Lepas Sesuatu dari Hati,
Tumbuh Iman Sejati
eratnya hati menanggung beban dari isi dunia yang masuk acap tak dihiraukan manusia. Buktinya, rasa jenuh dan lelah mengarungi kehidupan, terpandang hal yang biasa. Demikiankah fitrah hati? Belumkah tiba saatnya untuk melepaskan sesuatu dari hati? Padahal, hanya dengan hati yang terisi oleh keindahan sifat asma Allah, tumbuhlah iman sejati.
Untuk itu, renungkan dan sentuhkanlah ke dalam hati firman Allah berikut ini:
• Engkau masukkan malam ke dalam siang
• dan Engkau masukkan siang kepada malam
• Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati
• dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup
• Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”. (QS. 3:27), yaitu mereka yang shabar/teguh dalam perjalanan menumbuhkan iman sejati.
Penumbuhan iman sejati tidak bisa dilakukan di lahan kemanisan dan kelezatan nafsu. Mengapa? Karena kemanisan ataupun kelezatan nafsu merupakan bagian dari pada sesuatu (makhluq). Sesuatu selamanya tidak akan pernah dapat dipersatukan keberadaannya dengan iman sejati di dalam hati. Kapan ada sesuatu yang mapan atau melekat di dalam hati, pasti sulit bagi iman sejati untuk tumbuh berkembang sebagaimana mestinya. Namun sekali-kali janganlah dipahami bahwa manusia mesti berlepas-diri dari dunia. Dunia dihadapi oleh aqal yang tajam, sehingga perasaan-hati tetap dalam fungsi untuk senantiasa terkait-akrab dengan Allah.
Keberadaan sesuatu di dalam hati bersamaan dengan keberadaan iman sejati, adalah laksana hama benalu yang menyerang tumbuhan yang baru saja bertunas. Meskipun pada awalnya tidak tampak merusak —boleh jadi bahkan tampak menambah semaraknya kehidupan tanaman— tapi pasti akhirnya kehidupan tanaman yang ditumpangi benalu mengalami kerusakan hidup. Bahkan mati. Begitu pula bila sesuatu tetap dibiarkan hidup bersamaan dengan iman sejati di dalam hati, pada akhirnya iman sejati itupun akan mati. Apa dan bagaimana seharusnya kedudukan dunia seisinya terhadap hati?
Perlu diketahui, bila dan selama sesuatu melekat di hati selama itu pula diri manusia tidak akan pernah dapat mengerti dan mengetahui tentangnya dengan pasti. Jika sesuatu itu tampaknya dapat diketahui, pengetahuan itu adalah bukan yang sebenarnya, melainkan hanya anggapan belaka. Untuk dapat mengetahui sesuatu secara pasti, maka sesuatu itu harus berjarak atau renggang bahkan harus lepas dengan hati. Semakin jauh sesuatu terlepas dari hati, semakin jelas (tampak keseluruhannya) dan tajam diketahui secara pasti. Contohnya, seorang pria lekat hatinya dengan “sesuatu” yang berupa wanita. Dapat dipastikan ia tidak akan pernah tahu dengan pasti tentang wanita. Buktinya, banyak suami tidak menyadari suka menyakiti hati dan perasaan wanita. Banyak laki-laki yang tidak berhasil merasakan betapa pekanya perasaan seorang wanita.Yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh lelaki adalah haqiqi dari pada rasa wanita. Begitu pula bila hatiseorang wanita lekat terhadap suami atau harta. Pasti terhadap suami maupun harta ia tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Akibatnya, hatinya sering kali galau dengan sikap suami maupun oleh keberadaan harta.
