
Apakah yang mesti diupayakan untuk mengatasi kesenjangan paling mengkhawatirkan dalam kehidupan masyarakat, yaitu jurang pemisah kaya dan miskin? Ummat Islam memerlukan perbaikan ilmu. Banyak yang mengira --khususnya mereka yang telah terlanjur berada di dalam selimut kenikmatan kehidupan kampus-- bahwa keilmuan (system of knowledge) tak berkaitan dengan keimanan (system of beliefs). Iman adalah pengarah gerak getar ketenagaan dzat hidup dalam diri manusia. Terpimpin atau tidak hidupnya oleh Allah selaku Rabb, tergantung dari keadaan imannya. Banyak yang merindukan perbaikan dan kebangkitan, namun sangat sedikit yang menyadari sepenuhnya, bahwa awalnya mesti dimulai dengan pembangunan iman. Sayangnya, ada penghambat besar, yaitu anggapan bahwa diri telah baik dan tak perlu perbaikan apa pun. Bagaimana anggapan diri itu ternyata menjadi penghambat?
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". (QS. 2:257)
Warna-warni Anggapan Diri, Penghambat Kebangkitan

ungguh tidak mudah untuk mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni. Namun, bukan berarti hal itu mustahil. Jelas, sebagaimana semua upaya, pasti pewujudan gerak kebangkitan berilmu murni banyak menemui liku-liku kesulitan. Satu hal mesti direnungkan. Jika hal itu mustahil, berarti Allah telah berlaku zhalim membebani manusia dengan rentetan liku-liku kesulitan. Jika Allah mengimbau manusia khususnya para hamba-Nya untuk berkeilmuan murni, berarti Dia tidak menghendaki ada manusia yang hidup terbelenggu –apalagi sampai terbungkuk-bungkuk dililit kesulitan. Allah tidak menghendaki manusia hidup sulit, sebagaimana yang telah yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Allah tidak memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya –bahkan apa-apa yang Allah imbaukan sebenarnya berada di bawah garis kemampuan manusia. Siapakah yang telah memandang sulit mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni?
Tidak lain adalah nafsu, karena nafsulah satu-satunya unsur di dalam diri manusia yang paling tidak suka dengan bentuk-bentuk kemurnian. Tetapi ingat! Tidak semua nafsu menolak bentuk-bentuk kemurnian, hanya nafsu yang telah banyak menjalin akrab dengan iblis dan logikalah yang paling tidak suka dengan bentuk-bentuk kesulitan, karena kesukaannya adalah bentuk-bentuk penipuan. Tidak satupun dari gerak ketenafaan logika yang tidak menghasilkan penipuan. Sejujur-jujur logika, ia tetap berbaju penipuan. Sedangkan serendah-rendah sasaran logika untuk menipu, adalah menipu diri sendiri. Hal itulah yang paling sering ditemukan dalam anggapan diri.
Tidak sedikit manusia yang terjebak pada anggapan diri. Manusia yang suka beranggapan diri itulah manusia yang telah lulus dari didikan logika. Sedangkan nilai tertinggi yang berhasil diraih adalah tingkat suka beranggapan diri. Banyak manusia tidak menyadari apa yang ada di balik manusia yang suka beranggapan diri –yang hakekatnya adalah upaya manusia untuk menutupi sikapnya menipu diri sendiri. Perkembangan lebih jauh dari hasil menipu diri adalah menipu di luar dirinya. Dengan kata lain seluruh aspek kehidupan ini telah dihiasi dengan warna-warni penipuan. Sampai-sampai keilmuan yang dimunculkan juga dalam rangka melancarkan penipuan. Itulah sebabnya, mengingat begitu besar dampak yang disebabkan oleh serangan penipuan, sudah saatnya ada tandingan berupa keilmuan murni. Keilmuan murni itulah yang akan membebaskan manusia dari belenggu kesulitan dan akan banyak memberikan kemudahan jalan bagi manusia dalam mengisi hidup di muka bumi –khususnya dalam hal menjaga dan mendaya-manfaatkan bumi dan isinya yang telah utuh diserahkan kepada manusia.
Tidak sedikit jumlah manusia mengalami kesulitan untuk mendaya-manfaatkan bumi dan isinya. Satu hal yang perlu diketahui. Kapan manusia mengisi kehidupan ini tidak dengan keilmuan murni, pasti akan ditemukan berbagai macam bentuk kesulitan. Dan dalam kehidupan itu batu-batu tajam kesulitan pasti bermunculan satu per satu mulai. Sekali kesulitan ditemui, maka mata rantai kesulitan berikutnya akan terus ditemukan apabila tidak segera ditindak-tegas dengan keilmuan murni, kesulitan yang muncul bahkan kehancuran hidup bersemesta.
Di sinilah arti pentingnya peranan keilmuan murni. Yaitu, untuk menyelamatkan kehidupan bersemesta dari kehancuran. Keberadaan keilmuan murni sebenarnya untuk melepaskan kehidupan bersemesta dari belenggu kesulitan yang berentet. Dengan lepasnya kehidupan ini dari belenggu kesulitan yang berentet berarti kehancuran pun dapat terantisipasi secara dini. Inilah yang dimaksudkan gerak kebangkitan berilmu murni mematikan langkah kebodohan dan kesombongan berilmu.
Semua permasalahan yang timbul atau mata rantai kesulitan dapat diantisipasi oleh keilmuan murni, sebagaimana diisyaratkan pada firman QS.2:258-259, khususnya pada QS.2:258: “…Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Aku dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari Barat,’ lalu terdiamlah orang kafir itu…”. Dalam ayat tersebut terdapat terdapat gelar pandang antara Ibrahim a.s. selaku yang mewakili keilmuan murni dengan orang yang berkesombongan ilmu dan dan berkebodohan ilmu. Ketika Ibrahim membuat pernyataan, “Robbku adalah yang menghidupkan dan mematikan”. Maka si kafir membantah, “aku pun dapat menghidupkan dan mematikan”. Tetapi yang dimaksud menghidupkan berarti membiarkan hidup dan mematikan berarti membunuh. Terhadap tandingan pernyataan tersebut Ibrahim masih membiarkan agar ia beranggapan dirinya hebat tidak terkalahkan. Barulah kemudian pada pernyatan kedua, Ibrahim menggelarkan pandangan yang mematahkan, yakni ketika Ibrahim berkata: “Robbku menerbitkan matahari dari Timur”. Kemudian Ibrahim menantang dengan pernyataan: “maka terbitkanlah olehmu matahari dari Barat”. Orang itu serta merta terdiam. Kemurnian ilmu dapat mematikan langkah atau pandangan kebodoh-sombongan ilmu. Ridhakah kaum muslim di Indonesia mengelban amanah berkeilmuan murni untuk memperbaiki negeri?
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 17/01/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang -Admin
Selasa, 04 September 2012
Warna-warni Anggapan Diri, Penghambat Kebangkitan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.