Kota yang kotor dan terpolusi berat bisa saja dimengerti sebagai hati yang tercemar nafsu sombong, dengki, dan serakah, serta dosa-dosa yang ditimbukan penghuninya. Alat tangkap petunjuk Allah ialah hati. Bila seseorang melakukan kesalahan, pasti itu akibat kemudharatannya sendiri. Bila ia melangkah dengan benar, pasti berkat petunjuk Allah. Hal ini banyak yang meyakini. Tetapi baru sedikit yang menyadari bahwa hati sangat mudah kotor oleh pengaruh tanggap nafsunya atas atas "sesuatu", atau dunia seisinya. Bagaimana hubungan antara hati dan petunjuk keilmuan bagi manusia?
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. 2:259)
Kemurnian Hati pada Allah Dahulu, Baru Keilmuan Murni

eilmuan murni pasti dapat menyelesaikan permasalahan atau kesulitan yang timbul. Dalam QS.2:259 dikisahkan suatu negeri yang temboknya telah roboh menutupi atap. Meskipun kenyataan hal itu merupakan kisah, namun sebenarnya mengandung simbol keilmuan. Itu isyarat bahwa suatu sistem kekuasaan yang dijadikan sebagai tempat melindungi kesombongan dan keserakahan, pasti akan mengalami masa keruntuhan. Sebab bila dibiarkan terus menerus, sistem kekuasaan itu hanya akan memperbesar munculnya permasalahan dan kesulitan. Itulah sebabnya sistem pemerintahan yang demikian pasti Allah runtuhkan. Dalam hal ini, yang meruntuhkan adalah keilmuan murni para hamba Allah. Dengan runtuhnya sistem pemerintahan yang banyak menimbulkan permasalahan dan kesulitan, barulah keilmuan murni datang memperbaharui kembali kehidupan. Disimbolkan pada ayat tersebut negeri yang telah mati menjadi hidup kembali dengan keilmuan murni dari Allah. Begitu pula terhadap keledai yang telah mati menjadi hamburan tulang belulang, merupakan simbol keilmuan bodoh-bodohan karena dia telah membiarkan dirinya menggendong beban setumpuk kitab buku, yang tak satupun yang dapat ia ketahui dengan pasti.Dengan kata lain, itulah simbol "ilmu bodoh-bodohan". Berilmu tapi bodoh. Bagaimana itu?
Inilah bukti ilmu yang membuahkan kesombongan dan kebodohan harus hancur, dimatikan langkahnya. Karena ilmu bodoh-bodohan tersebut tumbuh dari nafsu yang telah diwarnai oleh sifat kebinatangan, sehingga harus pula dihancurkan. Karena nafsu kebinatangan itulah yang menyebabkan munculnya berbagai macam permasalahan dan kesulitan. Dengan demikian, dalam memimpin suatu pemerintahan atau negeri, sifat kebinatanganlh yang harus pertama-tama dihancurkan, jika menginginkan jalannya sistem pemerintahan dalam keadaan tenang penuh dengan kesetimbangan. Bila nafsu kebinatangan telah berhasil dihancur-luluhkan, barulah dibentuk kembali nafsu yang tenang, indah lagi tertata. Di dalam QS.2:259 yang tidak mengalami kehancuran hanyalah makanan dan minuman (merupakan simbol) bahwa sesuatu yang tetap tumbuh berkembang dalam kesetimbangan tidak akan mudah dihancurkan. Makanan dan minuman berasal dari bumi atau tanah. Sedangkan “tanah” sebagai simbol suatu kehidupan yang tumbuh berkembang dalam kebebasan penuh kesetimbangan. Maka yang perlu diketahui ialah, jika di hati telah tertanam benih sebesar dzarrah bahwa “mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni adalah sulit”, maka benih itu lambat laun akan membuat nafsu merasakan kesulitan tersebut akan semakin besar dan sikap nafsupun terus menerus merengek mengatakan sulit dan sulit. Tugas aqal ialah membunuh benih anggapan itu dengan ketegasan. Apalagi bila telah berulang-ulang kali dianggap-rasakan oleh nafsu bahwa mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni selalu gagal dan gagal tidak terwujud dengan tegas, akhirnya nafsu akan mengatakan bahwa hal itu memang sulit. Dan untuk memperkokoh anggapan itu, nafsu pun berusaha mencari bantuan kepada iblis dan logika.
