
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan (diabaikan)." (QS 25:30)
Israa’: Indonesia Menembus Kegelapan
Rasi bintang “Gubuk Penceng”, yang dikenal oleh hampir seluruh bangsa-bangsa Nusantara, Amerika Selatan, Aljazair, Maori, dan lain-lain sebagai penunjuk arah Selatan. Rasi bintang ini dalam astronomi eurocentric dikenal sebagai "Crux Australis", “Southern Cross”, atau "Zuiderkruis" (berturutan dalam bahasa Latin, Inggris, dan Belanda), disingkat “Cru”. Dalam dunia politik-militer, lambang ini dipakai antara lain pada bendera Australia, Selandia Baru, Viktoria, Brasil, Samoa, Papua New Guinea, dan Divisi Infanteri ke-23 US Army.
Kembali ke topik bintang. Begitu pentingnya tamsil bintang sehingga Allah menetapkan namanya sebagai nama salah satu surat dalam Al Qur’an (Surat An-Najm, "Bintang", Surat ke-53). Bukankah dari tamsil bintang, ada pelajaran penting? Yaitu bahwa pemimpin mesti bersifat-keadaan sebagaimana bintang (najm) yang dapat menunjukkan arah, tidak saja untuk kegiatan sosial-budaya dan politik-ekonomi, tetapi juga memberi arah dan mengayomi kehidupan ruhani kaumnya. Sebagian kalangan menyebut kualitas pemimpin seperti itu adalah "kesatria pinandita" (sekaligus mempunyai intelektualitas dan spiritualitas tinggi sebagaimana yang ditauladankan para nabi), sehingga cukup memadai untuk memimpin bangsa-negeri nan sangat majemuk ini. Apakah yang sudah dicontohkan para pemimpin kita?
uatu kenyataan yang sangat merisaukan di Indonesia, tampaknya ummat Islam telah lari dan menjauh dari wahyu Allah, sebagaimana diisyaratkan pada Surat Al-Furqaan Ayat 30 di atas. Buktinya, kehidupan gotong-royong berkandungan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits tergusur oleh kehidupan individualistik untuk perolehan materi duniawi belaka. Dahulu, sangat mudah menggerakkan masyarakat untuk bekerja bersama, menyelesaikan permasalahan desa atau kampungnya. Sekarang, bahkan tak sedikit kasus tawuran antardesa. Bukti lain: musyawarah berasas saling memberi hak dan kasih-sayang sebagai pewujudan sifat Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalam kehidupan berbangsa, digantikan oleh demokrasi berprinsip saling menuntut hak dan keuntungan diri ganda-berlipat dalam tempo sesingkat-singkatnya dan dengan cara semudah-mudahnya. Padahal, sangat pentingnya kehidupan bermusyawarah telah Allah isyaratkan sehingga "musyawarah" menjadi nama satu surat dalam Al Qur'an, yaitu Surat Asy-Syuraaa, Surat ke-42, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 38 Surat Asy-Syuraa: "Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat; sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musrawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." Bukankah meninggalkan asas musyawarah dalam kehidupan politik sama dengan tak lagi mematuhi atau menentang Allah? Jika jalan musyawarah selama ini buntu, bukan musyawarahnya yang salah. Akuilah bahwa kualitas manusianya belum pantas untuk dibimbing Allah. Sangat sulit sebenarnya untuk menganggap-diri sudah baik dan terbimbing Allah. Sebab, jika memang terbimbing Allah, mustahil ada pertikaian apalagi permusuhan tajam di antara ummat Islam! As-Salaam, Allah Yang Maha Pemberi Kedamaian dan Menyelamatkan Makhluq-Nya, mustahil mengadu-domba hamba-Nya.
