Banyak yang belum menyadari bahwa peran ulama dan penguasa politik dalam penentuan kebijakan yang menentukan kemaslahatan ummat sesungguhnya cukup besar. Perilaku “diam” para ulama terhadap perusakan alam akibat terapan suatu keilmuan rekayasa, tak berbeda dengan “izin” pada para intelektual untuk merusak sebagian alam lingkungan ciptaan Allah. Padahal setengah abad yang lalu, bisa dipastikan bahwa bangsa kita tak banyak merusak alam. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
"Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Akan timbul di akhir zaman orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual agama. Mereka menunjukkan kepada orang lain pakaian yang dibuat dari kulit kambing (berpura-pura zuhud dari dunia) untuk mendapat simpati orang ramai, dan percakapan mereka lebih manis daripada gula. Padahal hati mereka adalah hati serigala (mempunyai tujuan-tujuan yang jahat). Allah swt. Berfirman kepada mereka, "Apakah kamu tertipu dengan kelembutan-Ku?, Ataukah kamu terlampau berani berbohong kepada-Ku?. Demi kebesaran-Ku, Aku bersumpah akan menurunkan suatu fitnah yang akan terjadi di kalangan mereka sendiri, sehingga orang yang alim (cendekiawan ) pun akan menjadi bingung (dengan sebab fitnah itu)". HR At-Tirmidzi
Menukar Ayat Allah dengan Harga yang Rendah

erabad-abad lamanya kehidupan manusia hanya diwarnai dengan bentuk-bentuk rekayasa. Para intelektual mencetuskan rekayasa yang ditumbuh-kembangkan melalui dunia keilmuan; para ulama memberi izin berdirinya bentuk-bentuk kerangka rekayasa mereka. Tentu saja, sangat mudah terjadi pemutar-balikan nilai-nilai kebenaran demi keuntungan pribadi. Khususnya di tanah air ini, sebagian ulama berposisi sebagai pemberi izin tegaknya kerangka rekayasa. Misalnya, mulai dari ditariknya “tambahan biaya” untuk beribadah haji, sampai aktifitas ekonomi perbankan yang konon telah di-“syari’ah”-kan --padahal tak mustahil masih terdapat unsur riba.
Setiap kerangka rekayasa kemaslahatan ummat hendak dibangun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tak jarang para ulama terlebih dahulu diminta pandangannya oleh para umara maupun intelektual. Inilah titik penyimpangannya. Sangat mudah terjadi, para umara memberikan dunia yang bisa saja berbentuk tahta, harta, atau apa saja yang menjadi keinginan atau kebutuhan si ulama. Akibat iming-iming atau sodoran dunia dan isinya yang terlebih dahulu diterima, maka pandangan yang diberikan ulama boleh jadi tak lagi sesuai kebenaran. Bila para ulama mencintai dunia, maka kebenaran yang ada sangat mungkin direkayasa sebelum disajikan kepada umara. Bukan saja masalah kemaslahatan ummat yang acap kali direkayasa oleh ulama. Di dalam masalah keilmuan, tak sedikit para ulama yang memberikan izin kaum intelektual untuk mendirikan kerangka rekayasa. Perilaku “diam” para ulama terhadap perusakan alam akibat terapan suatu keilmuan rekayasa, tak berbeda dengan “izin” pada para intelektual untuk merusak sebagian alam lingkungan ciptaan Allah.
Rekayasa atau penipuan tidaklah sama artinya dengan siasat, meskipun hasil siasat sekilas pandang tampaknya sama dengan hasil rekayasa atau penipuan. Hasil rekayasa atau penipuan diperoleh dari perasan dan cernaan logika. Sedangkan hasil siasat diperoleh dari kecerdikan. Jika rekayasa atau penipuan di satu sisi memberikan keuntungan pribadi, pasti di sisi lain ada pihak yang dirugikan. “Win-win solution” bisa menjadi sekedar kedok untuk mendapatkan keuntungan bersama dari pihak yang terkalahkan oleh rekayasa atau penipuan bersama. Berbeda dengan siasat. Siasat memberikan hasil tegaknya kebenaran dan keadilan. Tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pula pihak-pihak pribadi yang diuntungkan. Demikian itulah gejolak perubahan pandangan hidup yang terjadi di abad sekarang ini dari kehidupan yang bernilai kebenaran sedikit demi sedikit diganti dengan kehidupan bercorak rekayasa-penipuan.
