
Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya. (QS. 46:26). Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat). (QS. 46:27)
Fithrah Manusia:
Ingin Mengetahui Yang Haqiqi
ebenarnya bila manusia, khususnya ummat Islam mau membuka hati selebar-lebarnya, mereka akan melihat bahwa bentangan kehidupan di muka bumi ini penuh Allah hiasi dengan tanda-tanda kebesaran-Nya. Dengan kata lain, semua yang ada di tengah-tengah kehidupan ini merupakan ayat-ayat Allah. Meskipun hanya sejentik nyamuk yang terdapat di air kotor-menggenang dan tampaknya tak berguna bagi kehidupan manusia, itu pun merupakan bagian dari ayat-ayat yang diberikan-Nya kepada manusia, agar manusia mau mempelajari dan memahami isinya secara tepat pasti. Setelah itulah, baru manusia dapat mengetahui manfaat-gunanya. Selama tanda-tanda yang ada di semesta atau yang juga sering disebut sebagai ayat-ayat kauniyah itu sulit dipahami secara tepat-guna, selama itu pula tanda-tanda itu tampak tidak berguna bagi kehidupan manusia.
Mustahil Allah mencipta sesuatu yang tak berguna.
Iblis sekali pun, awalnya diciptakan agar bermanfaat. Namun iblis telah memilih dan ditetapkan Allah menjadi sumber petaka-kemudharatan. Sudah barang tentu sarana yang diperlukan untuk membaca tanda-tanda yang Allah bentangkan di muka bumi ini adalah hati dan aqal. Demikian itulah cara Allah membimbing manusia agar dapat memahami tanda-tanda-Nya. Sayang, pada kenyataannya banyak manusia yang buta terhadapnya. Dengan demikian, keberadaan ayat-ayat kauniyah merupakan sarana tempat manusia belajar dan bertanya kepada Allah, sekaligus sebagai sarana untuk mengolah dan memfungsikan unsur daya potensi ketenagaan di dalam diri si manusia. Juga, untuk memancing manusia agar terbit gelitik-goda di dalam hatinya, supaya terbit rasa untuk ingin tahu ketepatan dan kepastiannya. Terhadap tanda-tanda itu, pertanyaan yang muncul adalah “apa maksud dan manfaat tanda-tanda ini bagi kehidupan manusia?” Jadi, dengan keberadaan tanda-tanda itulah diharapkan agar manusia mau bertanya kepada Allah tentang haqqiqat yang masih terselubung, tentang isi pengertian dan pemahaman atas tanda-tanda itu. Inilah yang Allah maksudkan dengan firman: “…wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS 3:191). Bahkan
dalam hal memahami tanda-tanda berupa berbagai bencana yang terjadi di tanah air ini, tersirat pengertian bahwa “tidaklah yang Allah ciptakan (idzinkan untuk berlangsung) itu sia-sia (tak bernilai peringatan dan pelajaran sama sekali).” (Mohon periksa “Peringatan Bencana Gagal Dimengerti Hati Buta”, publikasi Kajian Budaya Ilmu tanggal 15/04/2010 yang masih tersaji di bawah - Admin). Itulah bukti bahwa fithrah manusia tidak sesuai dengan kebodohan.
Ingin mengetahui, bertanya kepada siapakah?
Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang tidak mempunyai keinginan untuk bertanya kepada Allah. Atau, karena manusia tak mau bertanya kepada Allah, maka jadilah ia bodoh. Sayangnya, sifat ingin mengetahui itu tidak berhasil tersalurkan dengan baik. Dari pada bertanya kepada Allah untuk mendapat jawaban secara tepat dan pasti, jumlah terbesar manusia termasuk ummat Islam memilih azas prasangka dan praduga untuk memperoleh jawaban dari keingin-tahuannya. Padahal sangkaan atau praduga tidak sampai kapanpun tidak akan pernah berhasil mendekatkan manusia pada ketepatan dan kepastian, atau pada kebenaran mutlak, sebagaimana firman-Nya: ”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran...” (QS 10:36).
