Seri Ramadhan Indonesia Merdeka #2
NKRI: Negara Kleptokrasi Republik Indonesia?
Di mana-mana mulai meletup gejolak perpecahan antar-anak-bangsa. Pencuri kekayaan rakyat kian meraja-lela, demi ambisi pribadi hidup makmur-glamur-gemerlap, bahkan tega mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Yang berkuasa akan menindas yang lemah. Bahkan, tak mustahil, semua menjadi pencuri harta dan perampas hak pihak lain. Korupsi dilakukan berjamaah. Negeri ini bukan mustahil telah menjadi negara kleptokrasi, negara para koruptor, dari tingkat pimpinan hingga rakyat kecil. Apa gerangan penyebabnya? Sangat bisa terjadi, dikarenakan pola fikir dan hidup materialistik Yhd telah benar-benar merasuki jiwa bangsa. Apa yang harus dilakukan ummat muslim sebagai pelopor perbaikan?
Tulisan ini adalah seri tulisan Ramdhan Indonesia Merdeka ke #2. Semoga ibadah shiyam kita diterima Allah s.w.t. Wa taqqaballaahu minna wa minkum
erada di dalam situasi serba tak menentu seperti kini, yang harus dilakukan ummat muslim ialah kembali pada Allah dengan jalur Al Qur’an dan Al Hadits secara murni, terutama memurnikan lagi pola fikir sesuai dengan tuntuanan Allah dan Nabi s.a.w. Marilah menyadari sepenuhnya bahwa Allah mencipta manusia selaku khalifah yang hidup dalam rentangan kesemestaan, di dalam satu getar-rajutan yang berketepat-bijak-pastian. Agar keadaan demikian dapat berlanjut secara berkesinambungan, Allah mendidik-membina dan membawa-tuntun manusia menuju jenjang kesempurnaan hidup berazas-pondasi-dasar luhur-santun-berkesetimbangan. Dari gambaran olah-didik yang dilangsungkan Allah itu, ada buah pemahaman-pengertian, terbukanya mata, dan kesadaran menyaksikan betapa jauh dan luhur jangkauan pendidikan-pembinaan yang dilangsungkan Allah kepada makhluq ciptaan, khususnya manusia. Marilah kita sadari bahwa “Hidup berjenjang naik menuju kesempurnaan berazas-pondasi-dasar luhur-santun-berkesetimbangan” berkandungan nilai-kesemestaan, selalu menjadi tujuan utama dari pendidikan-pembinaan yang dilangsungkan Allah kepada manusia. Hal itu tidak pernah dijumpai dalam pola fikir Yhd di kampus mana pun di dunia saat ini. Mereka hanya berfikir tentang kepentingan diri manusia. Berfikir tentang alam pun, pada hakekatnya masih untuk kepentingan manusia juga. Sangat berbeda dengan menumbuh-kembangkan keilmuan yang berfihak pada manusia dan alam dengan adil. Itulah yang diajarkan Islam. Bukankah menjadikan Yhd sebagai inspirasi utama gerak kehidupan hakikatnya adalah sebuah pengkhianatan pada Allah? Mengapa semua terjadi di Indonesia? Bagaimana dalam skala bernegara?
Keadaan hidup kesemestaan yang telah demikian indah terajut dalam kesetimbangan yang luhur pada fitrah negeri ini, diurai-cerai-beraikan oleh Yhd dan pelanjut-pewarisnya melalui jalur pola-fikir, pandangan hidup, dan keilmuan. Seharusnya manusia selaku makhluq tertinggi yang beraqal tentunya bangkit tergugah-pancing menyambut-baik pendidikan-pembinaan yang dilangsungkan Allah untuk menyongsong-menatap ke depan atau hari esok yang sempurna dalam keluhuran. Sedangkan berbicara tentang kesemestaan tidak terlepas dari adanya hamparan hunian hidup masyarakat manusia maupun masyarakat alam, berupa lingkungan yang telah diciptakan Allah berkeadaan santun-berkesetimbangan. Salah satunya, adalah bumi tanah-air Indonesia Ibu Pertiwi, yang merentangkan alam-kehidupan laksana hunian syurgawi dengan kandungan kesuburan alam, berupa hamparan:
• gunung-gunung emas beserta logam lainnya,
• lambaian nyiur hijau di pantai beserta tanaman hijau lainnya,
• dengan lautan yang menyemburkan cahaya mutiara beserta tambang-mineral dan lainnya.
Hal itu sama sekali bukan hal yang remeh. Kesemuanya melambangkan kejayaan, kemakmuran dan ketinggian peradaban hidup bangsa. Perlu disadari bahwa semua itu tidaklah berada dengan sendirinya, melainkan baik kandungan kesuburan alam, maupun kemerdekaan negeri-bangsa Indonesia Ibu Pertiwi lahir dan berada hanya karena karunia-rahmat Allah semata (yang dapat menggiur-goda dan menimbulkan dendam-dengki bagi fihak-fihak negara lain). Bangsa Indonesia berkeadaan kandungan alam subur-makmur dan merdeka, bertujuan agar dapat tampil terdepan selaku pemakmur kehidupan bumi yang berlandaskan azas-pondasi-dasar-luhur santun-berkesetimbangan. Sebagaimana dijelaskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea ke-3: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Bebas, bukanlah bebas liar sebagaimana nafsu angkara masing-masing. Bila bebas yang dimengerti bebas liar, maka yang terjadi adalah pemaksaan kehendak.
