
Bumi Tanah Subur, Makmurlah Rakyat dan Luhurlah Peradabannya
ahudi melakukan berbagai cara tipu daya untuk mendapatkan buah dari kesuburan bumi tanah yang terhampar di luar hamparan kehidupan mereka. Tanpa melakukan tipu daya terhadap masyarakat atau bangsa yang mendiami bumi tanah yang subur, akan sangat sulit bagi mereka untuk melangsungkan hidupnya. Maksud mereka melancarkan tipu daya, tidak lain agar dapat memperoleh hasil dari kesuburan bumi tanahnya dengan murah dan mudah, khususnya bahan baku kandungan tanah. Bagaimana mereka sebagai para penjajah memperebutkan ummat Islam termasuk di negeri ini, telah diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. lewat sebuah hadits:
“Nyaris tiba saatnya banyak ummat yang memperebutkan kalian (ummat Islam), seperti orang-orang makan yang memperebutkan hidangannya. Maka, ada seseorang bertanya: “Apakah karena sedikitnya kami (ummat Islam) pada hari (zaman) itu?” Beliau menjawab: “Justru jumlah kalian banyak pada waktu itu, tetapi ibarat buih di atas air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan penyakit wahn”. Seseorang bertanya: “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Bahan baku itulah yang diolah dan direkayasa oleh kaum atau bangsa Yhd sebagai modal utama untuk melangsungkan kehidupannya. Di situlah letak ke-Maha Pemurah-an Allah, meskipun masyarakat atau suatu bangsa tetap melangsungkan hidup dengan cara hina lagi tercela, bukan berarti mereka tidak mendapatkan hak hidup di muka bumi. Dalam hal ini mereka tetap mendapatkan hak hidup. Tetapi hak hidup yang mereka miliki sangat tergantung pada masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur. Dengan demikian, mereka masih diberi kesempatan untuk mendaya-manfaatkan hasil kesuburan tanah, khususnya bahan baku untuk diolah untuk melangsungkan kehidupan. Sebetulnya mereka hanya diberi kesempatan untuk mengolah hasil, bukan untuk mengkaji keadaan bumi tanah yang subur, sebab sampai kapan pun mereka tidak akan bisa memiliki ilmu yang pasti tentang itu. Meskipun kesempatan telah diberikan, bukan berarti mereka leluasa bersikap semau sendiri untuk mengambil hasil dari bumi tanah yang subur. Kesempatan itu mestinya hanya diberikan selama mereka patuh dan tunduk pada peraturan yang ditegakkan oleh masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur.
Sudah barang tentu peraturan yang ditegakkan itu peraturan yang tidak terlepas dari kebenaran. Jika kaum atau bangsa yang telah Allah tetapkan berkehidupan di bumi tanah subur menjadikan pola atau pandangan bangsa Yhd sebagai contoh kehidupan, boleh jadi bumi tanah itu akan menjadi bumi tanah yang tandus. Bumi tanah itu terkena imbas bumi tanah yang ditempati kaum atau bangsa Yhd. Tandus tidaknya hamparan bumi tanah sangat tergantung pada sikap manusia: mau menerima dan memanfaatkan ni’mat Allah dengan sikap baik atau tidak. Hanya dengan ni’mat Allah sajalah, hati dan khususnya bumi tanah tandus, dapat berubah menjadi bumi tanah subur.
Siapa pun manusia, kelompok masyarakat atau bangsa, pasti tidak berkeinginan menempati bumi tanah tandus sebagai hamparan kehidupan. Untuk itulah, manusia selalu berupaya mencari tempat hamparan kehidupan di bumi tanah yang subur. Sejak dahulu, kehidupan masyarakat di tanah air kita telah dikenal sebagai masyarakat yang bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah tempat.
Sikap hidup berpindah-pindah, menunjukkan bahwa yang diinginkan fithrah-jiwa manusia adalah hamparan bumi tanah yang subur. Karena tingkat peradaban mereka pada saat itu, maka mereka mengukur kemakmuran sebatas suburnya tanah untuk tanaman.Demikianlah, yang selalu mereka cari adalah hamparan bumi tanah yang dapat ditumbuhi tanaman. Manusia lebih suka menjadikan bumi tanah yang subur sebagai tempat hamparan hidup, karena itulah modal untuk meningkatkan taraf kemakmuran hidup dan peradaban masyarakat atau bangsanya. Bumi tanah yang subur juga menjadi ukuran tingginya tingkat kemakmuran dan peradaban suatu masyarakat dan bangsa.
