Pergerakan Kebangkitan Fitriyah Datang dengan Tiba-tiba
arang yang menyadari bahwa sebenarnya, bukan nilai-nilai kebenaran budaya bangsalah penghambat langkah pembangunan bangsa munuju masyarakat makmur bersahaja. Manusia-manusia yang datang kemudianlah yang buta dan tidak dapat memahami jika dalam budaya bangsa ini, banyak tersimpan nilai-nilai kebenaran. Para pendahulu bunga bangsa sudah melihat bahwa negeri ini akan selamanya tetap menjadi incaran pemerkosaan keserakahan jiwa manusia karena keelokan rupanya yang banyak menyimpan rahasia alam. Sementara setiap terjadi pemerkosaan oleh keserakahan jiwa manusia terhadap tanah air pertiwi ini, pasti menimbulkan guncangan kehidupan di dalam negeri. Itulah sebabnya untuk menghadapinya para pendahulu telah mewariskan kebenaran Islami kepada genarasi berikutnya. Kebenaran Islami itu tidak dinyatakan secara transparan atau eksplisit, namun mereka cairkan dalam bentuk nilai-nilai yang kemudian mereka simpan dengan rapat di dalam budaya bangsa, baik budaya masyarakat maupun budaya pemerintahan. Seakan-akan, bila diungkapkan dengan kata-kata, para pendahulu bunga bangsa berkata kepada generasi penerusnya: “Inilah nilai-nilai kebenaran yang kami simpankan dalam budaya bangsa sebagai modal membangun bangsa menuju masyarakat adil makmur bersahaja”. Apa yang membuat generasi kini tak memahami dengan baik pesan itu?
Kebangkitan rekayasa.
Sayangnya apa-apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu bunga bangsa tidak seutuhnya dapat dilaksanakan oleh generasi berikutnya. Meskipun secara kata-kata budaya bangsa tetap mendapat perhatian utama dalam mengisi kemerdekaan tanah air ini. Tetapi dalam hal pelaksanaannya tidak sedikit terjadi penyelewengan. Itulah sebabnya meskipun roda pergerakan kebangkitan setiap saat dihembuskan di tanah air ini, belum tentu dapat mencapai tingkat sebenarnya. Roda pergerakan kebangkitan harus berhasil mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menegakkan budaya bangsa dengan murni. Kebenaran hakiki (Islami) yang dikandungnya mesti terjaga.
Dengan kata lain, jika seluruh lapisan masyarakat tidak mau kembali pada kebenaran, selama ini pula roda pergerakan kebangkitan terus akan berlangsung yang berarti guncangan kehancuran akan terus berkepanjangan hadir di tanah air ini. Sebenarnya sangat mudah bagi tanah air ini untuk membendung hadirnya guncangan kehancuran jika seluruh lapisan masyarakatnya bersatu bertekad teguh untuk kembali pada kebenaran yang tersimpan dalam budaya bangsa, tanpa sedikitpun direkayasa. Maka selama gerakan kebangkitan belum bisa mencapai tegak kokohnya panji-panji kebenaran di tengah-tengah kehidupan manusia dan semesta, selama itu pula roda kebangktian akan selalu bergerak dan berputar tujuan yang sebenarnya itu dapat tercapai.
Dengan adanya gerakan kebangkitan yang senantiasa muncul di tengah-tengah kehidupan manusia dan alam, ada isyarat kepada manusia bahwa pergerakan kebangkitan yang sedang dilangsungkan belumlah mencapai tegaknya panji-panji kebenaran Islami. Bahkan kebenaran itu sendiri harus membudaya dalam kehidupan manusia dan alam. Artinya, kebenaran harus bisa menjadi sikap hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara bahkan bersemesta. Memang gerakan itu tidak bisa dilakukan dengan rekayasa. Setiap gerakan cara rekayasa pasti melibatkan logika-nafsu-diri-subjektifitas manusia, wujudnya adalah selubung niat-niat tertentu untuk kepentingan pribadi maunpun untuk kepentingan golongan tertentu. Jika demikian ini yang terjadi dalam pergerakan kebangkitan, maka kebangkitan tidak akan murni muncul secara fithriyah atau secara alami.
Hadirnya kebenaran Islami di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk menyelesaikan dengan tuntas semua permasalahan yang bermunculan. Selamanya, permasalahan tidak akan pernah terselesaikan bila jalan untuk kebenaran tidak dibukakan dengan seluas-luasnya. Kebenaran harus menjadi sikap hidup bukanlah berarti bahwa segala sesuatu harus tampak “apa adanya” atau secara transparan. Dalam kehidupan bermasyarakat transparansi itu boleh jadi dapat dicapai, tetapi dalam kehidpan berbangsa dan bernegara, hal itu sulit dipenuhi. Itulah sebabnya agar kebenaran bisa menjadi sikap hidup secara merata dan menyeluruh, diperlukan rumusan nilai-nilai. Perbandingkanlah pada kehidupan bayi. Bayi belum kuat makan nasi sebagaimana orang dewasa. Jika dipaksakan, pasti terjadi kerusakan pada bagian alat pencernaan. Maka untuk memasukan nasi kepada bayi dapat saja melalui ASI atau nasi itu sendiri diubah menjadi bubur. Sehingga tidak disadari oleh sang bayi maupun oleh alat pencernaan pada diri bayi bahwa unsur nasi telah masuk ke dalam tubuh sang bayi yang kemudian nasi itu sendiri menjadi makanan bagi pertumbuhan fisik sang bayi. Perubahan dari nasi menjadi ASI atau bubur itulah yang dimaksud memasukan nilai-nilai kebenaran hakiki (Islami). Karena inti atau hakikat nasi itu sendiri telah masuk ke dalam diri sang bayi dan dapat terserap sempurna lewat organ fisik sang bayi.