Lain halnya bila sesuatu berjarak atau lepas dari hati. Yang muthlaq melekat di hatinya adalah Allah. Dengan kelekatan hati kepada Allah tersingkaplah segala rahasia sesuatu. Dari penjelasan ini dapatlah kita mengukur diri atau bertanya pada diri sendiri tentang keimanan yang selama ini diakui, benarkah iman sejati ataukah iman menipu diri? Hati kebanyakan manusia pasti masih belum bisa lepas apalagi bersih dari sesuatu bila tetap dirundung perasaan sedih, kecewa, senang maupun bahagia terhadap sesuatu. Bahkan perasan ini masih mudah mempengaruhi bahkan mengubah sikap-prilaku. Perlu diketahui, selamanya sesuatu tidak akan pernah lepas dari hati sehingga hati seorang hamba menjadi bersih, bila sesuatu itu tidak pernah mendapat penganiyaan atau penyiksaan. Ibarat karat yang sudah terlanjur melekat-erat pada besi, maka karat itu baru bisa lepas setelah besi dibakar atau dipukuli. Begitu pula halnya akan sesuatu baru dapat lepas atau bersih dari hati setelah terlebih dahulu dibakar dengan penganiyaan atau penyiksaan. Sesuatu yang paling sulit lepas atau bersih dari hati manusia adalah yang paling dicintai hati.
Tulisan di atas merupakan suntingan Taufik Thoyib dari dokumentasi Kajian Ki Moenadi MS tanggal 14/10/1998 yang disampaikan di Yayasan Badiyo Malang. Tulisan ini merupakan bagian pertma dari tiga tulisan. Lanjutannya insya Allah dipublikasikan pekan depan --Admin
Merak sering memamerkan keindahan bulunya. Namun ia tak seperti manusia yang selalu berpamrih. Merak tak mencari apalagi mengemis pujian, karena memang begitulah kodrat perilakunya ditetapkan Allah. Apakah dengan narsisisme memamerkan keindahan dan kebaik-hebatan diri, manusia sungguh-sungguh hendak merendahkan martabat pribadinya sehingga lebih bodoh daripada hewan tak berakal? Renungilah:
Perjalanan ruhani jumpa ilaahi Rabbi ibarat menempuh gunung tinggi. Barang siapa lengah, segera ia terperosok ke dalam jurang tersembunyi di balik setiap kelokan dan tanjakan. Sesekali seorang pendaki ruhani pasti mengalaminya, akibat terpukau pemandangan indah perjalanan menju pncak gunung. Taubat dan kesungguhan pengabdiannya kepada Allah, adalah tongkat penopang agar pada pendakian berikutnya, ia makin berhati-hati.
Bagi yang berhati-hati, justru sangat malu mengakui kebaikan yang hanya tampak bagian luarnya bagi orang lain itu. Yang nyata baginya adalah bagian dalam pribadinya dengan segala kehinaan, catat, kekurangan, bahkan ketercelaan yang tak kunjung habis tersoroti cahaya lentera Allah Yang Maha Mulia. Ia makin tersungkur dalam syukur, atas penyelamatan jemari kasih As-Salaam. Karena menyadari segala keburukannya, dengan sendirinya segala pujian manusia tak berbekas apa pun pada perasaan-hatinya. Ia mengharapkan agar manusia yang memujinya mendapat tambahan karunia kemuliaan pula dari sisi Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang. Ucapannya:

Demikian besarnya perhatian pemimpin sejati akan keselamatan dan kebahagiaan bangsanya, tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan ejekan atau cemoohan baik dengan kata-kata maupun dengan sikapnya (dan inilah yang paling berbahaya). Bukankah sikap demikian sama halnya dengan sikap orang-orang munafiq? Sebagai manusia biasa tidak jarang mereka sedikit kecewa dengan sikap bangsanya yang kurang menaruh perhatian, dengan kata lain kurang bersungguh-sungguh untuk bangkit. Namun kesadarannya tidak membiarkan hatinya kecewa. Terhiburlah hati ketika kesadarannya membisikkan, bahwa peran sang pemimpin sejati hanyalah membawa kabar gembira
Begitu banyak kepalsuan. Pemimpin suatu kelompok bangsa yang selalu membantu mereka yang menggelar kebencian, perang, dan penindasan pada bangsa lain misalnya, bisa saja justru tampak mulia bahkan diberi penghargaan sebagai pembela kedamaian ummat manusia. [Taufik Thoyib]. 21 Rajab 1431 / 4 Juli 2010
Sabda Nabi s.a.w. kepada Asma binti Abu Bakar r.a.: "Berinfaqlah. Janganlah kamu menghitung-hitung (hartamu, kikir), nanti Allah akan menghitung (kejelekan-kejelekan) mu. Jangan pula kamu menyembunyikan (hartamu) nanti Allah akan menyimpan (kejelekan-kejelekanmu) untuk dibeberkan di Hari Akhir (Lu'lu' wal Marjan, 1/244).
