Negeri pertiwi Indonesia ini sesungguhnya adalah Negeri Kesayangan dan Ridha Ilaahi (NKRI). Sayang, tak banyak yang mengetahuinya, apalagi dengan sikap syukur untuk mengolah-lanjut potensi negeri ini untuk andil ikut mengegakkan kejayaan Islam. Lebih banyak lagi yang belum sepenuhya menyadari bahwa banyak tangan asing yang menjarah secara sangat halus lewat anak-anak negeri yang berhasil ditungganginya. Dalam tulisan ini, kedua pihak itu diibaratkan benalu. Jelasnya: kaum munafik. Indonesia kini ibarat negeri yang berkurang sedikit demi sedikit potensi alamnya karena tergadaikan oleh para benalu. Dengan kata lain, "berkurang luasnya"
“Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hingga panjanglah umur mereka. Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatang negeri, lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka apakah mereka yang menang? (QS. 21:44)
Benalu Munafik yang Mengancam Kehidupan Negeri

anaman benalu paling tidak suka melihat pohon besar berdaun rindang dan berbuah besar hidup dalam kesuburan. Itulah sebabnya sebelum kesuburan itu dicapai, benalu dengan tiba-tiba datang bertengger. Meskipun pada awalnya terkesan tanaman benalu banyak memberikan bantuan kebaikan, namun ujung dari kebaikannya adalah menjerat dan melilit hingga si korban tak berdaya, pasrah menyerah terhadap apa-apa yang diinginkan benalu dan kehilangan harga dirinya. Tanaman yang menjadi korban, yang semula dan seharusnya tampil selaku penentu jalan kehidupan kini, setelah dijerat dan dililit benalu menjadi tanaman yang ditentukan jalan kehidupannya. Demikian itulah cara benalu munafik merakit bukit kehidupan di atas pandangan tidak bertanam tetapi mengetam. Memang tanaman benalu itu selalu awas melihat laju pertumbuhan tanaman lain dan awas pula melihat celah-celah kelemahannya. Dengan itulah benalu telah bertengger untuk merakit bukit kehidupan di atas kehidupan tanaman lain, tanpa disangka-sangka. Kehidupan benalu itu tidak lebih laksana lintah darat yang suka menghisap darah kehidupan ummat dan bangsa. Sudah sedemikian jauh kejahatan benalu merusak kehidupan tanaman lain, sayangnya masih juga ada tanaman yang menaruh simpati pada benalu, bahkan bergantung hidup padanya. Mengapa? Benalu dipandang sebagai tanaman yang berhasil merakit bukit kehidupan. Padahal rakitan itu berasal dari berbagai macam jenis tanaman lain. Dengan kata lain keberhasilan benalu merakit bukit kehidupan dilakukannya dengan cara ekspansi wilayah. Tetapi bukan dalam pengertian geografis tetapi ekspansi wilayah dalam pengertian politis. Wilayah memang tidak tampak dicaploknya. Untuk merakit bukit kehidupannya, benalu menguras hasil bumi suatu wilayah. Tidak tampak secara paksa sebagaimana zaman kerja rodi, tetapi pencaplokan hasil bumi suatu wilayah atau lahan dilakukan benalu dengan cara meminjamkan kebaikan. Bunga terakhir adalah jeratan dan lilitan yang memaksa korbannya untuk menyerahkan seluruh sendi-sendi kehidupannya pada benalu. Demikian itulah halusnya benalu melakukan tindakan ekspansi wilayah. Bahkan tidak disadari oleh si korban bahwasanya lahan tempat tumbuhnya telah menjadi milik benalu. Bagaimana benalu itu mengancam negeri yang ditakdirkan sebagai hunian damai para hamba Allah?
Ada pepatah “nasi telah menjadi bubur”. Kenyataan tak ada nasi yang bisa menjadi bubur atau tidak dapat dimanfaatkan! Keadaan sulit masih dapat diperbaiki dan alam masih dapat dimanfaatkan jika ada ketegasan sikap si korban untuk bangkit melepaskan diri secara serempak dari jeratan dan lilitan tanaman benalu. Maka nasi yang telah menjadi bubur, masih dapat didaur ulang kembali. Yang perlu diketahui adalah bahwa benalu itu tidaklah tumbuh dalam satu jenis, tetapi tumbuh dalam bermacam-macam jenis tanaman korban. Benalu paling membahayakan kehidupan tanaman korban yang memiliki nilai kejayaan, baik untuk masa mendatang maupun untuk masa sedang berlangsung.
