
Untuk memainkan ANIMASI, silakan klik gambar di atas (dan skema-skema yang Anda temukan setelah Anda meng-klik tombol "Baca Lanjut"). Gambar akan membesar dan kursor anda akan berubah menjadi Merah-Putih yang berkibar (ralat: dalam bagan tertulis 'cognito', yang benar 'COGITO')--Admin).
Tentang apakah animasi itu? Tentang bagaimana sesungguhnya manusia mempelajari sesuatu. Sanggupkah manusia mempelajari semesta alam dengan benar? Jangankan semesta atau bencana alam di sekitar mata kepalanya, dirinya sendiri pun, ia tak mengetahui dengan pasti.
Bagi mereka yang berakal dengan kerendahan-hati, akan menterpadukan dzikir dan fikirnya. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi..." (Surah Ali 'Imraan Ayat 191). Perasaan-hatinya terikat kepada Allah, 'aqalnya memikirkan ciptaan-Nya. Doa mereka: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
Belum tibakah saatnya ummat Islam memperbaiki akhlaqnya dalam berpikir, berilmu, dan mengamalkan ilmu itu sebagai perwujudan keimanan dan ketaqwaannya? Masihkah kaum muslim hendak meneruskan mengikuti dan membebek tradisi berpikir sekuler? Apa beda utama berpikir sekuler dan berpikir secara tauhid? Pilihan tergantung penuh pada kita. Ada dua pilihan manusia. Apakah itu?
1. Belajar dan meneliti secara subjektif
Artinya, manusia yang meneliti mengandalkan dirinya sendiri. Sebagai sekedar contoh, dapat diketengahkan Descartes. Ia dikenal memecah-belah ilmu menjadi disiplin-disiplin dan meletakkan dasar filosofi logika-nafsu "Cogito ergo sum" (Prancis: Je pense, donc je suis, aku [logika-nafsuku] berpikir, maka aku ada). Keberadaan sesuatu ditergantungkan mutlak pada pikiran logika-nafsu manusia, bukan dipaham-sadari sebagai ciptaan Allah. Akibatnya, sistem keyaqinan (system of beliefs) terpisah dari sistem keilmuan (system of knowledge). Itulah ciri utama cara berpikir sekular yang kini menguasai dunia. Alat membaca fenomena adalah logika (bersifat subjektif-berpamrih mengikuti keinginan-kepentingan nafsu yang masih berkeadaan tercela yang tumbuh dari sifat-sifat sombong-dengki-serakah). Logika-nafsu paling khawatir bila tak memakai referensi pustaka tulisan/lisan manusia, karena sifatnya yang lain ialah selalu mencari pengakuan diri dari manusia lain. Jadi, yang sebahagian sangat besar terjadi sebetulnya hanya baku-kutip, saling mencontoh antar mereka yang mengaku berilmu. Dalam bahasa agak halus, terjadi interaksi informasi.
Celakanya, pada zaman ini fenomena pustaka hampir total didominasi Eurocentrisme. Yang tidak bercikal-bakal dari dan menggantungkan diri pada Eropa dianggap-pandang bukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Pengetahuan yang datang bukan dari Eropa dipandang sebagai "kelas dua", tak bermutu, "hanya berlaku lokal alias tak memiliki universalitas". Bahasa politik budaya yang dipakai pun sangat halus. "Kearifan lokal" (local wisdom atau indigenous knowledge, traditional knowledge, folk knowledge, ecological knowledge, people’s science knowledge, community knowledge, local knowledge, nonformal knowledge, culture, indigenous technical knowledge, traditional ecological knowledge dan lain-lain yang senada) adalah jemari kesombongan logika-nafsu mereka yang menuding bahwa pengetahuan non-eurocentric (termasuk ilmu-ilmu bersumber dari Al Qur'an) tidak punya nilai-nilai kesemestaan.