Belum lagi yang berdampak sangat dahsyat memporak-porandakan fithrah manusia. Yaitu, cara berfikir-hati yang qur’ani terpimpin ilaahi rabbi, tergantikan cara berfikir logika-nafsu yang lekat dengan sifat dengki (lihat tulisan ”Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah?” di weblog ini). Dengan sendirinya, watak keilmuan yang tumbuh berkembang dari cara berfikir logika-nafsu itu adalah keilmuan yang egoistik. Cirinya, hanya memihak kepentingan manusia dan sangat kuat cenderung memuliakan sekelompok manusia: manusia yang dianggap berilmu adalah manusia dalam masyarakat eurocentic, atau bercikal-bakal-kiblat tolok ukur dari Eropa. Berbagai macam bentuk penghargaan ilmu antara lain Nobel, atau pemakaian bahasa Latin sebagai ”bahasa ilmiah” satu-satunya yang disyahkan masyarkat dunia yang eurocentric, adalah bukti nyata. Ada berapa banyak nama Eropa yang tercantum sebagai ”penemu” jenis flora? Padahal, yang menemukan dan bahkan telah menerapkan kemanfaatannya berabad-abad pasti bukan mereka, namun penduduk lokal.
Persoalan yang lebih mendasar ialah tak diketahuinya bakat-potensi manusia. Padahal, Al Qur’an menjelaskannya. Pantaslah bila derajat kehinaan adalah akhir dari segala buah pahit yang dipetik ummat Islam. Unsur ketenagaan di dalam diri berupa bakat-potensi telah dihancur-bunuhkan oleh kedengkian berfikir logika-nafsu (lihat tulisan ”Belajar & Meneliti : Melaksanakan Perintah Iqraa Bismi Rabbikal Ladzii Khalaq” di weblog ini). Padahal, bakat-potensi itu sebenarnya berfungsi selaku alat untuk memproses manusia menuju keterpujian dan kemuliaan hidup. Jika saja pengembangan dari bakat-potensi manusia dapat terjaga baik, maka masing-masing unsurnya pasti akan berkembang menghasilkan buah kemuliaan hidup bagi manusia. Lalu harus bagaimanakah kita?
Mengaku-jujurlah tentang kezhaliman diri!
Bagi yang yaqin, semua penggeseran dan penggusuran Al Qur’an sebagai pedoman hidup, pasti menyebabkan kesulitan karena Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu,... (QS. 2:185); Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan (karena) manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. 4:28). Demikianlah Allah menurunkan Al Qur’an untuk memudahkan dan menyelamatkan hidup manusia, karena Dia Maha Tahu tentang kelemahan manusia. Namun, sambung-menyambung atau merantainya permasalahan-kesulitan dengan buah kehinaan dan kebinasaan hidup yang terjadi di negeri ini mendorong untuk bertanya: “inikah yang dinamakan murka dan laknat Allah sedang menimpa suatu kaum?”
Bagi ummat Islam, tidak perlu lari dan mengingkari kenyataan karena memang demikian itulah yang sedang terjadi. Sebaliknya, mengakui kenyataan dan kemudian berupaya sungguh-sungguh melakukan perbaikan, niscaya lebih terpuji di sisi Allah dari pada beranggapan-diri telah baik. Pengakuan dan penyadaran terhadap adanya kemurkaan Allah yang sedang jatuh menimpa, akan memacu jiwa untuk bangkit melakukan perubahan ke arah perbaikan: ...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... (QS. 13:11)
Boleh jadi belum diperolehnya pertolongan dari Allah bagi bangsa Indonesia, disebabkan belum adanya pengakuan-jujur tiap-tiap diri untuk memohon ampun atas kegiatan yang tidak mengikuti arahan petunjuk dari wahyu Al-Qur’an. Secara sikap, boleh jadi bisa dikatakan bahwa justru ummat Islamlah yang menantang arahan-petunjuk yang dibawakan Al-Qur’an. Hal ini terjadi karena nafsu diri lebih suka mengikuti pandangan-pendapat baik dari diri (diri sendiri maupun dari diri orang lain yang telah diliteraturkan).
Lingkungan hunian yang rusak parah adalah bukti bahwa selama ini telah terjadi kesenjangan yang tajam antara masyarakat manusia dengan masyarakat alam lingkungan. Tidak ada jalinan kasih di antara keduanya yang ditentukan oleh manusia bersikap akhlaq santun. Alam lingkungan tidak lagi bersahabat terhadap manusia. Tidakkah disadari manusia bahwa: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. 42:30). Dan: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. 30:41) .