Mau tak mau, sebetulnya masyarakat atau bangsa yang menempati hamparan bumi tanah yang subur senantiasa dituntut untuk bisa mengenal dengan dekat, bahkan dapat bersahabat akrab dengan alam yang ada di sekitarnya; khususnya, terhadap kesuburan tanahnya. Sudah semestinya masyarakat itu mengerti lebih jauh jiwa alam, sehingga lebih mudah membawa bangsanya pada tingkat kemakmuran hidup dan peradaban yang lebih tinggi. Masyarakat yang telah mengetahui jiwa alam, tidak akan bersikap perilaku tak senonoh terhadap alam, khususnya pada saat hendak mendaya-manfaatkan kandungannya. Sudah barang tentu untuk mengenal lebih dekat atau bersahabat dengan alam, diperlukan ilmu sebagai jembatan hubung antara manusia dan alam. Tetapi tidak setiap ilmu dapat digunakan. Mengapa? Yang diperlukan manusia adalah ilmu yang dapat mengetahui dengan pasti tentang manusia dan alam.
Jika ilmu yang dipakai hanya dapat mengetahui salah satunya saja, maka ilmu itu tidak bisa digunakan sebagai jembatan hubung. Bila ilmu hanya mengetahui keinginan manusia sementara keinginan alam tidak dapat diketahui secara pasti maka ilmu itu hanya akan menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan. Pasti timbul jurang pemisah antara kehidupan manusia dengan alam; pasti jalinan persahabatan antara manusia dengan alam akhirnya terputus pula. Bila alam tidak lagi mau bersahabat dengan manusia sebagai masyarakat dan bangsa, itulah awal pertanda bahwa manusia itu akan dihinakan di tengah-tengah kehidupan.
Ketimpangan itu terjadi disebabkan ilmu lebih banyak berpihak pada manusia: hanya membela dan memenuhi keinginan manusia. Alam diperkosa kehidupannya oleh ilmu demi memenuhi segala keinginan manusia. Ilmu yang bersifat demikian adalah ilmu yang lahir dari nafsu manusia. Demikianlah, nafsu pun bisa menciptakan ilmu di tengah-tengah kehidupan. Tetapi, ilmu yang lahir dari nafsu sampai kapan pun tidak akan pernah mengetahui dengan pasti jiwa alam, khususnya tanah. Ilmu yang lahir dari nafsu tidak bisa dijadikan jembatan hubung antara manusia dengan alam karena ilmu itu selalu mempunyai kepentingan. Satu-satunya ilmu yang dapat dijadikan jembatan hubung antara manusia dengan alam adalah ilmu yang tidak terlibat pada kepentingan manusia dan alam. Meskipun ilmu itu tidak berkepentingan terhadap manusia dan alam, tetapi keberadaannya justru untuk merajut kehidupan manusia dan alam pada satu mata rantai yang berkeselarasan. Ilmu itu adalah ilmu pasti. Yaitu, ilmu yang dikaruniakan dari sisi Allah; ilmu yang meliputi kehidupan bersemesta, baik yang tampak menurut mata kepala maupun yang tidak tampak menurut mata kepala; ilmu dari sisi Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS 96:5)
Bersama tulisan berjudul "Menyuburkan Kembali Hati dan Tanah yang Tandus", tulisan ini merupakan penulisan ulang yang dikerjakan oleh Taufik Thoyib dari rangkuman kajian pada 29 Shafar 1419H (24 Juni 1998) di Malang, yang disajikan oleh Ki Moenadi MS almarhum, semoga ridha Allah tercurah kepadanya, amin. – Admin.
Selasa, 18 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Bagaimana hubungan antara bumi tanah subur serta rakyat makmur dengan cinta dunia? Tidakkah tanah subur dan rakyat makmur, cenderung menggiring masyarakat tersebut pada sifat cinta dunia dan takut mati serta melupakan akhirat? (obiya@live.com)
BalasHapusKuncinya pada nafsu. Kalau nafsu manusia mau sedikit berendah hati terhadap penjelasan Islam dari siapa pun, mendengarkan/membaca dengan tenang, tidak selalu punya prasangka buruk dan didahului dengan niyat 'aku akan menyanggah, karena aku seorang kritis dan intelektual', maka nafsu akan mempunyai pengetahuan yang cukup. Nafsu akan jelas apa tujuan hidup, yaitu akhirat dan mau surut dari dunia(tak serakah terhadapnya). Glagah Nuswantara
BalasHapusMohon maaf, bukannya hendak mendebat atau beradu intelektual, saya hanya belum bisa memahami ketersambungan antara konsep kemakmuran duniawi dengan masalah keimanan dan ketaqwaan. (obiya@live.com)
BalasHapus