Menyambut-syukuri Tahun Baru Hijriyah 1432H, kami menyajikan bahan renungan bersama. Tak seperti tahun baru Gregorian-Almasih yang dirayakan dengan segala kemewahan dan bersenang-ria penuh kesia-siaan oleh kebanyakan manusia lengah, tahun Islam yang diawali dengan bulan yang disucikan Muharram, pasti mengandung hikmah. Khususnya, ketika bangsa ini dirundung bencana bertubi-tubi. Yang tak mau mendaya-manfaatkan aqalnya, pasti akan berpesta-pora di hadapan bencana.
Sadarkah ummat Islam khususnya di tanah air, bahwa dalam hal melaksanakan pembaharuan, kita telah tejebak-perangkap, atau lebih tegasnya terperosok ke dalam perbudakan pola fikir. Apa itu? Idea pola yang diperbaharui atau direformasi hanya sebatas ilmu terapannya saja. Sedangkan pandangan keilmuan dari dahulu sampai sekarang tetap mentradisi pola keilmuan Yhd yang tidak mampu mengubah keadaan ke arah lebih baik tanpa dapat memberikan perubahan lebih baik bagi kehidupan berkesemestaan. Reformasi hanya bergulir berlingkar pada pergantian pelaku. Sedangkan pola-idea berfikir tetap mentradisi pada pola Yhd. Sayangnya, sebagian ummat Islam hanya ikut-ikutan/membeo; tidak lagi peduli, apakah nilai-arti pembaharuan telah sesuai dengan petunjuk Allah atau belum.
Lain halnya bila yang dipertahankan dan ditumbuh-kembangkan nilai-arti pembaharuan yang Qur’ani. Bukan hanya pelakunya yang diperbaharui, tetapi idea-pola diperbaharui ke arah yang bernilai Qur’ani. Pembaharuan berlangsung apabila idea-pola dan perbuatan-kegiatan sudah tidak bersesuaian lagi dengan nilai Qur’ani (nilai-nilai santun-berkesetimbangan). Padahal selaku azas-pondasi keselamatan hidup berkesemestaan adalah nilai santun-berkesetimbangan. Kapan nilai santun-berkesetimbangan mengalami goncangan, pasti bencana kerusakan dan kehancuran terjadi, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di seluruh tanah air. Tujuan utama pembaharuan bukan untuk mengganti pelaku, agar terwujud kepentingan dan keuntungan nafsu. Tetapi menjaga-lestarikan nilai santun-berkesetimbangan hidup berkesemestaan. Pokok sasarannya, selain pelaku adalah idea-pola tradisi yang tidak atau belum Qur’ani. Satu-satunya yang dapat menjaga-lestarikan nilai santun-berkesetimbangan, hanyalah pola keilmuan Qur’ani yang menghantar menjangkau agar hari ini lebih baik dari hari sebelumnya. Pola Qur’ani ditamsilkan sebagai deret ukur (loncat-tepat dua kali ke depan). Dengan demikian, alat penyelenggara pembaharuan atau yang menjadi titik-pandang pembaharuan adalah keilmuan.
Apa bedanya dengan reformasi? Alat reformasi adalah kekuatan dan kekuasaan, sehingga dalam pelaksanaannya pun bertujuan untuk membangun kekuatan dan kekuasaan. Kenyataan yang demikian banyak tidak disadari manusia khususnya sebagian ummat Islam. Bagi orang-orang yang hanya ikut-ikutan, setiap sesuatu membuka-berikan wacana baru untuk keuntungan kehidupan nafsu, seketika dianggap-pandang pembaharuan. Jumlah terbesar manusia termasuk sebagian ummat Islam tidak menyoroti sesuatu dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika demikian, pasti memandang nilai pembaharuan dengan ukuran pandangan nafsu. Penilaian dan pandangan nafsu terhadap pembaharuan adalah apabila ditemukan jalan, cara, atau pola yang dapat memberikan keuntungan cepat berlipat waktu singkat. Pembaharuan memang serupa dengan pergantian. Tetapi pembaharuan tidaklah sama nilainya dengan reformasi, meskipun reformasi sama halnya dengan pergantian. Pergantian menurut konsep pembaharuan bersifat meluas-mendalam dan mendasar mencakup keselamatan hidup berkesemestaan. Sedangkan pergantian menurut reformasi bersifat sempit-terbatas pada tujuan pencapaian kekuatan dan kekuasaan. Pergantian secara menyeluruh-mendasar merupakan suatu ketetapan atau sunatullah yang pasti terjadi di tengah-tengah kehidupan, apabila sudah tidak bersesuaian lagi dengan kehidupan fithrah, sekaligus sebagai bukti bahwa tidak ada sesuatu di muka bumi yang kekal abadi. Pada saat berlangsung pergantian, seketika manusia terkelompok dalam dua bagian. Sebagian manusia ada yang merasakan sebagai malapetaka yang berakhir kebinasaan dan yang sebagian merasakan sebagai awal kebangkitan pembaharuan, yang akan melanjut-teruskan jalannya kehidupan santun-berkesetimbangan.
Yang perlu dipertanyakan: “apakah pergantian itu terjadi dan berlangsung semata rahmat ataukah karena la’nat?” Lisan boleh berkata dan berharap bahwa pergantian semata rahmat, yang berlangsung bagi orang-orang beriman sejati. Sedangkan kenyataan sikap ucap perbuatan-kegiatan jumlah terbesar manusia mengundang pergantian sebagai la’nat bagi orang-orang kafir-Yhd. [insya Allah berlanjut -Admin]
Diringkas dengan beberapa tambahan informasi oleh Taufik Thoyib dari tulisan Ki Moenadi MS almarhum --semoga ridha Allah tercurah kepada beliau-- berjudul ”Menghimbau-Bangkit Kesadaran”, yang merupakan bagian pertama dari buku "Pemuda Pembangkit Pembaharuan...", terbitan Yayasan Badiyo, Malang, 1421H.
Selasa, 30 November 2010
Menyongsong Pembaharuan Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusBerkaitan dengan konsepsi Al Indonesia/218:
1). Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS.2:216).
2). Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al Quran yang merupakan ayat-ayat yang nyata, dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (QS. 22:16)
Konon..Dalam salah satu kisah, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan sedekah. Saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, bahwa perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah: 261). Seruan Rasul itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, “Ya Rasulullah, harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah”. “Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan,” jawab Rasulullah SAW. Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. “Ya Rasul, saya akan melengkapi (menyumbang) peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya,” ujarnya.
Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam. Kenapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan untuk bersedekah? Tiada lain karena mereka yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Sedekah adalah penyubur pahala, penolak bala, dan pelipat ganda rezeki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat.
Wallahua'lam bishawab.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb