbu yang dirasakan. Dalam bahasa lisan terungkap-ucap: sangat disayangkan tidak setiap jiwa insan yang diliputi suasana suka-cita di hari Fithri adalah mereka yang memperoleh kemenangan meraih nikmat kebaikan yang dibawakan oleh Ramadhan. Sebagaimana disinyalir dalam hadits: Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja.
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Menuju Puncak Ma’rifatullah melalui I’tikaf di Bulan Ramadhan
Inti tauhid adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Alangkah nista jika manusia tidak mengenal siapa yang telah menciptanya. Berpaling dari Allah, tidak mengenal-Nya merupakan satu bentuk kesombongan manusia terhadap Pencipta. Sudah sampaikah pemahaman pada kita, ketika Allah mendahului memperkenalkan DIRINYA kepada manusia? Sesung-guhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Q.S.20:14). Bagaimana kedudukan manusia kalau Allah sudah memperkenalkan DIRINYA tetapi manusia tidak mempedulikannya? Allah juga menyayangkan manakala manusia tidak mengenal Allah dengan pengenalan yang benar dengan segala Sifat Indah yang wajib difahami sang hamba (Q.S.22:74) sebagai langkah awal untuk mampu menam-pilkannya dalam perilaku keseharian. Takhalluqu bikhuluqillah, berakhlaq-lah engkau dengan akhlaq Allah (Al-Hadits).
Mensyukuri Al Qur’an di Tangga-Tangga Ramadhan
Sepuluh hari pertama sebagai tangga pertama istana Ramadhan yang dikenal sebagai tangga pengampunan dosa telah kita lalui bersama. Hanya saja, boleh jadi ada yang berhasil secara utuh sempurna melaluinya dan boleh jadi ada pula yang gagal secara sempurna. Namun yang perlu diketahui, berhasil tidak berhasilnya tangga pertama istana Ramadhan ini dilalui, akan banyak mempengaruhi dan menentukan pula berhasil tidaknya tangga-tangga istana berikutnya. Hanya masing-masing pribadilah yang mengetahui. Bagaimana cirinya?
Kaum Fir'aun yang Hidup Glamur Germerlap-Mewah
Yang perlu diingat dan disadari ialah bahwa secara isi, konsep, maupun idea, ummat Islam di abad sekarang ini --khususnya di bumi persada tanah air ini-- nyata-nyata telah hilang dan tenggelam di dalam gelombang pola kehidupan Yhd. Persis yang terjadi pada kaum Fir’aun. Meskipun kegemerlapan dan kemewahan tampak secara mata kepala telah berhasil diraih Fir’aun dan pengikutnya, itu bukanlah kejayaan abadi yang tidak dapat tergoyahkan. Itu haqiqinya justru kehancuran, sebagai balasan dari keberhasilan meraih kegemerlapan dan kemewahan hidup rekayasa hasil merampas hak kaum lemah. Kehancuran itu telah dekat. Adakah Fir'aun di jaman ini? Di negeri ini? Adakah jual-beli politik kekuasaan di Indonesia?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.