Dengan pemberian izin yang telah direkayasa, para ulama menjadikan umara maupun intelektual tersenyum bahagia. Dengan kata lain izin membangun kerangka rekayasa telah diperoleh atau disyahkan dari ulama. Di dalam Allah dinyatakan mereka tidak segan-segan menukar kebenaran dengan harga yang rendah. Menukarkan kebenaran dengan harga yang rendah, sama halnya menukar kebenaran dengan kesesatan.
Di dalam hadis dijelaskan pula bahwa ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR At-Tirmidzi). Tidak disadari oleh para ulama jika keberadaan dirinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat khususnya di mata umara maupun dimata kaum intelektual tidak lebih laksana burung dalam sangkar. Mulutnya setiap saat di asah dengan emas agar mahir berkata dan berrekayasa sesuai keinginan tuannya. Burung setiap saat dilatih untuk menirukan kata-kata yang diucapkan tuannya. Sikap-perbuatan ulama demikian itulah yang sebenarnya mula pertama mengundang hadirnya guncangan petaka di tanah air ini. Dengan demikian guncangan kehancuran yang datang silih berganti bertubi-tubi melanda kehidupan di tanah air pertiwi ini tidak lain karena diundang oleh kerangka rekayasa hasil cetusan kaum intelektual maupun rekayasa hasil perizinan kaum ulama. Kedua kelompok inilah sebenarnya kelak yang pertama-tama akan dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan Allah. Dalam hal ini tuntutan yang paling banyak datang dari alam semesta karena mereka telah menjadi korban dari rekayasa kaum intelektual yang didukung dan disyahkan oleh ulama.
Tentulah sangat wajar apabila kita mengharap para intelektual hamba Allah yang telah berkesadaran untuk menyelenggarakan perbaikan berhimpun. Tinggalkan segala kepentingan pribadi untuk sama-sama dapat maju serempak menghancurkan kerangka rekayasa intelektual. Tetapi karena tidak adanya kesadaran harapan itu masih jauh. Para intelektual hamba Allah yang mula pertama mendeapatkan pengkhabaran semestinya terlebih dahulu tampil. Boleh jadi muncul bantahan bahwa mereka sedang memusatkan perhatian pada proses pembenahan diri. Memang logika tak dapat bertindak selain memperhatikan apa yang sedang diproses. Untuk memperhatikan gerak kejadian di luar diri sangat sulit dilakukan oleh logika karena terbatasnya gerak logika. Lain halnya pengertian berproses dalam pandangan orang-orang Intelektual yang spiritual. Pemrosesan itupun dipantulkan keluar diri, sehingga yang di luar diri pun terkena imbas perbaikan dirinya.
Sikap demikian inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang beriman di zaman kepemimpinan Rasul Muhammad s.a.w., sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat perubahan mendasar terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia dan semesta. Sikap hidup yang hanya mampu memperhatikan sesuatu dari satu pihak saja hanya akan membuat seseorang melangkah jauh tertinggal. Sedangkan yang terjadi pada kehidupan manusia abad sekarang ini hanya hanyut dibawa pemrosesan ke dalam diri atau dengan kata lain memperhatikan sesuatu dari satu pihak sehingga untuk bergerak di luar diri ummat Islam selalu tertinggal. Padahal Allah selalu membimbing para hamba-Nya agar trampil cermat dan terpat dalam menghadapi sesuatu dari seluruh arah. Mengapa Allah selalu menghimbau para hamba-Nya agar tampil dengan trampil cermat, tepat dan luas dalam memandang sesuatu? Karena sifat dari sesuatu itu adalah saling berkait.
Jika saja kita memiliki kesadaran tinggi akan hal itu, maka tidak akan pernah habis-habisnya kita bersyukur dan bersyukur kepada Allah dalam arti sikap. Sebelum dituntut oleh kehidupan alam, kita terlebih dahulu telah dapat melangkah berjalan menghancurkan kerangka rekayasa yang dahulunya telah menjerat kita. Andil ummat Islam membuat kerangka rekayasa --baik untuk pemerintahan maupun masyarakat-- bukan saja terarah pada kehidupan alam, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bertanah air. Pertanyaan mengapa hadirnya rekayasa menjadikan kehidupan tanah air pertiwi ini sering kali dilanda guncangan kehancuran? Karena sudah menjadi ketetapan Allah, bahwa kehidupan alam yang ada di tanah air pertiwi ini hanya dapat bersesuaian hidup dengan kebenaran hakiki. Dengan kata lain sumber makanan pokok bagi alam di tanah air pertiwi ini adalah kebenaran ilaahi.
