Freeport, Lapindo, kerusakan hutan Kalimantan, dan lain-lain mungkin saja hanya sebagian kecil dari kerusakan akibat ulah (pemimpin) kita sendiri yang kita saksikan tepat di hadapan mata. Hal yang mendasar lain pun terjadi, misalnya kesenjangan kaya-miskin yg makin besar, terpinggirkannya mereka yg tak bermodal untuk berkiprah dalam politik, digusurnya asas musyawarah oleh prinsip demokrasi, dan seterusnya.
Semua orang merindukan perbaikan, semua mengharap perubahan, setiap nurani mendambakan kebangkitan. Tapi bagaimana bangkit tanpa pedoman pasti dari Allah? Allah hendak memuliakan manusia dengan petunjuk-Nya Al Qur'an, tetapi mengapa ummat Islam lebih percaya pada kitab-kitab Yhd laknatullah?
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan" (QS 25:30).
Nurani Manusia Menuntut Kebangkitan untuk Meraih Puncak Kesempurnaan Hidup

anpa kecuali, setiap nurani manusia menuntut kebangkitan atau perubahan di dalam kehidupan. Itulah fithrah manusia yang harus tumbuh dan berkembang untuk mencapai puncak kesempurnaan hidup yang telah Allah sediakan. Dengan demikian, tujuan nurani menuntut adanya suatu kebangkitan atau perubahan tidak lain untuk meraih puncak kesempurnaan hidup. Khususnya kebangkitan atau perubahan selalu dititik beratkan pada dunia keilmuan. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah, yakni lima ayat pertama yang diturunkan merupakan simbol keilmuan untuk membelah kegelapan hidup dan kebodohan hidup. Karena, lima ayat pertama merupakan kalimat perintah kepada manusia untuk membaca. Sedangkan membaca merupakan tulang punggung atau ujung tombak dalam dunia keilmuan. Tanpa melalui membaca, tidak akan ada ilmu yang dapat berkembang. Tetapi yang perlu diingat, membaca yang dimaksud bukan membaca rangkaian unsur tulis penanda bunyi dan membentuk kalimat, melainkan membaca simbol. Bukankah memang tidak ada huruf yang dilihat secara mata kepala oleh Muhammad Rasulullah s.a.w.? Jika yang dimaksud membaca adalah membaca rangkaian unsur tulis, itu sebenarnya cara membaca mata kepala, bukan cara membaca mata hati. Padahal yang dapat menyelenggarakan kebangkitan atau perubahan melalui dunia keilmuan adalah membaca dengan mata hati. Jika membaca hanya diartikan sebatas membaca unsur tulis bertanda baca yang membentuk kalimat, anak kecilpun bisa membaca. Lalu, apa perbedaan antara orang dewasa dan anak kecil membaca? Tapi kenyataannya, memang orang dewasa maupun anak-anak sama-sama tidak berkesadaran.
Dengan demikian, hanya keilmuan sajalah yang dapat mengajak dan membawa manusia menuju suatu kebangkitan. Tetapi ilmu pun tidak akan berkembang mencapai sasaran tepat berguna, jika ujung tombak keilmuan itu sendiri adalah membaca dengan mata kepala. Itulah sebabnya, dari saat ke saat jiwa manusia berupaya mencari kisi-kisi (keilmuan) untuk bangkit. Buktinya, dari masa ke masa corak budaya hidup dan kehidupan manusia selalu berganti. Namun apakah pergantian itu ada dalam ruang lingkup keridhaan Allah? Dalam keridhaan-Nya jika pergantian itu mengarah pada peningkatan harkat dan martabat manusia sampai mencapai kedudukan termulia di atas semua makhluq. Atau, pergantian itu dalam ruang lingkup laknat Allah? Dalam laknat Allah bila pergantian itu menjatuhkan harkat dan martabat manusia, sehingga sejajar bahkan lebih buruk dari pada binatang. Sungguh malang, di satu sisi nurani manusia terus bergejolak menuntut kebangkitan, namun di sisi lain manusia tidak mengetahui dengan pasti haqiqatnya. Akibatnya manusia tidak lagi peduli, apakah kebangkitan yang sedang diupayakannya mengarah pada kehancuran, atau pada perbaikan hidup dalam arti yang sebenarnya?