Bantuan pertama yang diberikan iblis adalah rasa putus asa menghadapi kesulitan. Kemudian diteruskan kepada logika dengan sambutan logika: “ah, berkeilmuan murni itu sesuatu yang tidak logis”. Bahkan lebih jauh logika akan mengatakan: “itu sesuatu yang mengada-ada”. Demikian, sehingga tidak jarang manusia yang tekun bersungguh-sungguh untuk mencuatkan gerak kebangkitan berilmu murni dipandang aneh atau nyeleneh. Itulah Dalam hal ini, yang perlu dipertanya-jawabkan ialah: bagaimana caranya agar anggapan yang menyatakan mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni itu adalah tidak sulit? Yang menjadi titik sasaran bukan pada permasalahan sulit atau mudahnya, sebab beranggapan mudah juga tidak boleh. Tetapi yang lebih penting adalah, adakah kesedian diri untuk konsekuen dan sungguh-sungguh memurnikan hati?
Hanya dengan murninya hati itulah segalanya akan menjadi mudah, termasuk dalam hal mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni. Hidup berhati murni itu sebenarnya lebih mudah untuk diterapkan dari pada hidup berhati tipu-tipuan. Begitu pula, berilmu murni justru terasa lebih mudah dari pada harus membuat suatu rencana dan rancangan rekayasa tipu-tipuan; hidup beraktifitas dengan berkeilmuan murni pasti terasa lebih mudah dan ringan dari pada hidup berkeilmuan tipu-tipuan. Dengan berhati murni, segala sesuatu bukan diperoleh melalui perasan otak atau upaya diri, melainkan segala sesuatunya diberikan Allah secara mudah melalui hati yang telah murni. Hati ibarat pipa saluran air tempat melewatkan air tempat Allah memberikan jawaban terhadap sesuatu, maka aqal berfungsi untuk menata dan merangkai berita dengan indah. Tapi yang harus diketahui dan dipakai sebagai landasan bersikap ialah BUKAN MENGEJAR KEILMUAN MURNI, MELAINKAN MURNIKANLAH HATI KEPADA ALLAH, AGAR BERKEILMUAN MURNI.
Bila hati tidak murni kepada Allah, pasti tuangan keilmuan itupun tidak murni –dalam arti banyak direka-reka, kemudian jatuhlah pada anggapan diri bahwa ilmu rekayasa itu adalah dari Allah. Berarti kembali muncul bentuk dan warna penipuan terutama penipuan terhadap diri sendiri. Jika hal demikian ini terus juga dilangsungkan dan para hamba tidak segera mendapatkan penjelasan, maka mereka hanya akan berputar-putar dari penipuan ke penipuan. Dengan demikian maksud pernyataan bahwa mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni adalah tidak mudah, sebenarnya terarah kepada manusia yang hatinya tidak (belum) murni kepada Allah. Mereka yang tidak dapat memurnikan hatinya pada Allah sampai kapan pun pasti akan sulit dan sulit untuk mewujudkan gerak kebangkitan berilmu murni. Meskipun diri beranggapan telah banyak beralih pandang ke keilmuan murni, tetapi bila hati si hamba belum utuh murni pada Allah pasti kesulitan dan penipuan selalu akan dijumpainya. Hati sulit berkeadaan murni pada Allah adalah karena selalu dikotori berbagai macam gejolak sesuatu. Jika demikian yang terjadi, hati tidak lagi utuh dan lurus menyerah kepada Allah. Hal inilah yang membuat sulitnya manusia khususnya para hamba untuk mencuatkan gerak kebangkitan berilmu murni. Tetapi jika kita betul-betul bulat tekat memurnikan hati kepada Allah, maka Allah-lah yang akan tampil sebagai pelindung diri kita dari bermacam-macam gejolak. Sebaliknya bila hati belum bulat bertekad murni berserah pada Allah karena masih enggan melepaskan sikap berkuasa atau semau sendiri, hati pasti akan mudah terpancing oleh gejolak sesuatu. Dengan kata lain, hati yang masih suka dan mudah terpancing oleh gejolak sesuatu itulah contoh diri yang tidak bulat memurnikan hati kepada Allah.
Meskipun ucapan dan keinginan menyatakan: “tetap bertekad memurnikan hati kepada Allah”, tetapi bila sikap diri masih juga mudah terpancing oleh gejolak sesuatu, pertanda hati memang belum siap untuk hanya murni pada Allah saja. Bukti bila hati telah murni kepada Allah, nafsu tidak lagi diperkenankan untuk ikut campur dalam menyelesaikan sesuatu. Nabi Muhammad s.a.w. sering kali bermohon agar segala urusannya tidak diserahkan kepada nafsu walaupun hanya sedetik. Sebab sesaat saja nafsu mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan sesuatu urusan, pasti akan diwarnai oleh bentuk-bentuk kecurangan atau penipuan. Oleh sebab itu jagalah diri tehadap pancingan gejolak yang muncul dari sesuatu, sebab bila gejolak dibiarkan masuk ke dalam hati, maka lunturlah kemurnian hati terhadap Allah.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 17/01/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang -Admin
Kamis, 13 September 2012
Kemurnian Hati pada Allah Dahulu, Baru Keilmuan Murni
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Alhamdulillah diingatkan..
BalasHapus