Padahal, mustahil manusia menuliskan alam dengan lengkap, apalagi cukup sempurna —termasuk bangsa-bangsa Eropa yang mengklaim-nilai diri telah mengalami "kemajuan" dan kini menjadi mercu suar bahtera pengetahuan ummat manusia menuju pelabuhan gunung keangkuhan di hadapan Allah selaku Al-'Aliim. Sanggupkah manusia melayani tantangan Allah untuk menuliskan ilmu-Nya? "Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (QS 18:109). Sementara itu, fenomena-nyata alam dan manusia nyaris dilupakan. Manusia zaman ini sesungguhnya hanya membaca pengetahuan eurocentric, bukan membaca semesta fenomena-nyata dalam bimbingan Allah selaku Al Fathiir Sang Maha Pencipta sekaligus Al-'Aliim Yang Maha Berilmu. Untuk itu, alat baca yang mesti disiapkan manusia adalah perasaan-hati yang bersih-murni terpadu dengan fikiran-aqal cerdik-tajam, diiringi nafsu yang telah membuang tuntas sifat tercelanya. Nafsu tak lagi memiliki sifat sombong-dengki-serakah. Itulah alat baca manusia yang telah berhasil membangun akhlaqul karimah, akhlaq yang terpuji-mulia dalam pendidikan Rabb.
2. Belajar dan meneliti secara objektif
Artinya, manusia mendudukkan dirinya selaku hamba Allah yang melaksanakan perintah Rabb, Allah Yang Maha Bijak Mendidik dan Memelihara manusia serta seluruh makhluq ciptaan-Nya. Perintah-Nya: Bacalah (pelajarilah, pahamilah, telitilah) dengan (menyadari sifat) asma Rabbmu yang menciptakan (apa yang hendak kau baca itu). Sayang banyak manusia bahkan hampir semua manusia yang menilai diri "modern" atau "maju", yang lebih suka bertanya pada buku-media informasi eurocentric, dibandingkan bertanya kepada Sang Maha Pencipta dan Berilmu, Allah 'azza wa jalla! Dia yang juga ber-sifat-asma Ar-Rahmaan, pasti memberi petunjuk kepada manusia yang yaqin kepada-Nya. Ingatlah: "Ar-Rahmaan, 'allamal qur'aan" (QS 55: 1-2). Allah Yang Maha Berilmu yang mengajarkan Al Qur'an, ternyata memperkenalkan sifat-asmanya sebagai Ar-Rahmaan, bukan Al-'Aliim. Bandingkanlah dengan peradaban zaman ini. Manusia saling memperkenalkan dirinya dengan kartu nama berhiaskan bunga-bunga gelar kesarjanaan atau kemuliaaan dirinya. Untuk sekedar menjelaskan kompetensi-tanggungjawab pekerjaaannya, bolehlah. Tetapi, apakah Allah mengajarkan kesombongan?
Ujung pena keilmuan adalah membaca disertai dengan kesadaran terhadap Allah Yang Maha Berilmu, bukan dengan kesombongan dan sikap takabur. Dengan posisi sebagai hamba, manusia menjadi tergantung penuh pada Allah. Ketergantungan itu terletak di perasaan-hatinya. Banyak keterangan dalam firman yang menegaskan bahwa Allah senantiasa menunjuki hamba-Nya, antara lain "...barang siapa beriman kepada Allah, maka Allah menunjukinya pada hatinya (QS 64:11). Sedangkan 'aqalnya, memperhubungkan yang diyaqini hati dengan yang kasat mata. Maka dalam pribadi manusia yang demikian terjadilah keterpaduan iman dan ilmu. Dengan kata lain, ilmunya adalah buah imannya kepada Allah s.w.t.