Sejak Islam menjadi jaya di tangan Rasulullah Muhammad s.a.w. yang diikuti para sahabatnya dan orang-orang beriman sejati, kebodohan atau kejahilan sudah boleh dikatakan berhasil terkikis. Akan tetapi, berawal dari munculnya teori perkiraan atau sangkaan muncullah kembali kebodohan. Bahkan kebodohan itu sudah mencapai tingkat yang paling dasar. Buktinya, manusia tak lagi mampu merasakan kasih Allah, apalagi untuk menangkap peringatan Allah sebagai rahmat petunjuk atau alat penyelamat kehidupan. Di zaman ini, kebodohan dan kejahilan bangkit kembali berkembang pesat laksana jamur di musim hujan. Penjamuran kebodohan atau kejahilan ini muncul sejak ummat Islam terpukau oleh teori-teori perkiraan atau persangkaan yang dikembang-luaskan oleh Yhd.
Bagi Yhd, tidak salah bila dalam pengenalan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah hanya dapat dicapai pada tingkat perkiraan atau sangkaan. Memang, sampai kapanpun Yhd tidak akan pernah mengenal atau dekat-bersahabat dengan Allah. Mengapa ummat Islam justru turut membeo kepada Yhd? Bukankah kepada ummat Islam, telah Allah bukakan kesempatan seluas-luasnya untuk dapat mengenal Allah secara dekat-akrab-bersahabat di dalam hati? Bagi seorang hamba yang hatinya telah dekat-akrab-bersahabat dengan Allah atau dapat mengenal Allah secara akrab, ia akan dapat memahami tanda-tanda semesta atau ayat kauniyah secara tepat dan pasti pula. Apa yang terjadi akibat ummat Islam terbuai teori perkiraan atau sangkaan? Mereka juga memahami tanda-tanda itu hanya dengan perkira-sangkaan. Pantaslah bila kehidupan ummat Islam berada dalam lingkaran permasalahan dan kesulitan tak teratasi.
Allah tidak menginginkan manusia hidup dalam kebodohan dan kejahilan
Tetapi tanda-tanda alam atau ayat-ayat kauniyah Allah pasti bersifat terselubung. Lalu, bagaimana yang terselubung dapat diketahui secara tepat-pasti, bila azas untuk mengetahuinya adalah mengira atau menduga. Sedangkan satu-satunya yang dapat membuka selubung penyingkap haqiqat hanyalah Allah. Jadi, tidak dapat tidak, untuk mengetahui haqiqat tanda-tanda itu, manusia harus bertanya kepada Allah.
Demikian itulah bukti kasih dan cinta Allah pada manusia. Maka di setiap saat dan tempat, Allah tidak pernah henti-hentinya memberikan tanda-tanda, baik berupa peringatan maupun berupa pengkhabaran gembira bagi orang-orang beriman. Keberadaannya itu merupakan sarana manusia beranjangsana dan berungkap kata dengan Allah. Inilah kenyataan atau realita bahwa Allah senantiasa membimbing dan menjaga manusia agar tetap berada di garis kelurusan. Sikap Allah yang demikian ini merupakan perwujudan dari pada kehendak-Nya: Allah tidak menginginkan manusia hidup terbelenggu oleh kebodohan dan kejahilan. Karena itu, salah satu fungsi diturunkannya para nabi di tengah-tengah kehidupan ummat adalah untuk melepaskan kehidupan ummat dari belenggu kebodohan atau kejahilan.
Tulisan ini adalah rangkuman kajian Ki Moenadi MS di Malang pada tahun 1419 H (1998) merupakan bagian pertama yang berlanjut ke judul "Kebodohan Membuat Manusia Buta terhadap Kasih dan Peringatan Allah". Editor: Taufik Thoyib.
Kamis, 22 April 2010
Fithrah Manusia: Ingin Mengetahui Yang Haqiqi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.