Kekayaan alam negeri ini ternyata dikuasai asing. Inikah bukti terapan keilmuan intelektual negeri yang mayoritas penghuninya muslim ini? Pantaskah ilmu melahirkan permasalahan? Pertanyaan itu merupakan pertanyaan sangat menyayat perasaan –khususnya, bagi kaum intelektual yang memiliki perasaan. Kaum intelektual selaku pencinta ilmu, jika mereka memang masih memiliki perasaan, pasti tidak akan bisa menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”. Apa beda keilmuan yang dibangunan oleh manusia modern dengan persangkaan kedengkian-logika-nafsunya dengan keilmuan Allah yang menyertai penciptaan semesta milik-Nya?
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka" (QS. 53:23).
Ilmu Manusia Hanya Melahirkan Permasalahan?

ampir semua orang di muka bumi bisa dan mudah mengatakan “kebenaran”. Tetapi sangat sedikit dari jutaan manusia di muka bumi itu yang bisa mengetahui kebenaran itu dalam arti sesungguhnya. Buktinya, kebenaran yang sering kali mereka sampaikan sifatnya selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu --seakan-akan kebenaran itu sangat tergantung pada keadaan. Padahal, apa pun dan sampai kapan pun kebenaran tidak akan pernah berubah-ubah karena sifatnya tetap, dan tidak pernah tergantung pada keadaan. Justru haqiqinya, satu-satunya yang mampu mengubah keadaan hanyalah kebenaran. Salah satu sifat kebenaran itu adalah untuk mengubah keadaan untuk lebih baik dan sempurna. Jika kenyataannya keadaan tidak berhasil diubah, itulah bukti bahwa kebenaran yang ada bukan yang haqiqi. Tetapi, kebenaran yang lahir dari sangkaan tingkat tinggi kemudian diolah dan direkayasa.
Dalam pandangan kaum intelektual, apabila suatu “ilmu bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan”, itulah yang dinyatakan sebagai hal kebenaran mutlaq --meskipun pengertian ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan masih dalam tanda petik. Melihat kenyataan, tidak sedikit ilmu yang memang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan. Tetapi ilmu-ilmu itu berkesudahan dengan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan semesta. Bahkan bukan saja sekedar berdampak negatif, tetapi bisa juga mematikan kehidupan dalam arti sangat luas. Masihkah dapat dikatakan setiap ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan, itu pasti ilmu yang benar? Bukankah yang namanya benar itu pasti berakhir tanpa menimbulkan dampak negatif? Berarti, meskipun tampaknya bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan, setiap kegiatan ilmu berkesudahan dengan dampak negatif bagi kehidupan, adalah pertanda bahwa ilmu itu menimbulkan permasalahan di tengah-tengah kehidupan. Mengapa bisa demikian?
Pantaskah ilmu melahirkan permasalahan? Pertanyaan itu merupakan pertanyaan sangat menyayat perasaan –khususnya, bagi kaum intelektual yang memiliki perasaan. Kaum intelektual selaku pencinta ilmu, jika memang mereka masih memiliki perasaan, pasti tidak akan bisa menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”.
Sebenarnya bila ilmu dikatakan melahirkan permasalahan, hal itu bertentangan dengan salah satu sifat asma yang menghiasi Allah, yaitu pakaian kebesaran Maha Berilmu. Pakaian kebesaran maha berilmu itu Allah pinjamkan kepada manusia. Sehingga manusia pun ikut-ikut berilmu. Allah menerapkan ilmu yang mewujud pada kehidupan bersemesta tanpa menimbulkan masalah satu pun. Tetapi anehnya, mengapa ketika ilmu sampai pada manusia, justru menimbulkan masalah saat diterapkan. Berarti telah terjadi penyimpangan dalam penerapan ilmu oleh manusia.
Dalam penerapan ilmu-Nya, Allah menggunakan kunci Kebenaran-Nya. Sedangkan manusia dalam menerapkan ilmu terlebih dahulu membuat kunci kebenaran melalui olah sangkaan. Dari sinilah awal mula munculnya permasalahan. Dengan demikian, saat keilmuan diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya, selalu ada penyimpangan dari kebenaran yang sesungguhnya –yaitu Al Haqq. Sementara hadirnya ilmu di tengah-tengah kehidupan bukanlah untuk menimbulkan permasalahan, justru untuk menghadapi permasalahan.
