Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #3
Negeri Kesayangan dan Rahmat Ilaahi (NKRI), Hanya Sesuai dengan Hidup Makmur Bersahaja
Bagaimana dan harus dari mana Indonesia melakukan perbaikan? Sayangnya, bisa jadi para pemimpin dan masyarakat muslim terlupa bahwa Indonesia Ibu Pertiwi dilahirkan melalui rahmat Allah! Jika tidak terlupa, dari sikap mensykuri rahmat Allah itulah bangsa ini dapat melangkah bersama dengan pasti.
angsa kita di masa lalu tampak dapat menghirup-rasakan “kebebasan”, karena tidak ada lagi campur tangan fihak lain dalam mengarah-tentukan roda perjalanan hidup bangsa. Keadaan demikian itu hanya berlangsung sesaat. Seterusnya tampak ada upaya-upaya fihak-fihak tertentu hendak memanfaatkan dan menyetir kemerdekaan dengan memasukkan faham-pandangan mereka. Yang sangat merusak mentalitas bangsa ini ialah materialisme. Bangsa ini dibujuk untuk hidup makmur bergelimang kemewahan. Padahal hal itu tak sesuai dengan fitrah manusia dan alam Indonesia. Juga, bangsa ini terbuai dengan individualisme Yhd, yang bisa saja mewujud sebagai kepentingan diri-suku-kelompok maupun partai tertentu. Dari sinilah awal timbulnya gejolak yang menggoyah-goncangkan nilai peradaban bangsa yaitu KESATUAN-PERSATUAN BANGSA, sehingga ujian demi ujian terus bergulir. Kesadaran apa yang dapat menggugah bangkit kebersamaan anak negeri ini?
Jika segala kekuatan dan semangat kebersamaan sudah terjalin-erat di antara anak bangsa, maka yakinlah, satu-persatu guliran kerikil batu-batu ujian dapat disingkirkan; keutuhan negeri-bangsa tetap terjaga. Namun jika keadan itu tidak tercapai, keutuhan tali kesatuan-persatuan bangsa tidak dapat dipertahankan, terbukti satu demi satu buhul pengikat kesatuan-persatuan dari bumi Ibu Pertiwi lepas-terpotong. Contoh yang sangat jelas, asas musyawarah telah tergantikan dengan demokrasi. Musyawarah adalah ajaran Islam; asasnya saling memberi berlandaskan kasih sayang; kebenarannya adalah Kebenaran Ilaahiyah. Demokrasi berasas saling meminta; kebenarannya adalah kebenaran relatif atau mayoritas. Pernahkah para nabi Allah meraih suara mayoritas? Mereka pasti minoritas, namun membawa sekalian manusia ke arah Kebenaran Ilaahiyah, atau kebenaran hakiki.
Pertikaian antar anak bangsa yang mengisyaratkan tuntutan pelepasan diri dari bumi Ibu Pertiwi kini makin nyata, dan berlangsung tidak henti-hentinya. Satu demi satu aset negera lepas ke fihak luar. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, segala bentuk kecurangan makin meraja lela. Alhasil Indonesia Ibu Pertiwi di saat ini dalam keadaan badan terkoyak-koyak bergelimang-bersimbah semburan darah sabitan pisau pertikaian anak bangsa. Jatuh-bangun Indonesia Ibu Pertiwi mempertahankan utuhnya kesatuan-persatuan kepulauan bumi Ibu Pertiwi beserta putra-putri tunas bangsa dari rongrongan perpecahan.
Dengan segala kelemahan tak berdaya, terseok-seok langkah Ibu Pertiwi bangkit berupaya menghimbau menghimpun putra-putri anak bangsa, untuk sesaat luangkan waktu membangun kembali rasa kebersamaan “sesakit sependeritaan, senasib seperjuangan dan sepenanggungan” sebagaimana dahulu pernah berlangsung (mengantarkan Indonesia Ibu Pertiwi naik ke tangga kehormatan dunia yaitu merdeka). Dari rasa kebersamaan bangkit bersatu bergandeng tangan leburkan segala bentuk kepentingan diri menuju keluhuran pekerti di perenungan suci untuk menggali-timba pelajaran berharga. Bagaikan ibu yang sedang memberikan tutur-nasehat kepada anak-anak yang saat ini sangat rentan dipancing pertikaian perpecahan. Hati seorang ibu mana yang tidak duka-lara menyaksikan satu-persatu anak-anaknya baik dalam pengertian manusianya maupun kepulauan besar-kecil memperlihatkan gejolak tuntutan pemisahan diri. Seolah, Ibu Pertiwi menyeru kepada anak-anak putra-putri Indonesia: “Ingat dan ingatlah wahai anakku putra bangsa! Kemerdekaan yang selama ini berlangsung semata-mata adalah rahmat dari Allah. Kemerdekaan yang dihadiah-berikan Allah kepadamu hai anak-anak-ku putra bangsa, bukanlah untuk membangun kepentingan-kemewahan peribadi-suku-daerah-kelompok dan partai tertentu, melainkan untuk modal pembangunan semesta yang akan mengkatlah harkat-martabat kehidupan bangsa. Ummat Islam seharusnya berperan utama, dan senantiasa hendaknya mewaspadai diri-sendiri. Ummat Islam akan sangat mudah dilemah-goncangkan kesatuan dan persatuannya oleh hal-pemberian Yhd yang bersifat menguntungkan kepentingan diri dan bersifat materialistik atau keduniawian”.
Rasulullah s.a.w. memberi nasehat sebagai berikut:
Siapa yang niyatnya adalah akhirat maka Allah akan menghimpun baginya semuanya, dan dijadikan kaya hati, dan datang kepadanya dunia merendah diri. Dan siapa yang niyatnya adalah dunia maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, dan menjadikan kemiskinannya selalu membayang di ruang matanya dan tidak akan datang kepadanya dunia kecuali yang ditentukan baginya.
Siapa yang telah meresap dalam hatinya cinta dunia, maka terikat hatinya dengan tiga hal: 1. Kesibukan yang tidak akan terlepas kesukarannya. 2. Angan-angan yang tidak ada ujung puncaknya. 3. Kerakusan yang tidak dapat mencapai kekayaan atau kecukupannya. Sedang dunia dan akhirat sama-sama kejar mengejar, maka siapa yang mengejar akhirat dikejar oleh dunia sehingga menerima cukup daripadanya rizqinya, dan siapa mengejar dunia dikejar oleh akhirat sehingga tiba matinya yang mencekiknya dengan tibatiba dan mendadak.
Setelah meresapi pemahaman dan pengertian kedua hadits tersebut, mudahlah melebur kembali seluruh unshur-unshur kepentingan diri-suku-daerah-kelompok-partai dengan bijak dan terselubung dibungkus-persatukan dalam wadah dasar negara yang inti dasar asasnya ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, hanya mereka yang bertauhid-murni sajalah yang dapat menyelenggarakan perbaikan bangsa dan negeri ini. Pribadi yang belum bertauhid murni, bersyari’ah bersih, dan berakhlak terpuji sebagaimana tauladan Nabi s.a.w. sampai kapan pun tak akan dapat memperbaiki keadaan, apalagi mereka yang kafir (menutup diri terhadap, atau menolak Islam). Hanya yang bertauhid murni sajalah yang dapat memperbaiki Indonesia.
Tulisan di atas merupakan bagian dari buah pena Ki Moenadi MS (alm) tahun 2001, berjudul “Indonesia-Ku, Pengantar Kami”, dengan penyesuaian redaksional dan beberapa tambahan informasi mutakhir dari Taufik Thoyib. –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.