Umumnya, pandangan manusia hanya terfokus pada kebangkitan secara harfiah. Asal ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang tidak sama dengan yang sebelumnya atau tidak sama dengan tradisi, maka perubahan tersebut seketika dipandang dan dinilai sebagai suatu kebangkitan. Penilaian dan pandangan itu belumlah pasti, karena hanya diukur menurut pandangan dan penilaian diri, bukan diukur menurut penilaian dan pandangan Allah. Kenyataan inilah yang sebagian besar terjadi di tengah kehidupan manusia. Akibatnya tidak jarang terjadi, menurut pandangan dan penilaian manusia atas sesuatu fenomena terdapat tanda-gejala yang memacu pada kebangkitan, sementara dari sudut pandangan dan penilaian Allah, hal itu mengarah pada kehancuran. Sebagai contoh teknologi yang tak diwaspadai pertumbuh-kembangannya. Dalam pandangan sebagian besar manusia, teknologi lahir dari suatu kebangkitan. Memang, dalam kenyataan mata kepala teknologi membawa perubahan hidup bagi manusia. Namun di mata Allah, teknologi yang tak diwaspadai, bisa jadi tak lebih dari sekedar syaithan yang sedang dipertontonkan di muka bumi untuk manusia yang tidak sadar, yang akhirnya menimbulkan kecemasan hati.
Saat ini, bisa dikatakan tidak satupun dari hasil teknologi yang tidak merusak rajutan getaran ketenagaan hidup. Meskipun secara fisik teknologi terlihat banyak keutamaannya, tetapi secara rajutan getaran ketenagaan, tetap pada akhirnya hanya akan merusak secara berkepanjangan. Faktanya sangat banyak: ozon berlubang di atas Kutub Selatan, kota-kota dunia semakin sesak untuk bernapas dan rusak ekologinya, hutan di seluruh muka bumi makin berkurang, air laut dan udara semakin kotor, bahan kimiawi membuat polusi di mana-mana, makin banyak jenis flora dan fauna yang musnah, dan seterusnya. Sifat makhluq ciptaan yang setiap saat bekerja membuat kerusakan adalah syaithan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa teknologi tidak lebih dari pada sekedar pentas kebolehan para syaithan di muka bumi. Anehnya manusia-manusia tidak sadar ternganga-nganga menyaksikannya.
Sangat disayangkan bila ummat Islam tidak sadar bahwa sebenarnya, di tangan merekalah kebangkitan dan perubahan itu dapat terjadi dan terlaksana. Selama ummat Islam masih terjajah pola Yhd yang terlaknat, janganlah mengharapkan suatu kebangkitan di muka bumi ini. Begitu pula, selama ummat Islam tidak dapat muncul dengan kebangkitannya, selama itu pula kebangkitan yang terjadi adalah kebangkitan palsu yang menipu. Boleh jadi perubahan memang dapat diraih, tetapi tidak diiringi dengan kebangkitan. Disebut perubahan, jika manusia keluar dari pola, tradisi, atau kebiasaan. Pilihannya dua: keluar dari pola Qur’ani atau keluar dari pola manusia. Jika keluar dari pola Qur’ani, berarti perubahan yang terjadi kemerosotan akhlaq. Itulah perubahan menuju kehancuran. Sebaliknya, jika manusia keluar dari tata aturan manusia untuk kembali ke pola Qur’ani, maka perubahan yang terjadi adalah perubahan menuju kebangkitan untuk meraih kesempurnaan.
Mengapa kebangkitan berada di tangan ummat Islam? Karena Islam selalu membawa dan mengarahkan ummatnya untuk menuju kesempurnaan hidup. Adalah suatu keharusan bagi masing-masing pribadi ummat Islam untuk meraih puncak kesempurnaan hidup --jika ummat Islam mau menyadarinya. Sedangkan yang Maha Sempurna itu adalah Allah, maka Allah berkehendak membawa semua makhluq ciptaan ke tingkat kesempurnaan pula: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS 7:70). Dengan demikian, khususnya bagi manusia, kesempurnaan itu memang telah Allah jatahkan dan janjikan dengan syarat manusia itu sendiri yang berupaya meraihnya dengan pertolongan dari Allah. Berarti, kesempurnaan hidup hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang berkenan Allah tuntun atau Allah bimbing. Apabila jatah kesempurnaan hidup yang Allah janjikan tidak diambil oleh ummat Islam, berarti yang dikehendaki adalah kesengsaraan hidup, sebagaimana yang dialami ummat Islam sekarang ini.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 7/12/1997 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan -Admin
Sabtu, 28 Juli 2012
Nurani Manusia Menuntut Kebangkitan untuk Meraih Puncak Kesempurnaan Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.