Benalu yang paling mudah dikenal dan dihindari adalah benalu tulen, atau benalu asli. Tetapi ada pula benalu yang agak sulit diketahui dan dihindari. Benalu jenis inilah yang paling membahayakan. Jenis benalu tersebut adalah benalu yang sebenarnya hidup dan tumbuh dari peranakan tanaman korban yang memiliki nilai kejayaan masa datang. Tetapi dalam perkembangan kehidupannya, benalu peranakan tersebut banyak diasuh dan dibesarkan oleh tanaman benalu tulen. Demikian sehingga tidak ada sepak terjang benalu peranakan yang tidak mengarah pada keuntungan benalu tulen. Benalu peranakan merugikan dan menghisap kehidupan tanaman tempat awal mula ia ditumbuhkan. Terhadap benalu peranakan inilah di harapkan tanaman yang belum jadi korban harus berhati-hati. Ciri benalu peranakan adalah bila ia berkata seakan terasa menyenangkan telinga pendengar. Jika dia berada di tengah-tengah kehidupan tanaman lain seakan dirinya adalah jenis atau keluarga tanaman lain tersebut. Tetapi bila ia diajak untuk mengorbankan kepentingan dirinya untuk membela kepentingan ummat banyak, maka sikapnya acuh tak acuh. Bahkan warna hitam pada wajahnya tampak dengan sangat nyata sebagai tanda kemarahannya mendengar ajakan untuk berkorban demi kepentingan ummat banyak. Maka benalu peranakan inilah yang sebenarnya banyak membantu langkah-langkah benalu tulen dalam merakit bukit kehidupan. Dari sekian jumlah macam jenis tanaman maka jenis tanaman benalu peranakan itulah yang paling banyak mewarnai kehidupan di jagat ini. Wajar bila akhirnya di sana-sini banyak dijumpai kerusakan dan ketimpangan hidup, karena roda kehidupan jagat ini telah diputar oleh benalu peranakan dengan komandan tunggalnya adalah benalu tulen.
Mudah-mudahan, kita dapat menangkap dengan tegas dan pasti, siapakah di dalam hal ini yang dimaksudkan dengan “benalu tulen” dan “benalu peranakan”. Namun jika boleh diungkapkan apa adanya, maka sangat banyak di antara kaum muslimin yang bisa jadi, termasuk yang pernah menjadi “benalu peranakan”. Buktinya, ada pada pola hidup yang mengikuti pola kehidupan benalu tulen. Terutama yang paling banyak ditiru dari pola kehidupan benalu tulen adalah jenis pola keilmuan. Dengan adanya ungkapan ini diharapkan dapat menambah kejelasan kita untuk memahami siapa yang dimaksudkan dengan “benalu tulen” dan “benalu peranakan”. Hanya karena kasih dan sayang Allah sematalah kaum muslim dapat terlepaskan dari kehidupan benalu peranakan.
Ada masanya benalu tulen maupun peranakan mengakhiri gerak kegiatannya. Sudah barang tentu hal ini baru dapat terwujud jika sudah ada kesiapan matang dari tanaman-tanaman yang menjadi korban mereka. Dalam hal ini, ada satu hal yang perlu kita ketahui: mengapa benalu tulen itu begitu berambisi untuk memporak-porandakan kehidupan tanaman yang memiliki nilai kejayaan mendatang? Benalu tulen tidak menginginkan korbannya mendapat banyak kebaikan dari Allah. Wujud kebaikan dari Allah dapat terlihat dari nilai-nilai kejayaan yang terkandung dalam jenis tanaman. Sementara bagi benalu tulen sudah tertutup untuk memperoleh kebaikan dari Allah, karena benalu tulen berwatak dengki.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 8/2/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan. -Admin
Kamis, 20 September 2012
Benalu Munafik yang Mengancam Kehidupan Negeri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
kita juga punya nih artikel mengenai kebudayaan, berikut linknya semoga bermanfaat ya :D
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2593/1/Arst-9.pdf