
Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila Kiamat sudah datang? (QS. 47:18)
Renungan di Gerbang Ramadhan (1)
Mengentas Mahkota Kefithrahan Diri dan Negeri
► Silakan masukkan kursor Anda ke dalam gambar untuk menghentikan animasi. Bagi yang meyadari potensinya, tanah air Indonesia adalah ladang untuk beramal shaleh yang sangat istimewa. Di negeri ini, mereka akan penuh sungguh mencukupi bekal melanjutkan perjalanan ke akhirat. Bagi yang masih peduli akan nasib negeri pertiwi ini, dengan sendrinya akan mensyukuri fithrah negeri yang sungguh makmur ini. Bukan hanya lisan, namun berjuang menangkal-bentengi Nusantara dari cengkeraman cakar hitam para pendengki. Seluruh nabi juga mencontohkan, bagaimana mengupayakan ketenteraman negeri tempat tinggalnya, agar dakwah mereka tak terhalangi carut-kalutnya masyarakat.
Demikian, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia adalah pengelola dan pemakmur bumi. Lalu apakah yang akan dipilih manusia? Meraih mahkota kekuasaan duniawi dengan menindas semua pihak yang menghalangi, atau meraih kembali mahkota kefitrahan diri berupa tiara ridha Ilaahi Rabbi? Ibu pertiwi negeri ini tentu berharap agar para pandu terbaiknya berjuang penuh kesungguhan untuk meraih yang terakhir.
ebelum menjawab pertanyaan di atas, ada sebuah penghantar. Siapakah manusia sesungguhnya? Sebahagian besar dari kita tahu dengan pasti, bahwa manusia diciptakan selaku khalifah. Siapakah mereka yang dapat mengemban peran itu? Adalah mereka yang berhasil meraih mahkota kefithrahannya kembali. Maka, dalam rangka menyambut datang berkunjungnya Ramadhan si Tamu Agung nan Mulia, marilah mempersiapkan, agar masing-masing dari kita dapat mengentas-jemput mahkota kefithrahan yang selama ini terlempar-jatuh di dalam kubangan lumpur dosa disebabkan terlalu sibuk meraih dunia dan lalai mempersiapkan kehidupan akhirat. Perbaikan masing-masing pribadi pasti akan mengimbas ke lingkungannya!
Sebenarnya bila manusia tajam memandang, akan tampak jelas bahwa di dalam kehidupan ini ada dinding tipis pembatas antara manusia dan dunia. Dunia tidaklah sama pengertiannya dengan bumi. Kehidupan dunia hanyalah permainan yang cenderung membuat kelalaian, bahkan seringkali menjadi arena tempat pengumbaran kebanggaan prestasi dan prestise, harta-benda dan anak-anak. Tak ada satupun ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia di atas dunia selaku kholifah, tetapi selaku kholifah di muka bumi. Manusia adalah pengelola dan pemakmur bumi. Jelas dan tegas ada perbedaan prinsip antara pengertian dunia dan bumi. Tepatlah bila dikatakan bahwa dunia adalah tempat pengembaraan nafsu yang masih tercela. Tetapi bumi merupakan tempat para tani (tamsil bagi para hamba Allah yang sejati) berladang tanam. Kelak di akhirat (dengan kemurahan kasih-sayang Allah) mereka bergembira ria memetik hasil buah amal shalehnya. Lalu, apa yang sedang dilakukan para pecinta dan peraih kemegahan duniawi semata?
Menantang petaka kehancuran?
Kehadiran Ramadhan di tengah kehidupan manusia khususnya ummat Islam, bisa saja belum berhasil menjadikannya selaku pengubah keadaan ke arah lebih baik-sempurna. Berarti puasa yang dilakukan gagal mengangkat mahkota kefithrahan dari kubangan lumpur dosa. Padahal salah satu rangkaian kegiatan Ramadhan datang berkunjung kesetiap pelataran hati insan manusia dalam rangka menghantar-angkat harkat kehidupan manusia pada tempat terpuji di sisi Allah. Sedangkan sarana-kendaraan satu-satunya yang dapat digunakan adalah kefithrahan. Sudahkah keadaan demikian berhasil diraih ummat Islam? Senyampang masih di Bulan Sya’ban Sang Gerbang Ramadhan, masih belum terlambat untuk merenungkan taburan laku-dosa kita, buah dari pemikiran rekayasa logika. Marilah bergerak serempak, mengentas mahkota kefithrahan. Bisa saja, bahkan tiap diri tak pernah menyadari bahwa fithrahnya telah tercampakkan. Begitu pula putera-puteri negeri ini, bisa jadi tak sadar bahwa fithrah negeri ini telah terbenam lumpur kemaksiatan bersama. Secara tersirat, bukankah itu perbuatan menantang petaka kehancuran?
