Seringkali manusia menyangka bahwa logika-nafsunya membawakan padanya kebenaran. Padahal, lebih sering terjadi bahwa yang dipikirkan logikanya adalah persangkaannya belaka. "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (QS 10:36). Akibatnya, peradaban yang dibangun manusia seringkali justru merugikan, bahkan membahayakan kehidupannya. Bom nuklir adalah bukti tak terelakkan. Manusia hidup dalam kekejaman dan kegersangan karena pola berfikir penuh persangkaan. Bukan berpikir dengan kepastian.
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka" (QS. 53:23).
Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup

radisi berpikir dengan persangkaan logika-nafsu, ibarat tak lebih dari lelaki tua-renta berbaju compang-camping bertongkat lapuk yang sangat lelah terseok-seok menempuh perjalanan tak berujung melintasi padang gurun gersang di bawah terik mentari. Perjalanan panjangnya belum juga tampak akan berakhir. Siksa akan terus ia rasakan. Itulah pengibaratan bentukan dari buah berfikir yang diolah dari sangkaan atau hipothesa. Bukankah demikian gambaran manusia modern yang senantiasa berandalkan logika dirinya?
Manusia modern tampak gigih dan ulet berupaya berilmu. Namun kegigihan dan keuletanmu itu sebenarnya hanya digunakan untuk menjalankan kegiatan berfikir yang tidak membawa pada kesegaran, tetapi membawa pada kelayuan hidup. Sedangkan pakaian yang tampaknya tercabik-cabik haqeqatnya adalah tidak terawatnya pakaian kemuliaannya, yaitu pakaian taqwa. Begitu pula tongkat lapuk yang ada di tangannya haqeqatnya itulah kebenaran yang selama ini dipegang, yakni kebenaran yang rapuh yang lahir dari persangkaan tingkat tinggi. Tongkat lapuk atau kebenaran rapuh itulah sebenarnya yang telah mengarahkan perjalanan berfikir manusia modern pada kelayuan hidup. Sementara padang pasir yang dilalui, itulah sebenarnya diri manusia modern yang selama ini berjalan di atas kegersangan, karena yang dipegangnya adalah kebenaran rapuh.
Bisa jadi timbul rasa malu mendalam pada diri kita. Ternyata itulah diri kita selama ini yang tidak pernah kita sadari. Allah sangat berbelas kasih pada makhluq ciptaan-Nya yang menjadi renta dan tahu pasti arah perjalanan hidup. Ibaratnya, dengan kearifan dan kebijakan sikap-Nya, manusia modern yang kita tamsilkan bagai laki-laki tua renta berjalan di padang pasir itu pun dipapah-Nya. Kemudian dihantarkan-Nya pada suatu telaga. Diciduk-Nya dengan telapak kasih-Nya, segenggam air untuk diminumkan-Nya pada manusia tua renta. Juga untuk disapukan kewajah yang letih dan layu. Demikian itulah akhir dari segala gambaran yang menggambarkan keadaan diri manusia modern yang sesungguhnya yakni yang suka berbangga dengan ilmu yang lahir dari sangkaan atau hipothesa tingkat tinggi yang terpandang sebagai kebenaran mutlak.
Demikianlah sekelumit gambaran, betapa jahatnya sangkaan atau hipothesa yang selama ini menjadi kebanggaan kaum intelektual. Cara berfikir dengan hipotesa atau persangkaan ternyata hanya menjauhkan manusia dari kebenaran yang sesungguhnya. Bahkan lebih buruk dari pada itu, mengakibatkan terlilitnya leher-leher kehidupan oleh permasalahan berantai. Itulah sebabnya pada “kebenaran” kembali menjadi bahan utama.