Pada awalnya seluruh kehidupan di muka bumi ini hanya dapat hidup dengan makanan kebenaran atau bersesuaian dengan nilai kebenaran. Bumi awalnya berkeadaan fitrah. Bahkan setengah abad yang lalu, bangsa kita tak banyak merusak alam. Namun bangsa-bangsa Eropa (Ruum) mengubah rancangan ketetapan Allah tersebut. Tetapi yang mengubah rancangan ketetapan Allah itu sesungguhnya adalah Y+N. Mereka telah menjelma menjadi Eropa dan sebagian Amerika, sebagai bangsa bernegeri yang keluar dari nilai kebenaran dan hidup di atas landasan rekayasa. Meskipun demikian hukum alam, Hukum-Allah, atau sunatullah tetap akan berlangsung dan pasti terjadi dalam kurun waktu yang tidak bisa mereka duga-duga. Makanan pokok kehidupan di seluruh muka bumi ini adalah kebenaran ilaahi.
Lain halnya dengan tanah air pertiwi ini sangat sulit untuk dirubah menjadi negara yang hidup di atas landasan rekayasa, karena sejak awal negeri pertiwi ini diproklamirkan di depan mata dunia telah berakar sebelumnya nilai-nilai kebenaran. Itulah sebabnya untuk memperoleh persamaan hak hidup dengan bangsa-bangsa lain di dunia diperjuangkan dengan kebenaran bukan dengan rekayasa tingkat tinggi. Kapan alam di tanah air pertiwi ini dihiasi dan di beri makan dengan kerangka rekayasa, maka kehidupan alam di tanah air pertiwi pasti akan dilanda kelaparan panjang. Berawal dari kelaparan panjang yang dirasakan oleh alam di tanah air pertiwi ini menjadikan kehidupan alam lemah dalam arti kehilangan kekuatan.
Dengan tidak adanya lagi kekuatan sebagai daya tahan itulah yang menyebabkan tanah air pertiwi ini mudah sekali diserang penyakit. Dalam pengertian luas penyakit yang dimaksud dapat saja berupa penyakit sosial, politik, ekonomi budaya dan lain sebagainya. Sedangkan penyakit yang paling akut dirasakan oleh tanah air pertiwi ini adalah penyakit politik mencakup dalam dan luar negeri serta penyakit ekonomi. Dua penyakit dedongkot inilah yang menyebab-kan tanah air pertiwi sering kali dilanda kegoncangan. Baik penyakit politik maupun penyakit ekonomi tidak terlepas dari peran serta kaum intelektual maupun ulama yang telah memberikan peluang berdirinya kerangka rekayasa di tengah-tengah kehidupan tanah air ini. Seharusnya keberadaan para ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat adalah selaku penentu tegaknya kebenaran dan keadilan. Itulah sebabnya kedudukan ulama sebenarnya setara bahkan berada di atas umara. Ulamalah dalam hal ini selaku pengontrol gerak laku para ummara dalam menjalankan roda pemerintahan juga selaku pengontrol gerak laku kaum intelektual. Jika ulama benar-benar dapat meletakkan dirinya sebagaimana yang Allah tentukan, tentulah kehidupan berekayasa tidak akan tumbuh berakar di dalam tubuh manusia. Tetapi karena para ulama telah berubah fungsi selaku orang yang ditentukan dalam pengertian luas (dapat di tentukan oleh dunia dan isinya) maka nilai-nilai kebenaran dan keadilan dapat seketika diganti dengan rekayasa. Dengan demikian antara para ulama dan para intelektual setara dalam hal membangun rekayasa. Sebenarnya bentuk-bentuk kehidupan berekayasa pernah tersapu bersih di tengah-tengah kehidupan manusia. Sudah barang tentu satu-satunya yang dapat membersihkan dengan tuntas bentuk-bentuk kehidupan rekayasa adalah Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ketika Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Muhammad s.a.w. dan beberapa tahun setelah masa kepemimpinannya.
Setelah Islam kehilangan masa kejayaannya kembali akar-akar rekayasa dari belahan dunia Barat merambat masuk ke tanah air pertiwi yang kemudian ditampung dan dirawat oleh kaum intelektual dengan mendapat dukungan utama dari kaum ulama. Dan kini tiba masanya roda kembali berputar kerangka rekayasa yang selama ini terkumpul di tanah air pertiwi ini harus utuh dikembalikan tanpa sisa ke negara Barat. Kemudian nilai-nilai luhur budaya bangsa yang hampir saja tenggelam dalam lumpur, harus dimunculkan kembali.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dengan beberapa tambahan informasi aktual dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 7/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang -Admin
Minggu, 11 November 2012
Menukar Ayat Allah dengan Harga yang Rendah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.