Dalam pandangan kaum intelektual, antara ilmu dan pribadinya tidak bisa dipisah-pisahkan, seakan-akan antara ilmu dan pribadinya senantiasa menyatu. Kapan ilmunya disinggung otomatis pribadinya akan tersinggung, begitu pula sebaliknya kapan pribadinya yang disinggung mau tidak mau ilmunya pun ikut tersinggung. Dengan demikian kapan ilmu dinyatakan melahirkan permasalahan sama halnya mengatakan dirinya hanya melahirkan permasalahan.
Itulah sebabnya tidak seorangpun kaum intelektual yang dapat menerima pernyataan “ilmu melahirkan permasalahan”. Hal demikian itu bukan berarti salah, justru demikian itulah sebenarnya. Haqeqat atau fungsi dari pada keilmuan berada di tengah-tengah kehidupan manusia, adalah untuk menyelesaikan tuntas setiap permasalahan yang muncul. Dapatkah manusia khususnya kaum intelektual mempertanggung-jawabkan fungsi atau haqiqi keberadaan ilmu yang demikian itu? Inilah yang sulit dijawab dengan tepat oleh mereka. Meskipun secara lisan sangat mudah untuk dijawab, tetapi bila kenyataannya permasalahan semakin tumpang tindih, berarti jawaban itu hanya menambah besarnya lubang permasalahan. Dengan demikian agar lubang permasalahan tidak semakin melebar maka satu-satunya upaya yang harus dilakukan adalah menjadikan ilmu bukan hanya sebatas pada pernyataan, tetapi bagaimana agar keilmuan itu benar-benar dapat diterapkan dengan fungsi menyelesaikan permasalahan. Itulah yang sangat sulit diterapkan. Jika demikian, berarti pernyataan “setiap ilmu yang bisa diwujud-nyatakan dalam kehidupan itulah kebenaran” tidaklah tepat. Buktinya permasalahan bermunculan. Yang mengundang hadirnya permasalahan di tengah-tengah kehidupan adalah adanya sikap penyelewengan terhadap Kebenaran Haqiqi.
Demikianlah suatu ketetapan yang harus dan pasti terjadi. Kapan Kebenaran Haqiqi diselewengkan, pasti muncul rantai permasalahan yang sulit diatasi --baik permasalahan yang timbul di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, maupun bersemesta. Begitu pula, kapan permasalahan yang datang tumpang tindih diselesaikannya dengan cara sangkaan atau hipothesa, pasti permasalahan itu semakin berlipat ganda dan merambat cukup luas dan jauh. Sementara itu, daya kemampuan sangkaan semakin terbatas untuk mengatasi permasalahan. Bila sangkaan dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang sedang berjangkit khususnya di negeri ini, maka permasalahan itu tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas --bahkan permasalahan itu semakin meluas berjangkitan. Dengan demikian dapatlah kita merenungkan, mengapa permasalahan di dalam negeri akhir-akhir ini sulit sekali di atasi. Itulah bukti bahwa permasalahan yang timbul hanya diselesaikan dengan berbagai teori sangkaan atau hipothesa. Sementara itu setiap Kebenaran Haqiqi datang hendak meletakkan keadilan sebagai bantuan utama untuk memecahkan permasalahan, selalu dihadang bahkan dipandang sebagai hal tidak manusiawi. Itulah sebabnya di hadapan banyak permasalahan yang timbul di dalam negeri ini, Sang Kebenaran sementara waktu bersikap berdiam diri, sambil tersenyum menunggu bukti. Adakah permasalahan itu terselesaikan tuntas atau sebaliknya tingkat permasalahan itu semakin melebar?
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 21/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari dua tulisan. Bagian pertamanya adalah Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup -Admin
Jumat, 11 Januari 2013
Ilmu Manusia Hanya Melahirkan Permasalahan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...
BalasHapusApabila kebenaran melekat ke dalam sistem, lalu dijalankan, namun tidak ada perubahan keadaan menjadi lebih baik. Bagaimana cara kita sadar bahwa sebuah sistem atau manusia pelaksananya-kah yang kurang tepat?
Wassalamu'alaikum.
Bidh Yanisar
Pengajian ini alamatnya dimana ya...? klo boleh tau?
BalasHapus