Semua penjelasan dari Allah pada manusia, sifatnya adalah kebenaran. Al Qur’an adalah kebenaran. Tidak ada penjelasan Allah yang tidak menjelaskan kebenaran. Sampai pada masa berakhirnya kehidupan di muka bumi ini penjelasan mengenai kebenaran tidak akan pernah berhenti Allah jelaskan. Apabila manusia telah buta terhadap kebenaran sama halnya manusia menyongsong kehancuran. Sebenarnya sejak dahulu sebelum kita hadir di muka bumi ini --bahkan sebelum zaman kerasulan Nabi Muhammad s..a.w.-- penjelasan mengenai kebenaran juga sudah ada, yakni sejak manusia pertama Nabi Adam a.s. Penjelasan mengenai kebenaran senantiasa hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Namun tidak selamanya penjelasan mengenai kebenaran itu dapat diterima baik di hati manusia. Berapa banyak kaum atau ummat yang mengingkari hadirnya kebenaran. Mereka ditimpa adzab akibat keingkaran atau penolakan terhadap hadirnya kebenaran.
Ada sedikit perbedaan antara ummat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dengan ummat setelahnya. Pada ummat sebelumnya, adzab seketika datang menimpa saat penjelasan kebenaran tidak bisa di terima dengan baik. Tetapi ummat setelahnya, adzab tidak seketika ditimpakan. Allah berikan waktu penangguhan. Maksudnya, selama pemberian waktu penangguhan itu muncul kesadaran untuk bertaubat dan kemudian menerima baik datangnya penjelasan kebenaran. Sikap Allah yang demikian ini merupakan pantulan dari cinta kasih terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Penderitaan panjang yang telah dirasakannya merupakan bagian sambutan kaum jahil-bodoh terhadap sikap Nabi Muhammad s.a.w. Hanya satu yang mendorong kegigihan dan ketabahannya yakni timbulnya rasa tidak sampai hati melihat ummatnya terbelenggu dalam kancah kebodohan. Itulah sebabnya sebagai penghargaan atas kegigihan-ketabahan rasul dalam menyampaikan kebenaran dan sebagai balasan dari derita panjang yang telah dirasakan Muhammad Rasulullah, maka terhadap ummatnya hingga akhir zaman, Allah tidak segera menurunkan adzab bila mereka menolak penjelasan tentang kebenaran.
Jika perlakuan sikap Allah disamakan dengan ummat sebelum Muhammad Rasulullah, pastilah tidak seorang pun di antara kita yang masih tersisa hidup di muka bumi ini, karena tidak sedikit sikap manusia modern yang menolak datangnya penjelasan kebenaran. Sudah barang tentu penjelasan kebenaran yang dimaksud adalah penjelasan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Meskipun sikap manusia modern menolak datangnya penjelasan kebenaran, bukankah sikap Allah tidak bersegera mendatangkan adzab? Sebaliknya maaf dan ampunanlah yang tiada henti Allah berikan kepada manusia. Mampukah manusia khususnya ummat Islam di Indonesia memanfaatkan maaf dan ampunan yang cukup panjang Allah berikan? Jawaban pastinya bukan pada lisan, namun melalui sikap diri. Bila maaf dan ampunan yang telah cukup panjang Allah berikan tan dapat dimanfaatkan, maka waktulah yang akan menentukan datangnya adzab. Jika saja perasaan kita senantiasa diarahkan dan dicurahkan pada sikap perlakukan Allah yang, tentunya sikap kita dari hari kehari akan tampak lebih baik dan lebih sempurna. Masing-masing diri akan berlomba terus menerus untuk maju lebih dahulu mengadakan perbaikan sikap hidup dan menggerakkan pembaharuan di segala bidang kehidupan: keilmuan, politik, dan ekonomi. Orang yang telah menyadari dan merasakan adanya maaf dan ampunan yang cukup panjang dari Allah, tidak akan pernah mau menjadi orang yang tertinggal dalam menyelenggarakan perbaikan di tanah airnya.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 21/6/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan -Admin
Minggu, 09 Desember 2012
Pola Berfikir Sangkaan: si Tua-Renta tak Tahu Arah Perjalanan Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.