Mari simak-ulang renungkan kembali pernyataan pada Undang-Undang Dasar 1945 di alinea ke-3 tersebut. Sebenarnya ada satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari salah satu rangkaian kata pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea ke-3 ialah: “…supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”. Secara tersirat, ada suatu himbauan tegas kepada segenap bangsa Indonesia bahwa yang menjadi tujuan dicetus-proklamirkannya kemerdekaan Indonesia tidak lain dalam rangka “berkehidupan bebas”. Tentu bukan bebas liar, tetapi dalam pengertian tetap terkendali dalam norma-norma kaidah-kaidah ketuhanan atau Ilaahiyah. Boleh-jadi tampaknya hal yang berkaitan dengan “berkehidupan bebas” sebagaimana tertuang pada bagian kalimat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah terlupakan oleh bangsa Indonesia. Sekaligus sikap demikian penyebab pertama datangnya bencana kesulitan-kesukaran dalam menjalankan roda pemerintahan. Bukti telah terlupakan adalah seiring dengan berlalu dan berlanjutnya usia kemerdekaan Indonesia, roda kehidupan bangsa Indonesia banyak diarah-tentukan oleh Yhd terutama dalam pengertian pola fikir, pandangan hidup dan keilmuan. Bahkan untuk meningkatkan kualitas hidup diarah-tentukan oleh Yhd, bangsa Indonesia dijerat sedemikian rupa dalam perangkap pinjaman lunak yang hakikinya adalah hutang.
Apakah langsung maupun tidak langsung bangsa Indonesia telah ingkar atau keluar dari garis ketentuan Undang-Undang Dasar 1945? Yang dimaksud, adalah ingkar terhadap keberadaan rahmat Allah yang telah menjadikan Indonesia berkeadaan kandungan alam subur makmur dan merdeka. Akibatnya, Allah mengganti rahmat-Nya dengan adzab kehinaan: negeri yang bermodalkan kandungan alam subur-makmur dapat hidup mandiri mengayomi masyarakatnya, dalam waktu sekejap berubah menjadi negara pengemis hutang kepada Yhd. Langsung maupun tidak langsung secara bertahap Yhd berhasil mengarah-tentukan negeri ini. Buktinya, untuk menghidupkan sektor pertanian yang merupakan ciri utama negeri, kita bahkan harus mendapat pandangan-pendapat dari Yhd yang negerinya bukan negeri-pertanian. Tidakkah keadaan ini dapat dirasa sebagai hal yang menghinakan bagi bangsa yang berdaulat? Terutama ummat Islam-nya sebagai bagian terbesar, apa yang hendak diperbuat sebagai langkah kepeloporan bagi bangsa ini?
Belum lagi di mana-mana mulai meletup gejolak perpecahan antar-anak-bangsa. Pencuri kekayaan rakyat kian meraja-lela, demi ambisi pribadi hidup makmur-glamur-gemerlap, bahkan tega mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Yang berkuasa akan menindas yang lemah. Bahkan, tak mustahil, semua menjadi pencuri harta dan perampas hak pihak lain. Korupsi dilakukan berjamaah. Negeri ini menjadi negara kleptokrasi, negara para koruptor, dari tingkat pimpinan hingga rakyat kecil. Apa yang harus dilakukan ummat muslim sebagai pelopor perbaikan?
Seharusnya hal itu menggugah-bangkit membuka mata-kesadaran anak bangsa terutama masyarakat Islamnya, bahwa di dalam kehidupan bangsa Indonesia, Yhd telah berhasil menyusup bahkan mengubah-kuasai pola fikir pandangan hidup bangsa Indonesia dengan leluasa. Lupakah masyarakat Indonesia terutama masyarakat Islamnya akan firman Allah yang mengisyarat-nyatakan: “Di manapun Yhd berada pasti hanya mendatangkan bencana-petaka?”
Tulisan di atas merupakan bagian dari buah pena Ki Moenadi MS (alm) tahun 2001, berjudul “Indonesia-Ku, Pengantar Kami”, dengan penyesuaian redaksional dan beberapa tambahan informasi mutakhir dari Taufik Thoyib. –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
wahai semua anak bangsa putra-putri ibu pertiwi,,,,,bersama perasaan hati mari qt mulai kembalikan kemerdekaan sejati jauhkan kebodohan dalam diri,,,,ikuti titah ilahi robbi untuk bangsa negeri INDONESIA INI....agar tercipta kehidupan adil makmur nan abadi,,,,aamin.. heru samarinda
BalasHapus