Khalifah: kepribadian yang ridha terhadap Allah
Dengan kedua pernyataan Allah tersebut, sempurnalah manusia menjadi terdakwa dalam tuntutan majelis hakim masyarakat alam lingkungan. Selama ini manusia tidak pernah menyadari bahwa alam lingkungan merupakan bagian dari masyarakat mempunyai hak yang sama melangsungkan kehidupan dalam tatanan santun-berkesetimbangan. Dengan tidak adanya kesadaran ke arah demikian timbul sikap kesewenangan dari manusia dengan cara menekan-paksa kehidupan alam lingkungan agar memberikan buah keuntungan dalam waktu singkat dengan hasil cepat-berlipat. Inilah bukti mahkota kekholifahan manusia telah tercampakkan oleh prilaku sifat tamak-serakah. Padahal mulianya kedudukan seorang kholifah tidak lain dikarenakan singgasana yang didudukinya adalah singgasana perasaan-hati dihiasi kepemurahan yang didorong rasa kasih-sayang, baik terhadap sesama masyarakat manusia maupun masyarakat alam lingkungan.
Diakui atau tidak diakui lama sudah kehidupan di alam semesta kehilangan kholifah, meskipun di mana-mana bermunculan para pemimpin baru, tetapi tidak dapat membawa dirinya pada jabatan atau peran kekholifahan. Dalam hal ini tidaklah sama pengertian jabatan pemimpin dengan jabatan kholifah. Kepemimpinan kholifah meliputi masyarakat manusia dan masyarakat alam lingkungan. Berarti pengayomannya tidak saja terarah pada sekelompok masyarakat manusia, tetapi adil merata mencakup kelompok masyarakat alam lingkungan. Bukti pengayoman itu adalah tidak ada kesenjangan antara masyarakat manusia dengan masyarakat alam lingkungan; masyarakat alam lingkungan tetap menaruh rasa persahabatan yang tinggi terhadap masyarakat manusia.
Siapakah yang dapat meraih tataran khalifah itu? Adalah mereka yang dapat meraih kembali kefithrahannya, karena fithrah manusia adalah khalifah di atas bumi yang diciptakan Allah. Dengan kata lain, hanya mereka yang ridha terhadap ketetapan Allah tersebut sajalah, yang dapat mengadakan perbaikan di negeri ini. Keridhaan mereka dengan sendirinya meluruskan perbuatan mereka kepada Allah. Pasti, pada gilirannya, keridhahan para hamba Allah itu memancing ridha dan rahmat pertolongan Allah atas mereka. Maka bagi mereka yang telah berkesadaran, pengorbanan segala kepentingan nafsu diri tak menjadi soal, asalkan kaumnya dapat terselamatkan. Mereka ridha keiinginan nafsunya dijungkir-balikkan mengikuti ketauladanan para nabi. Singkatnya, mereka rela nafsu dirinya dididik Allah dengan mendudukan para nabi sebagai idola. Dengan kepemimpinan para hamba Allah sejati, Indonesia pasti dapat menembus kegelapan malam kehidupannya. Indonesia israa’, menyongsong benderang cahaya Allah!
Dikembangkan oleh Taufik Thoyib dari sebahagian isi buku tulisan Ki Moenadi MS, ”Kesadaran Bangkit Bersatu Membangun-Rentang Hunian Hidup Berazaskan Tali-Kasih”, terbitan Yayasan Badiyo, 1421H.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Tahun ke-7 bisajadi merupakan awal antiklimaks-kerobohan bangunan penguasa yang bergelar munafiq-musyrik.
BalasHapusAssalamu'alaikm wr wb.,
BalasHapusYang pasti adalah petunjuk Allah bahwa: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap." Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS 17:81). Pertanyaannya: telah pantaskah upaya yang kita lakukan sehingga Allah menurunkan pertolongan rahmat berupa tegaknya (datangnya) Kebenaran-Nya? Dengan kata lain, bisakah kita istiqomah dengan penuh kesungguhan membuang segala kebathilan (ketercelaan) dari diri kita?
Taufik Thoyib
bagaimana caranya kami mendapatkan buku2 yang diterbikan oleh badiyo?
BalasHapusAss.wr.wb.,
BalasHapusKami sedang memperbaharui daftar harga dan stok, bila telah selesai akan kami kirimkan daftar buku dan harganya kepada ibu. Untuk itu kami mohon akun ibu. Pemesanan bisa dilangsungkan per e-mail, pembayaran dan pengiriman pos. Terimakasih