Senin, 23 Agustus 2010

Moral-Akhlaq Bernilai Ilaahiyah Merupakan Mahkota Bangsa



Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (kasih-sayang) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara... (QS 3:103).


Renungan Ramadhan (3)
Moral-Akhlaq Bernilai Ilaahiyah Merupakan Mahkota Bangsa







Tulisan ini adalah ringkasan dari Khutbah 'Idul Fitri 1431H. Untuk mengunduh versi lengkap berformat PDF, silakan klik di sini.

...dropcap S...

aksikanlah, bahwa tanda-tanda roda kehidupan kian bergulir masuk dalam perangkap keterpuruk-hinaan baik secara pribadi maupun berbangsa, kini semakin terasa di dalam berkehidupan negeri ini! Hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa kini sedang terpuruk-hina di lembah nista. “Salah siapa, ini dosa siapa?” Kenyataan memberi jawab: “tak ada satu pun pengendali-pelaku roda kehidupan berbangsa yang mampu mengentaskan roda kehidupan dari keterpuruk-hinaan”. Awam pun dapat melihat kenyataan terjadi, justru upaya memperpuruk keadaanlah yang berlangsung. Buktinya, tergadaikannya nilai kekayaan negara yang haqeqatnya dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat.

Keterpuruk-hinaan sedang melanda kehidupan ummat manusia di negeri ini satu dan lain hal disebabkan di dalam jiwa bangsa ini mulai hilang moral akhlaq yang bermuatan nilai ilaahiyah. Itu terjadi baik pada para pemimpin, lembaga kenegaraan, maupun masyarakat. Upaya untuk mengembangkan moral akhlaq itu dapat digali dari butir-sila pertama Pancasila, yaitu atau KETUHANAN YANG MAHA ESA. Buktinya, kehidupan masyarakat laksana anak ayam kehilangan induk-panutannya. Lembaga pengadilan yang diharapkan selaku pembela kebenaran justru tampil membela yang kuat lagi berkuasa. Golongan-partai yang mengimingkan kesejahteraan ummat, justru melimpahkannya pada para pelaku kelembagaan. Inilah buah pahit akibat nilai-nilai ilaahiyah dibuang-ganti dengan dogma HAM dan kebebas-bablasan demokrasi. Yang terjadi dengan demokrasi adalah kebebasan nafsu yang liar tanpa kendali. Yang kuat akan tetap jadi pemenang, yang lemah semakin tertin-das. Moral-akhlaq bernilai ilaahiyah merupakan mahkota bangsa. Bahkan menjadi citra budaya pertiwi yang harus dipertahankan dan dilangsungkan oleh setiap diri.

Tauladanilah Nabi Ibrahim a.s.! Harapan dan upaya Nabi Ibrahim a.s. membangun tauhid sebagai langkah-nyata membangun kesejahteraan ummat dan negeri tidak sia-sia. Buktinya, daerah sekitar Baitullah tumbuh-berkembang menjadi daerah yang aman lagi makmur sepanjang masa. Adapun langkah yang dilakukannya adalah menanamkan gaya hidup berpola tauhid kepada generasi penerus. Artinya, menghilangkan ketergantungan hidup pada fihak lain. Hal ini sesuai dengan himbauan Allah dalam firman-Nya: "Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS.3:110)

Ummat yang terbaik bukanlah ummat yang mengemis hina! Hidup menderita dengan modal kekuatan kaki sendiri, lebih berharga. Inilah yang akan mencuatkan identitas harkat-martabat bangsa. Jika saja moral akhlaq bernilai ilaahiyah tumbuh dalam pribadi masing-masing anggota masyarakat, maka negeri ini tidak akan mudah terjebak dalam perangkap umpan-manis bermadu derita-kehinaan.

Melihat kenyataan bahtera Negara Kesatuan Republik Indonesia ini (NKRI, Negeri Kesayangan-Ridha Ilaahi) kian terkoyak-hancur, apa yang diperbuat sang nakhoda? Sangatlah mengherankan, sang nakhoda dan para pembesarnya tak hanya tuli tidak mendengarkan, diam membisu tidak berani menyuarakan kebenaran, tapi bahkan buta tak hendak melihat kenyataan. Hiruk-pikuk tangis mereka yang tak berdosa makin keras terdengar, namun tak mampu sang nakhoda memberi jaminan keselamatan. Tampaknya keuletan dan kecerdas-cerdikan nakhoda sedang teruji. Dalam hal ini mampukah sang nakhoda mempertahankan kendali bahtera? Sadarilah musibah yang sedang melanda bahtera nusa dan bangsa disebabkan ulah bersama membangun dosa. Salah-satunya adalah mencabik-gadaikan nilai kebenaran akhlaq ilaahiyah yang telah tertata-tanam dalam budaya-bangsa. Oleh karena itu ingatlah nasehat Allah dalam firman-Nya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS.42:30).