Sya’ban hadir di tengah kehidupan insan, dalam rangka menghantar Ramadhan Sang Tamu Agung datang berkunjung di istana kemegahan dosa tertata-rencana oleh rekayasa logika. Apakah di sudut kehidupannya, terbuka hati manusia menyambut rahmat ampunan yang hendak diberi-bagikan Ramadhan? Demikianlah Sya’ban sekedar memberi peringatan kepada khalayak insan bahwa Ramadhan telah siap di gerbang kehadiran. Isyarat hal tersebut juga memperjelas-tegas hendaknya Ramadhan disambut dengan kebersihan hati dari dosa dan kesalahan. Di antaranya, dosa kesalahan antara anak dan orang tua, suami dan istri, maupun antara sesama dan masyarakat tetangga. Demikian langkah pertama bertata-krama membersihkan hati dengan saling memberi maaf yang seyogyanya dilangsungkan saat menyambut kehadiran Ramadhan. Bila tidak, pasti sulit mensyukuri dalam arti menyambut baik dan mendaya-manfaatkan Ramadhan. Sebaliknya, bila dilakukan, pasti imbasnya akan terasa. Muncul titik-titik pusaran perbaikan demi perbaikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa.
Manusia-manusia pertama yang sepantasnya banyak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang senantiasa mendapat peringatan tentang dosa-kesalahan, baik yang akan sedang maupun sudah berlangsung. Marilah kita menyadari hal itu, agar waktu kunjungan Ramadhan si Tamu Agung nan Mulia tidak berlalu dengan kehampaan sia-sia. Bila dalam sepuluh hari pertama kunjungan Ramadhan Si Tamu Agung nan Mulia kita gagal meraih rahmat Allah, mungkinkah memperoleh ampunan? Meskipun demikian Allah selaku Ar-Rahmaan tidak pernah menutup pintu rahmat. Kesempatan senantiasa dibukakan hingga batas waktu yang telah ditetapkan bagi masing-masing diri. Bila kesempatan itu tak juga di manfaatkan, berarti tiadalah yang ditunggu manusia kecuali datangnya petaka kehancuran. Hal itu juga berlaku dalam skala bangsa.
Apakah faedah kesadaran bagi mereka apabila hari kehancuran sudah datang?
Sebetulnya tanda-tanda datangnya petaka kehancuran hidup di Indonesia sudah tampak dekat di hadapan mata kepala. Kurang cukup jelaskah rangkaian bencana yang tak kunjung reda bagi kita? Dari gempa berskala besar sampai petaka sarana transpor, tersaji sehari-hari. Sayangnya, disebabkan hati telah membuta, mata maupun telinga kita tak lagi mampu menangkap isyarat yang sudah sampai di gerbang kehidupan. Sesal tiada guna manakala kehancuran merangkul jiwa. Bagi hati yang telah membuta yang tidak lagi berhasrat-hendak kembali kepada jalan petunjuk Allah, tiadalah yang dinanti-nantikan dalam hidup, kecuali datangnya masa kehinaan dan kehancuran yang sangat tiba-tiba dan tidak pernah diduga-perkirakan sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah di atas.
Dapatkah mereka bangkit menyelenggarakan perbaikan? Tentu tidak. Apalagi mereka yang lari dari arahan-petunjuk Allah karena ketidak-siapan menekan gejolak nafsu. Sungguh, bagi mereka, akhir dari kehidupan yang diperoleh tidak lain hanyalah kehinaan. Mereka akan sulit memperoleh jalan kemudahan melakukan segala kegiatan pengabdian kepada Allah. Jika bukan mengabdi Allah, berarti mengabdi makhluq, atau lebih tegasnya mengabdi dan akhirnya diperbudak dunia. Itulah kehinaan bagi mereka!
Tak jarang, manusia tak menyadari bahwa dirinya telah atau sedang melalaikan petunjuk Allah. Bagi mereka yang lari dari petunjuk Allah, justru akan menyaksikan bahwa dirinya memperoleh segala kemudahan dan terbuka lebar pintu-pintu untuk menyenang-bebaskan nafsu. Segala kemudahan dan kenikmatan nafsu duniawi terbentang luas. Tidak jarang mereka terjebak anggapan bahwa bagian kesenangan nafsu dirasa dan dianggap sebagai kepemurahan Allah. Padahal itu hanya menambah mereka menyukai kegiatan-liarnya nafsu dari pada menyukai aktifitas ruh yang sangat merindukan Allah; cinta dunia dari pada menyadari bahwa tujuan hidup haqiqi adalah kembali kepada Allah. Dengan kesadaran akan sikap dan arah yang belum tepat dan kesungguhan memperbaikinya, manusia baru pantas menyambut Ramadhan.
Diringkas dan disunting sebagian oleh Taufik Thoyib dari kajian Ki Moenadi MS tanggal 11 Rajab 1424 atau 6/11/2003 di Malang, dokumentasi Yayasan Badiyo.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Bgmana hubungan gambar elang dua kepala dgn Indonesia? Bisakah sy dapt penjelasan lanjut? Tks. Ahmad Baiquni, abaqu@hotmail.com
BalasHapusWa'alaikum salam wr.wb.,
BalasHapusAda beberapa hal yang perlu fokus. Kami mengirim jawaban ke e-mail bapak. Tks. Glagah Nuswantara (kajianbudayailmu@yahoo.com)
pak Glagah jawabannya tolong diemailkan ke saya juga yah. terima kasih
BalasHapusrobi_hs@yahoo.com
Baik mas Robi. Tapi mohon bersabar.
BalasHapus