Pada pilihan manusia untuk rela-ridha sebagai hamba Allah dan mendudukan dirinya sebagai cermin sangat kecil dari Al 'Aliim, justru potensi ruhiyah dan 'aqliyah menjadi terpadu; dengan modal ilmu yang merupakan buah iman pada Allah, ia beraktifitas hidup untuk mewujudkan ketaqwaannya terhadap Allah Yang Maha Kuasa. Muslim yang berkualitas seperti inilah yang akan mengadakan perbaikan tanah air ini. Awalnya adalah perbaikan keilmuan. Kemudian mewujud pada sistem kebudayaan dan sistem peradaban. Yaqinlah, "Allah akan memberi pimpinan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka" (QS 47:5). Iman dan ketaqwaannya secara bertahap membentuk pengetahuan, ilmu-terapan dan teknologi dalam masyarakatnya. Kesemuanya merupakan amal yang insya Allah, diridhai-Nya. Mengapa pantas untuk mengharap ridha? Karena sejak berada dalam tahap pemikiran, konsep, sampai dengan terapannya, ilmu yang dikembangkan senantiasa disandarkan pada petunjuk Allah. Dengan kata lain bergantung penuh pada Allah. Inilah bertauhid dalam keilmuan; inilah pohon yang berbuah ilmu masa depan yang lebih baik, yang hanya dapat dipelopori oleh orang-orang beriman sejati. Apakah sudah demikian akhlaq ummat Islam dalam hal berfikir dan beraktifitas keilmuan? Akan teruskah ummat muslim menyediakan diri menjadi karpet-merah landasan melajunya mesin sains Eurocentric?
Galih W. Pangarsa
Minggu, 20 Juni 2010
Belajar & Meneliti : Melaksanakan Perintah "IQRAA BISMI RABBIKAL LADZII KHALAQ"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Secara nyata, dunia keilmuan saat ini dikuasai oleh apa yang diistilahkan oleh penulis sebagai eurocentrisme. Terbukti dengan dasar berpijak ini peradaban manusia berkembang pesat. Teknologi sebagai buah keilmuan ini dapat dirasakan manfaatnya. Jarak dapat dipendekkan, beban berat dapat diringankan, waktu dapat dipersingkat, apa yang salah dari eurocentrisme? (obiya@live.com)
BalasHapusPersoalan utama tulisan itu: Apa beda utama berpikir sekuler dan berpikir secara tauhid? Dan jangan lupa, seperti kata Anda, "manusia berkembang pesat" dengan kerusakan alam: ozon berlubang, penindasan kaum lemah dan alam di seluruh penjuru dunia, yang belajar ekonomi semakin serakah, yang belajar politik menjadi semakin kejam... Ciri eurocentrism: ilmu dan akhlaq terpisah. Dari mana pangkal perbuatan manusia? Dari ilmu. Jika ilmunya salah (karena tak berakhlaq kepada Allah), pasti perbuatannya salah. Sayangnya manusia hanya melihat (dan menganggap-menilai diri) bahwa peradabannya telah "berkembang pesat" . Jarang yang menyadari bahwa Allahlah yang mutlak berhak menjadi hakim-penilai.
BalasHapusDan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (QS 2:11).
Pilihan kembali kepada manusia, mau bertauhid dalam berkeilmuan, atau tetap membebek eurocentrism. Jika bertahid atau mengesakan Allah, maka sumber informasi/intuisi dalam berpikir akan menjadi perhatian utamanya.
Saya menulis politik budaya Eurocentrisme, silakan lihat di http://issuu.com/eurocentrism/docs/eurocentrism_e_article?. Meski itu dalam lingkup arsitektur, tetapi juga menyoroti perkembangan ilmu secara umum. Semoga bermanfaat.
Galih W. Pangarsa
Alhamdulillah, saya sudah mengunduh E-BOOK yang ada di blog ini, "INDONESIA MERDESA" setelah saya baca pada halaman 10, tepatnya pada (QS 102:1-4) ternyata kata "saufa" belum tertulis pada ayat ke-3 surat 102 tersebut.
BalasHapusBerbeda dengan yang tertulis pada blog ini, kata "saufa"nya sudah tertulis.
Terima kasih banyak atas hidangan blog ini...
ankanasapta@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiraa. Sudah kami benahi, dan sekarang link unduhan langsung dari flipping book. Admin, Glagah Nuswantara
BalasHapus