Tampaknya pernyataan Allah tersebut banyak tidak disadari ma-nusia, buktinya masih saja muncul anggapan timbulnya musibah atau mata-rantai kesulitan disebabkan gejala alam atau sosial, dan belum pernah muncul pernyataan jujur dari para pemimpin mengakui kesalahan diri. Jika saja ada kesadaran terhadap firman Allah tersebut, akan sangat mudah memancing sikap untuk melangsungkan perbaikan di dalam tatanan berkehidupan. Perihal telah terjadinya kerusakan dalam tatanan kehidupan baik di lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat semesta ditandas-tegaskan Allah dalam firman-Nya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS.30:41)

Tersirat ketegasan dalam firman Allah tersebut terjadinya keterpuruk-hinaan pada kehidupan disebabkan laku-perbuatan manusia telah menyimpang dari kelurusan yang ditetapkan Allah. Dirasakannya dampak keterpuruk-hinaan sebagai cambuk menumbuh-bangkitkan kesadaran adalah untuk mengakui bahwa diri telah menyimpang dan melakukan banyak dosa pembangkangan terhadap Allah. Meski demikian, belum satu pun kejahatan manusia diangkat dalam pengadilan Allah. Justru sebaliknya sikap Allah selaku hakim yang Agung memberikan ampunan dan kesempatan luas untuk bertaubat memperbaiki diri kepada segenap manusia. Jika saja setiap kesalahan manusia seketika diajukan kemeja pengadilan Allah, tentu tidak ada satu pun manusia yang dapat selamat, karena nafsu manusia cenderung membawa langkah-kegiatan manusia ke arah kejahatan. Namun kasih dan sayang Allah yang tercurah-lekat sejak awal penciptaan berupa segumpal darah, tak menginginkan langkah perjalanan hidup manusia terjerat di jurang siksa neraka. Diutuslah Ramadhan bulan yang penuh karunia cinta Ilaahi, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersandera kejahatan nafsu-durjana.

Ciri Ramadhan berhasil disyukuri secara sikap ialah ragam-keberbedaan lebur-bersatu dalam sikap nilai-pandang meng-Esa-Tauhidkan Allah. Pertanyaan yang perlu direnung-sadari segenap jiwa yang berpuasa adalah: “Dengan kehadiran Ramadhan sudahkah berhasil ummat Islam khususnya di tanah air ini membina kehidupan rukun-bersatu dalam wadah meng-Esa-Tauhidkan Allah?” Bila belum, itulah hal yang harus diraih bersama. Satu hal lagi yang perlu selalu diingat adalah bahwa sampai kapan pun Yhd tidak suka melihat ummat Islam bersatu membangun kejayaan: "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yhd…" (QS. 5:82)

Demikian itulah upaya dilakukan Ramadhan untuk mengentaskan kefithrahan manusia. Untuk itu, sebagai bahan renungan tambahan, marilah dengan kebersamaan, kita bangun kembali moral akhlaq bernilai ilaahiyah. Karena hanya dengan bermodalkan moral akhlaq bernilai ilaahiyah jutaan jiwa generasi muda khususnya dapat diselamatkan dari ancaman keganasan obat bius akhlaq tercela Yhd. Bagaimanapun harapan pelanjut bangsa terbebankan pada generasi muda. Apa jadinya perjalanan bangsa jika sebelum mencapai tingkat kedewasaan berfikir jiwa generasi terlebih dahulu teracuni? Begitu pula penyakit keterpuruk-hinaan yang sedang melanda bangsa dan masyarakat negeri ini hanya dapat pulih kembali dengan obat moral akhlaq bernilai ilaahiyah meng-esa-tauhid-kan Allah. Jika hal demikian berhasil diraih, itulah tanda bahwa kemenangan berhasil dicapai. Bagi kita, baru pantas mengatakan: مِنَ الْعَا ئِدِيْن وَا الْفَا ئِزِ يْن Dan pantas pula bagi kita melaksanakan sholat ‘Id sebagai wujud rasa syukur atas rahmat yang telah diberikan Allah s.w.t.

