
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:256)
Renungan Ramadhan (2)
Menyingkap Rahasia Ramadhan
iapa pun yang mau sejenak merasa-renungkan, akan menjumpai dan meyakini bahwa Ramadhan adalah saat-saat dibagi-bagikannya ampunan, rahmat, dan bahkan pembebasan manusia dari adzab api neraka. Itulah buhul tali Allah yang amat kuat untuk menyelamatkan manusia. Tapi sungguh, sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas, tak ada paksaan di dalam Islam. Jika hal itu disadari, manusia yang beriman kepada Allah pasti lebih sungguh-sungguh mendaya-manfaatkan kehadiran Sang Tamu Agung Ramadhan. Sayangnya, banyak yang belum menyadarinya. Yang umumnya diketahui, Ramadhan adalah bulan diwajibkannya puasa. Itu sama sekali tidak keliru, namun akibat kurang didalaminya pengertian Ramadhan, yang diperoleh hanya lelah-lesu menahan lapar-dahaga. Padahal haqiqatnya Ramadhan itu sendiri merupakan biasan atau pecahan dari sifat indah Allah, yaitu sifat kebaikan-kepemurahan kasih-sayang-Nya. Pada Ramadhan, tersiratlah asma-Nya Al-Ghafuur yang membagikan ampunan, Ar-Rahmaan yang senantiasa mengucurkan rahmat, dan As-Salaam yang menyelamat-bebaskan manusia dari api neraka. Ramadhan-lah yang memerdekakan manusia. Bukankah dalam sejarah bangsa Indonesia terbukti bahwa Kemerdekaan RI teraih saat Ramadhan, dan dengan kobaran api perjuangan: Allaahu Akbar?
Setahun penuh, pengembaraan sebahagian besar manusia hanya mengikuti kehendak-keinginan nafsu. Bisa jadi kurang disadari manusia, bahkan tak diketahui bahwa dirinya terjebak dalam perangkap maksiat. Maka sewajarlah bila dosa itu tidak segera dimohonkan ampun. Itulah sebabnya, semata-mata berkat kepemurahan-Nya —terpaksa atau tidak terpaksa— manusia Allah himbau dan minta agar menyerahkan nafsunya untuk ”dipenjarakan” sebagai hukuman atau sebagai pendidikan atas nafsu yang telah semena-mena menghancurkan unsur daya potensi ketenagaan di dalam diri yang lain, yaitu ruh, rasa, hati dan ‘aqal. Nafsu tercela itu sungguh sangat jahat karena menjauhkan perasaan-hati manusia dari Allah yang mengasihinya. Akibat gagal merasakan kasih-sayang Allah, manusia lari mencari perhatian dari sesama. Untuk apa? Mengemis kasih-sayang pada manusia!
Tinggalkan segala bentuk penilaian dan pameran kebaikan diri
Benarkah bahwa sikap-perbuatan riya’ tanpa sadar, sering dilakukan manusia? Dan benarkah bahwa di baliknya, sering kali yang memicu adalah maksud-niyat mencari perhatian? (Tentang ber-fésbuk-riya’ dalam ajang media sosialita yang sangat menggejala, telah dibahas pada weblog ini; klik di sini -Admin).
Waspadailah bahwa nafsu tercela sengaja memberikan hati kepada iblis yang menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dengan cara apa nafsu memberikannya? Dengan sifat angkuh-sombong-riya’, dengki-iri, serta keinginan yang tak sesuai kehendak Allah. Sifat tercela nafsu adalah pintu masuk iblis ke dalam hati. Akibatnya, hati rusak porak poranda karena fithrah hati adalah istana Allah. Jika hati dikuasai iblis, pasti tak ada lagi ketenteraman hidup meski diri berharta, berkuasa, dan berilmu. Was-was, ragu, cemas, takut, tak pernah merasa aman, atau setiap saat menderita karena pukulan godam kemarahan terpendam, adalah pertanda nyata ketidak-tenteraman itu. Kenyataan ini, sayangnya tidak disadari oleh sebagian besar manusia. Itulah sebabnya Ramadhan hadir menghantar kemurahan Allah, memberikan manusia ampunan atas ketidak-adilan terhadap dirinya sendiri. Dengan ampunan itu, manusia terbebas dari siksa neraka.