Lain halnya jika kebenaran dibudi-dayakan secara rekayasa pasti cepat atau lambat akan berakibat merusak. Contoh sederhana tidak semua manusia cocok atau suka dengan obat. Boleh jadi pada awalnya akan dirasa pahit. Karena dipandang merupakan salah satu langkah kebenaran mengatasi penyakit, maka agar obat itu tetap bisa masuk kedalam tubuh manusia dilakukanlah rekayasa dengan cara mengubah obat tablet menjadi kapsul atau sirup. Yang pahit bisa berubah manis. Sesaat memang terjadi reaksi perubahan pada tempat yang dirasa sakit. Tetapi siapa yang menyangka bila di balik hilangnya rasa sakit, sedang terjadi penggerogotan terhadap serabut-serabut syaraf yang sangat halus. Pada saat tertentu, cepat atau lambat penyakit itu akan muncul kembali dengan kualitas yang lebih tinggi. Demikian inilah dua contoh kebenaran yang dimasukkan dalam kehidupan masyarakat.
Guncangan Kehancuran
Munculnya roda pergerakan kebangkitan untuk mencapai tegak kokohnya panji-panji kebenaran sangat sulit untuk diduga-duga kehadirannya, apalagi untuk direncanakan dengan rekayasa. Setiap roda kebangkitan yang sesungguhnya hadir di tengah-tengah kehidupan manusia, guncangan kehancuran selalu menyertai hadirnya roda kebangkitan. Bahkan sering kali terjadi guncangan kehancuranlah yang lebih dahulu muncul.
Kapan guncangan kehancuran mulai menampakkan dirinya di tengah-tengah kehidupan manusia, maka akan sulit baginya untuk membendung kehadiran guncangan kehancuran. Yang justru mula pertama menjadi sasaran guncangan kehancuran itu adalah manusia itu sendiri. Guncangan kehancuran tak semena-mena mengganggu kenyamanan hidup manusia, justru datangnya guncangan kehancarun karena undangan hormat dari manusia. Ia datang karena undangan penuh hormat yang dituangkan manusia dalam bentuk tingkah polah bathil. Setiap rekayasa atau hal-hal yang bersifat bathil ditegakkan dalam kehidupan manusia, getarannya sangat cepat sekali di tangkap oleh guncangan kehancuran. Keberadaan rekayasa atau kebathilan sangat cepat dan mudah sekali untuk saling beradu getaran atau ber-resonansi dengan guncangan kehancuran. Guncangan kehancuran lebih dahulu muncul dalam rangka membuka jalan seluas-luasnya kepada roda pergerakan kebangkitan. Antara kebangkitan dan guncangan kehancuran sulit untuk dipisah-pisahkan, seakan-akan sudah menjadi satu mata rantai. Kapan ada guncangan kehancuran pasti muncul gerakan kebangkitan atau sebaliknya. kapan lampu penanda kebangkitan mulai menyala, pasti muncul guncangan kehancuran secara tiba-tiba. Kehadiran guncangan kehancuran juga bertujuan untuk memporak-porandakan bangunan rekayasa atau sesuatu yang bersifat bathil, karena sifat pergerakan kebangkitan itu adalah datang dengan tiba-tiba. Itulah pergerakan kebangkitan yang muncul secara fithriyah. Itulah tegaknya Kebenaran-Haq di muka bumi ini.
Namun sekali lagi yang perlu diingat bahwa manusia yang terkena imbas kehancuran adalah manusia yang melakukan perbuatan juga mengarah pada kehancuran. Demikianlah dapat ditegaskan bahwa kebangkitan adalah jalan fithriyah untuk tegaknya Kebenaran-Haq di muka bumi. Kami akan menjelaskannya lebih lanjut di kesempatan lain.
Tulisan di atas merupakan bagian kedua (terakhir) dari penjelasan Ki Moenadi MS (alm) pada kesempatan kajian keilmuan di Yayasan Badiyo, 06/10/1998, dengan penyesuaian redaksional dari Taufik Thoyib, merupakan lanjutan dari tulisan sebelum ini berjudul "Apa dan siapa penyebab kerusakan ibu pertiwi?". –Admin.
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara.
BalasHapus