Diringkas oleh Taufik Thoyib dari buku: “Rukun-Bersatu dalam Wadah Nilai Meng-Esa-Tauhid-kan Allah”, tulisan Ki Moenadi MS, Malang, 1423H (2002).

6 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Wr. Wb.
    Alhamdulillah..saya sepakat dengan uraian di atas. Bahwa sebagaimana Rasulullah Muhammad diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan ahlaq (Makaarimal Ahlaq). Menurut hemat saya, perjuangan memahkotakan negeri ini dengan moral ahlaq bernilai Illahiyah haruslah di mulai dengan adanya PEMIMPIN untuk memberikan tauladan dan arahan bagi seluruh anak negeri. Sebagaimana keberadaan Rasulullah Muhammad SAW ditengah2 shahabat dan ummatnya. Tanpa hadirnya pemimpin maka keberadaan jaman/orde 'anak ayam kehilangan induk' seperti sekarang ini justru akan semakin dimanfaatkan oleh agen-agen kerusakan untuk melaksanakan program-proyek kehancurannya (di NKRI). Muncul dan tampilnya pemimpin menjadi kebutuhan mutlak bagi terselenggarakannya kehidupan tertib, terbina dan terkendali. Pada tahapan tersebut, insyaAllah perbaikan moral ahlaq bernilai Illahiyah di negeri dan bangsa ini bisa dengan konkret diterapkan yaitu melalui keteladaan dari PEMIMPIN YANG BERJIWA TAUHID.
    Wallahua'lam, mohon maaf atas ketidaktepatannya.
    Wassalam.

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum salam wr.wb.
    Di negeri kita, sulit mencari pekerjaan, sampai harus menjadi TKI ke luar negeri. Sementara untuk posisi pemimpin yang demikian yang Anda tulis itu, yang lowongannya banyak, justru tampaknya sulit mencari peminat. Jika ada yang berminat dengan kesadaran pengabdian kepada Allah, PASTI MUNCUL para pemimpin yang berkualitas bagus.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum..
    Mohon maaf, kedua kommen diatas bagaimana korelasinya ya? Benarkah kalau yang saya tangkap bahwa seorang Pemimpin kemunculan dan tampilnya memang sesederhana mengisi sebuah jabatan/pekerjaan? Betulkah kalimat jika ada yang berminat ... PASTI MUNCUL ...merupakan suatu hukum ketetapan dari ALLAH Azza Wajallah terhadap berita Kepemimpinan (bagi negeri bangsa ini)? Adakah Nabiullah Adam as juga mengalami 'hukum ketetapan' tsb sebagaimana Beliau diciptakan ALLAH SWT sebagai Khalifah di bumi? Mohon dapat disampaikan penjelasannya? Terimakasih. Wassalam.

    BalasHapus
  4. Wa'alaikum salam wr.wb.,

    Jazakumullaah khairan katsira atas tanggapan ibu. Khalifah (pemimpin) yang sesungguhnya, ditetapkan oleh Allah, bukan diangkat oleh masyarakat manusia (QS 2:30). Yang dikhalifahi seorang khalifah adalah masyarakat alam dan manusia sekaligus. Khalifah bertanggung-jawab atas arah perjalanan hidup suatu kaum dan alam lingkungan hunian kaum itu untuk suatu penggalan waktu tertentu.

    Konsep khalifah agak berbeda dengan kepemimpinan manusia dalam kegiatan hidup sehari-hari. Dalam hal ini, setiap manusia adalah pemimpin dan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya (al Hadits). Ada yang hanya ditakdirkan memimpin dalam skala kecil, ada yang lebih besar; ada yang ditakdirkan memimpin secara formal (dalam jabatan kenegaraan) ada yang diperjalankan Allah di jalur informal (memimpin masyarakat menurut aspek-aspek kehidupan tertentu, misalnya pemimpin permurnian syari'ah di suatu wilayah, pemimpin pembaharuan sistem ekonomi islami di sektor tertentu, pemimpin pembaharuan keilmuan dari yang didominasi paham sekuler menjadi qur'ani, dst). Lelaki memimpin keluarga; wanita memimpin rumahtangga. Para nabi semuanya adalah khalifah, tetapi tak semuanya memimpin negara secara formal, tercatat hanya nabi Daud a.s., Sulaiman a.s., dan Muhammad s.a.w. sebagai kepala negara.