Sebagai wujud syukur atas hadirnya Ramadhan, tidak salah jika sebatas kemampuan yang ada, tiap muslim semestinya bertambah gigih mengimbau siapa saja di lingkungannya untuk kembali ke jalan pengabdian kepada Allah secara murni dan ajeg-istiqomah. Lalu seyogyanya, sikap apakah yang diambil untuk mensyukuri Ramadhan?
Marilah kita renungi kehadiran Ramadhan. Yaqinkah kita bahwa pada tahun yang akan datang dapat bertemu kembali dengan Ramadhan? Bagaimana jika maut telah berada di ambang pintu menjemput diri? Yaqinkah kita bahwa kita telah dapat mensyukuri Ramadhan karunia Allah dan dengannya, kita telah mampu berbuat kebaikan? Alangkah bijak jika membiarkan saja hal itu dalam penilaian Allah. Lebih baik latih-tanamkanlah ke dalam diri, bahwa selama ini diri masih kosong dari segala bentuk kebaikan. Bukan malah memamerkannya dengan riya’ kesombongan-halus, di jaringan sosialita masing-masing, atau ber-fésbuk-riya’. Karena sampai kapanpun haqiqat manusia tidak akan pernah dapat berbuat kebaikan kecuali karena rahmat kepemurahan dari Allah yang memberikan kepadanya daya ketenagaan untuk dapat berbuat sesuatu.
Akan lebih mulia dan terhormat jika menilai pihak lain telah banyak berbuat kebaikan atas diri kita, tetapi kitalah yang belum dapat membalasnya. Dari langkah ini, akan tumbuh sikap untuk pandai bersyukur kepada Allah s.w.t. Dengan merendahkan diri dan tawadhu’ bagai pengemis hina yang mengharapkan kebajikan-Nya, marilah kita memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah untuk menjadikan kunjungan Ramadhan sebagai:
• pencuci-bersih dan pengkikis-habis nafsu-tercela hingga ke sudut-sudut hati paling dalam (bukan lewat doa saja, tetapi juga lewat bukti amal nyata menegakkan yang haqq dan memerangi yang bathil menurut kemampuan masing-masing).
• wadah pelahiran fithrah diri yang selama ini tercampak-buang di lembah kenistaan nafsu-tercela (fitrah ialah keadaan ruh, rasa, hati, ‘aqal, dan nafsu yang bersih, dengan bukti berfungsinya masing-masing unsur daya potensi ketenagaan di dalam diri tersebut; klik di sini untuk melihat detil penjelasannya).
• pencetak sikap ridha terhadap kehendak yang sedang Allah langsungkan terhadap diri, meskipun itu pahit dan merugikan nafsu. Ucap manusia sering kali mengatakan diri telah ridha, bahkan menilai diri telah mengesakan Allah atau bertauhid, tetapi sebenarnya sikap kita ternyata selalu meronta dan memprotes kehendak-Nya. Bahkan tidak jarang nafsu mengajak lari dari Allah.
• penjalin-rajut bagi ummat Islam khususnya di Indonesia, untuk saling berkasih-sayang dan saling berkepemurahan, diiringi dengan perbaikan masing-masing diri anak bangsa.
Semoga pada kunjungan Romadhan kali ini kita dapat menikmati limpahan ampunan dan rahmat dari sisi Allah. Semoga Allah melepaskan kita dari tradisi menyambut kedatangan Ramadhan sebatas menahan lapar-dahaga, sementara nafsu tetap berjalan sekehendaknya.
Dituliskan kembali dengan beberapa tambahan informasi oleh Taufik Thoyib dari sajian Ki Moenadi MS, 29 Sya’ban 1423H (5 Nopember 2002) dokumentasi Yayasan Badiyo, Malang.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusMaka sewajarlah bila dosa itu tidak segera dimohonkan ampun. (kalimat alinea ke-2, baris ke-4) apa mungkin yang dimaksudkan segera dimohonkan ampun..BUKAN 'tidak segera..'
Wassalam
Wa'alaikum salam wr.wb.,
BalasHapusJazakumullaah khairan katsiraa atas tanggapan Anda. Kalimat di atas, memang kurang jelas bila dibaca terlepas. Sebenarnya mesti dibaca/dicerna bersambung dengan kalimat sebelumnya, sehingga menjadi: "Bisa jadi kurang disadari manusia, bahkan tak diketahui bahwa dirinya terjebak dalam perangkap maksiat; maka sewajarlah (karena kurang menyadarinya) bila dosa itu tidak segera dimohonkan ampun (olehnya)".
Semoga bermanfaat. Glagah Nuswantara.