Telah banyak fajar yang kita saksikan. Tetapi apakah sebenarnya yang disebut keberhasilan mensyukuri Ramadhan? Sudah meraih fajar kemenangankah kehidupan ummat Islam? Pertama-tama kami menghimbau para hamba Allah untuk sejenak merenung menjelang akhir Ramadhan ini. Tak lain, agar di sisa kesempatan yang teredia, kita dapat melangkah cepat tepat dan pasti memasuki gerbang pintu Ramadhan yang telah terbuka dengan seluas-luasnya. Ramadhan yang begitu mulia datang membawakan segala kemurahan Allah, kiranya dapat kita raih dengan sempurna. Bisa jadi, sebahagian manusia gagal memperoleh kemurahan yang utama. Jika belum berhasil, maka yang diperolehnya selama Ramadhan hanyalah capai lelah menahan haus dahaga.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". (QS. 2:257)
Perjalanan Menyongsong Keutamaan Ramadhan

etiap tahun, dengan penuh rasa kasih dan kemurahan, Ramadhan datang mengunjungi manusia yang belum tentu mampu meraih kemurahan utama yang dibawakannya dengan cuma-cuma. Satu hal yang sebenarnya disajikan Sang Ramadhan adalah menghantarkan manusia agar dapat mengambil kembali fithrahnya yang sudah lama tercampakkan oleh nafsunya. Dengan fithrah itulah kebangkitan sejati baru dapat dicapai. Bukti Ramadhan sebagai setitik ke-maha-pemurah-an Alah adalah ketika dalam proses pengambilan fithrah masih ada cacat-cela --baik niat ucap dan sikap yang dilakukan-- maka Ramadhan pun memberikan kesempatan lain untuk membersihkannya dengan cara membayar zakat fithrah.
Jika dengan membayarkan zakat fithrah, cacat-cela belum juga berhasil ditutupi, dibersihkan, atau masih juga gagal meraih kefithrahannya, maka Ramadhan masih juga memberikan kesempatan jalan akhir, yakni berpuasa syawal selama enam hari. Puasa Syawwal tersebut menggambarkan rasa kasihan dan keakraban antara Ramadhan dan manusia. Ramadhan benar-benar mengharapkan sekaligus mengupayakan agar fithrah manusia yang lama tercampakkan dapat dipersambungkan kembali dengan pribadinya. Manusia yang telah berhasil memperoleh keadaan demikian itu barulah dapat dikatakan manusia telah memperoleh kemenangan mutlaq dari Ramadhan . Itulah mereka yang berhak melaksanakan Sholat ‘Ied. Tetapi banyak orang berbondong-bondong mengikuti Sholat ‘Ied tanpa sedikitpun mengerti apa tujuan Sholat ‘Ied dilaksanakan, sehingga pelaksanaan Sholat ‘Ied tersebut di mata Allah tidak lebih dari laksana kambing yang sedang mengembek sambil duduk dan berdiri. Mereka tidak sadar, bahwa haqeqat Sholat ‘Ied dilaksanakan sebenarnya untuk mensyukuri kemurahan utama yang telah diperoleh dari Ramadhan, yakni diperolehnya kembali fithrah yang sudah lama tercampakkan oleh nafsu tercela. Itulah yang dimaksud dengan telah berhasil memperoleh kemenangan mutlaq di Hari Raya Fitri. Apa hubungannya dengan kebangkitan ummat Islam yg didamba-dambakan?
Cukup sempurna sudah upaya Ramadhan memberikan jalan kepada manusia agar dapat mengambil kembali fithrah yang telah lama tercampakan. Selama ini banyak manusia tidak menyadari, bahwa keberadaan zakat fithrah dan Puasa Syawwal, sebenarnya adalah salah satu wujud upaya Ramadhan menggolkan manusia agar dapat mengambil kembali fithrahnya. Dalam hal ini manusia hanya tahu bahwa zakat fithrah dan Puasa Syawwal merupakan rangkaian rutinitas kegiatan ibadah. Itulah sebabnya dalam pelaksanaannya terkesan sekedar melepaskan kewajiban. Padahal Ramadhan tidak pernah berkepentingan terhadap apa-apa yang telah diupayakan manusia. Justru manusialah sebenarnya yang sangat berkepentingan terhadap Ramadhan. Dengan demikian ukuran seseorang memasuki gerbang Ramadhan tegantung pada keberhasilannya mengambil-kembali fithrahnya. Bukti fithrah berhasil diambil, pasti mencuatkan berbagai macam bentuk kebangkitan, khususnya keilmuan. Akibat nilai kebenaran ilmu tidak pernah dipedulikan, terjadilah kerusakan dan kebodohan berilmu.
Kebangkitan itulah maksud Ramadhan mempertemukan kembali fithrah manusia dengan pribadinya. Kapan fithrah tidak berhasil diambil kembali, berarti manusia telah gagal memasuki gerbang Ramadhan. Puncak dari keberhasilan menggondol kemenangan mutlaq, Ramadhan memberikan satu hadiah yang tidak ada bandingnya, yakni salam kemuliaan. Dikatakan salam kemuliaan karena memang salam itu sendiri datang dari Yang Maha Mulia dibawa dan digiring oleh makhluq-makhluq yang berwatak mulia, barulah kemudian diberikan kepada hamba yang telah mewujudkan kemuliaan. Wujud kemuliaan ter-sebut adalah dengan fithrahnya yang telah berhasil diambil kembali sang hamba, berhasil pula mencuatkan kebangkitan untuk perbaikan hidup semesta. Dengan kata lain kerusakan yang terjadi pada alam semesta diperbaharui dengan kesetimbangan. Itulah perbuatan mulia dari hasil cuatan berilmu murni karena adanya tunjangan fithrah yang telah berhasil diambil kembali. Sejauh inilah sudah kesadaran manusia? Sadarkah bahwa selama ini setiap Ramadhan datang. manusia selalu gagal meraih fithrahnya? Bukti kegagalan meraih fithrah dapat diperhatikan dari tidak munculnya kebangkitan dari kalangan ummat Islam.
Dengan adanya gambaran penjelasan tentang Ramadhan, semoga kegagalan yang sama tidak ulang kembali terjadi. Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa setiap Ramadhan datang mengunjungi manusia, seharusnya berbuah kebangktitan dan perubahan. Sebagaimana yang disimbolkan saat Ramadhan pertama kali datang menjumpai manusia, wujud kebangkitan yang dimunculkan adalah peperangan, baik fisik maupun rohani dalam menghadapi orang-orang bodoh, yakni orang-orang yang tidak mau diajak ke luar dari kegelapan yang telah membudaya. Bila diperhatikan dari sejarah mula pertama Ramadhan datang menjumpai manusia telah menggambarkan adanya anti kebodohan. Kebodohan harus dibasmi hingga akar-akarnya. Demikian pula seharusnya setiap Ramadhan datang, pasti dan harus memunculkan kebangkitan yang diiringi dengan perubahan-perubahan hidup yang lebih pasti dan jelas.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 4/1/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Semoga Allah tambahi rahmat ampunan bagi almarhum-Admin
Jumat, 17 Agustus 2012
Perjalanan Menyongsong Keutamaan Ramadhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan akun valid e-mail Anda.