"Seorang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Adapun orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka." (Tasyiirul Wushuul, 2/88).
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
Sinyalemen hadits tersebut memberikan gambaran bahwa: dari tahun ke tahun yang dapat diberlangsungkan dan diperoleh kebanyakan manusia dari kunjungan Ramadhan hanyalah mendatangkan ritual rasa lapar dan dahaga dari puasanya. Tidak ada perubahan dan pembaharuan berarti yang dapat dibukti-rasakan dalam berkehidupan, kecuali yang selalu muncul hanya keluh-kesah atas kesulitan berantai menjalani kehidupan. Seakan hadits tersebut tampil sebagai kaca cermin besar yang menunjukkan puasa kebanyakan manusia layaknya puasa anak-anak. Anak-anak itu berbangga dalam berpuasa agar memperoleh berbagai hadiah yang diiming-imingkan yang kesemuanya bersifat keindahan dan kesenangan nafsu semata. Ketika bentuk keindahan-kesenangan nafsu tidak terpenuhi mereka kecewa putus asa dan perhatiannya lebih terpaku pada kesulitan yang ditemui daripada kasih Ilaahi.
Untuk itu mari sejenak di bulan yang fithrah ini kita tunduk-renungkan diri hadirkan Allah selaku saksi kejujuran, diri bertanya pada nurani-hati. Pada tingkatan puasa apakah yang sudah berhasil kita langsungkan selama ini? Tentunya masing-masing pribadi beriman tidak hendak puasanya dinilai-persepsikam sama dengan puasanya anak-anak, kecuali yang diharapkan dari berpuasa dapat menghantarkan jiwa pada kedekatan cinta dengan Allah. Namun demikiankah yang diperoleh?
Ketika beraktifitas dengan mengharapkan sesuatu untuk dimiliki, terasa lebih bersemangat dalam melakukannya. Jika tidak, maka terjadi sebaliknya. Inikah yang disebut hati terikat oleh sesuatu? Dalam realita saya belum bisa menjadikan 'Keridhaan Allah' sebagai daya dorong dalam beraktifitas. Langkah apa yang harus ditempuh?
BalasHapus(ayola.dong@yahoo.com)
Asswrwb.,
HapusInnamaa a'malu binniyah. Amal-perbuatan itu tergantung pada niyatnya. Niyat adalah buah dari kesadaran. Jadi, kalau aqal selalu memasok pengetahuan bahwa hidup kita itu sebenarnya sangat singkat (ibarat menyeberangi sungai dunyaa) untuk nantinya, sampai di dataran abadi(akhirat). Maka, tentu mudah diterima bahwa lebih baik mengabdi kepada Allah, dari pada mengabdi dunyaa. Pernyataan Rasul saw bisa dijadikan pedoman: saya hamba Allah, dan saya Rasul Allah.
Di hadapan dunyaa, kita pun bisa menyatakan: saya hamba Allah (dan bukan hambamu, hai dunyaa), dan pada kedudukan saya di hadapan sesama manusia, saya adalah pegawai negeri (atau guru, pedagang, seniman, dsb) atau apa pun profesi anda.
Apa saja kegiatan profesional kita, pasti bisa membawa suatu substansi penegakkan agama. Singkatnya, kita hidup numpang (kepentingan) Allah bukan Allah yang numpang (kepentingan) kita. Pasti Allah akan menolong kita. Amiin.
Salam,
Taufik Thoyib