    Apa skala kepemimpinan tiap manusia, tinggal bagaiamana Allah selaku penentu memperjalankannya. Kekhalifahan Muhammad Rasulullah s.a.w. berskala semesta (sebagai rahmatan lil 'aalamiin). Beliau tak memimpin seorang diri, tetapi bersama para sahabatnya. Seluruh nabi bukan superstar atau single-fighter. Pasti berjama'ah. Majemuk (menyangkut jenis penganganan/aktivitasnya, kualitatif) sekaligus jamak (menyangkut jumlahnya, kuantitatif) namun dalam kesatuan langkah perjuangan, mencapai masyarakat adil-makmur (baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur, masyarakat madaniyyah; QS 34:15) di bawah naungan kepemimpinan/bimbingan Allah s.w.t.

    Indonesia kini sangat membutuhkan pemimpin yang sesuai dengan tolok ukur Allah, yaitu seorang penapak tilas yang menauladani Nabi s.a.w. secara murni dan konsekuen. Artinya, yang berkriteria ruhaniyah (spiritual) dan aqliyah (intelektual) tinggi, sehingga karena bimbingan dan pertolongan Allah semata terhadap kesiapannya itu, ia mampu memecahkan berbagai masalah rumit ummat, bangsa, dan negara secara tuntas. Bila sudah ada orang-orang yang memenuhi syarat itu, pasti Allah perjalankan kelompok itu untuk akhirnya memimpin kaum bangsa ini.

    Apa yang dimaksud dengan kesiapan ialah upaya lahir. Tentu, secara lahir hal itu tak pernah mudah, sebagaimana sejarah Rasul Muhammad s.a.w. pun menjelaskan perjuangan-perjuangan yang sangat-berat dari beliau beserta para sahabatnya. Allah tak pernah memanjakan manusia; kita paham bahwa Allah baru akan mengubah nasib suatu kaum setelah kaum itu berjuang penuh kesungguhan (QS 13:11). Kelompok yang mengawali berjihad sepenuh daya upaya masing-masing itulah yang dinanti-nantikan oleh negeri ini. Bila telah memenuhi syarat, PASTI TERJADI pergantian kepemimpinan, sebagaimana firman/nash/ketetapan-Nya: “Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zhalim yang telah Kami binasakan, dan Kami (Allah) adakan sesudah mereka itu, kaum yang lain (sebagai penggantinya)” (QS. 21:11).

    (bersambung...)

    BalasHapus
  5. (lanjutan...)

    Adam a.s. berstatus khusus, karena kakek moyang kita itu manusia pertama. Ia ditetapkan/ditampilkan Allah untuk memberi pelajaran dan kejelasan, bahwa manusialah yang memimpin atau mengkhalifahi semesta. Maka sangat sulit diterima aqal sehat manusia menyembah/mengabdi unsur alam seperti gunung, laut, dsb.

    Sekali lagi, negeri ini menunggu terpanggilnya para hamba Allah untuk memperbaiki keadaan, sebagai wujud nyata pengabdian kepada-Nya. Insya Allah, satu demi satu bermunculan, saling dipertautkan hatinya (QS 3:103), dan pasti akan dirajut menjadi satu gerakan langkah oleh Allah. Contoh yang sangat kuat ialah bagaimana Umar bin Khattab dipersatukan dengan Muhammad Rasulullah s.a.w. dalam satu perjuangan.

    Demikian bu, dengan segala keterbatasan saya, semoga penjelasan tambahan ini ada manfaatnya. Dan semoga Allah menambah karunia kemudahan dan pertolongan agar masing-masing pribadi muslim di negeri ini, termasuk ibu, makin gigih mengupayakan kebangkitan ruhani, sebagai modal dasar dan awal perbaikan ummat, bangsa, dan negeri kita. Amiin.

    Wassalamu'alaikm wr. wb.,
    Taufik Thoyib

    BalasHapus
  6. Assalamu'alaikum Wr. Wb
    Jazakumullah khairan katsiro, atas penjelasan yang telah diberikan oleh Kajian Budaya Ilmu, terutama kepada Bapak Taufik Thoyib. Mudah2an segera dimunculkan pembawa obor bagi perjalanan nidup negeri dan bangsa tercinta ini.
    Mohon maaf..Taqabbalallahu minna wa minkum. Taqabbal Ya Kariim. Selamat menyambut 'Idul Fitri 1431 H.
    Wassalam.

    BalasHapus

Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.